Natal Bernuansa Betawi di Gereja Immanuel

| 24 Dec 2017 18:35
Natal Bernuansa Betawi di Gereja Immanuel
Gereja Immanuel. (Adit/era.id)
Jakarta, era.id - Gereja Immanuel merupakan satu dari sekian banyak tempat ibadah bernilai historis di Jakarta. Gereja di Jalan Merdeka Timur, Jakarta Pusat ini dibangun pada tahun 1834. Belanda yang pada waktu itu menguasai Indonesia mempunyai andil besar terhadap arsitektur bangunan ini. Gaya konstruksi Eropa klasik melekat pada bentuk, warna, penempatan ruang, dan desain gereja.

Pilar-pilar megah diikuti tata letak jendela yang teratur menjadi pemandangan pertama ketika melangkah menuju teras Immanuel. Ubin marmer berukuran besar menempel pada alas kaki, saat menginjak lantai teras menuju pintu gereja.

Masuk lebih dalam, bangku-bangku akan terlihat terbentang hampir mencapai altar. Sementara di bagian sisi-sisi tembok juga dipenuhi bangku dengan posisi melengkung. Meski tak terlihat besar, ruangan peribatan ini dilengkapi sound output keyboard teknologi lawas. Usianya diperkirakan mencapai 177 tahun silam. Buah tangan dari pemerintahan Hindia Belanda yang saat itu sering keluar-masuk Gereja Immanuel.

Windoro Adi dalam buku Batavia 1740, "Menyisir Jejak Betawi" (Gramedia;2010), menulis, gereja yang terletak di Jalan Medan Merdeka Selatan Nomor 4 ini dibangun tahun 1834-1839. Gereja dibangun untuk menghormati Raja Belanda, Willem I (1813-1840). Oleh karena itu gereja ini dinamai Gereja Willem (Willems Kerk).

Arsiteknya JH Horst. Bangunannya bergaya klasik Inggris dengan pilar-pilar paladian, berbentuk bundar dengan kubah berhias bunga teratai enam helai daun, simbol Mesir untuk Dewi Cahaya. Bangunannya berdiri di atas fondasi tiga meter. Bagian depannya menghadap Stasiun Gambir. Gereja dilengkapi orgel buatan J Datz tahun 1843 yang hingga kini masih digunakan untuk mengiringi ibadah.

Sektarian Jemaat Gereja Immanuel Daisy Sumual mengungkapkan, pada awalnya gereja ini bernama Willemskerk. Dikhususkan untuk tempat ibadah para pejabat Hindia Belanda. Golongan rakyat jelata tidak memiliki akses. Mereka ditempatkan di gereja yang berada di Pasar Baru, Jakarta Pusat.
 
"Gereja ini dibangun untuk menghormati Raja Willem pertama. Kalau masuk ke dalam Gereja seperti ada tempat yang menghadap ke Gambir itu dulu kalau Raja mau beribadah dia duduk di situ. Tidak untuk jemaat, jemaat di Gereja Ayam dekat Pasar Baru," kata Daisy, Minggu (24/12/2017).



Nama Gereja Immanuel kemudian dibenamkan ketika Indonesia mendeklarasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Setelah itu, tidak ada lagi batasan ukuran si kaya atau miskin yang dapat beribadat di tempat ini. 

"Ketika Belanda meninggalkan Indonesia, berubah menjadi Gereja Immanuel. Gereja itu untuk siapa saja, siapa yang datang duluan boleh duduk di mana saja," ujar Daisy.

Merayakan Natal

Natal akan datang dalam hitungan jam. Gereja yang tercatat sebagai cagar budaya melalui Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 0128/M/1988 tanggal 27 Februari 1988 ini punya cara sendiri dalam menyambut hari raya tersebut.

Kata Daisy, jemaat Gereja Immanuel akan memadukan budaya Betawi dalam perayaan Natal tahun ini. Khususnya satu hari setelah Natal, jemaat diimbau mengenakan pakaian adat Betawi lengkap, ketika menjalani hiburan di Gereja Immanuel. 

"Kebetulan untuk panitia sekarang dirayakan tanggal 26 Desember, adalah perayaan Natal jemaat. Kita beretnis Betawi, nanti bisa dilihat tanggal 26, semua umat diimbau untuk memakai dresscode Betawi," ujar Daisy.

Untuk memeriahkan suasana, pihak Gereja Immanuel menanggap Keroncong Tugu. Hiburan lain termasuk pentas sandiwara dari remaja jemaat Gereja Immanuel yang dinaungi "Rumah Karya Immanuel'.

"Kita mengajukan musiknya Keroncong Tugu. Ada Keroncong Tugu kita ambil dari GPIB Tugu, pemainnya anak muda. Lalu ada sandiwara, mereka berkreasi bisa bermusik, bernyanyi, bersandiwara," tuturnya.

Ketika perayaan Natal, Daisy mengaku pihak gereja membuka pintu selebar-lebarnya bagi umat Kristiani yang ingin merayakan Misa di Immanuel. 

Misa dijadwalkan sebanyak empat kali pada tanggal 25 Desember 2017. Untuk mempermudah ekspatriat yang ikut beribadah, Immanuel menggunakan empat bahasa dalam waktu yang berbeda.

"Pukul 08.00 WIB berbahasa Indonesia, pukul 10.00 WIB berbahasa Belanda, pukul 17.00 WIB bahasa Inggris, pukul 18.30 WIB bahasa Indonesia, kurang lebih sama," tutup Daisy.
Tags :
Rekomendasi