RUU Permusikan yang Hilang Arah

| 31 Jan 2019 15:14
RUU Permusikan yang Hilang Arah
KAMI, Koalisi Seni Indonesia, dan sejumlah pimpinan DPR (koalisiseni.or.id)
Jakarta, era.id - Rancangan Undang-Undang (RUU) Permusikan menuai protes keras. RUU yang draf-nya menyebar di kalangan publik itu dianggap mengandung berbagai masalah, mulai dari mengebiri kebebasan berekspresi lewat pasal karet hingga menciptakan kelas elite di kalangan para musisi.

Glen Freddly, salah satu pelaku musik yang sejak awal mengawal perancangan UU ini menyebut sejumlah pasal dalam draft RUU yang dirancang Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) salah sasaran.

Menurut Glenn, semangat awal dari pembentukan UU ini adalah untuk melindungi dan memberi manfaat bagi pelaku musik, bukan malah menimbulkan dampak buruk.

"Kami ingin RUU Permusikan dapat melindungi, memberi manfaat, serta tidak menimbulkan dampak buruk bagi pelaku musik di Indonesia," ujar musisi Glenn Fredly, kami kutip dari situs koalisiseni.or.id, Senin (28/1/2019).

Dalam pertemuan dengan Ketua DPR, Bambang Soesatyo beberapa waktu lalu, Glenn bersama para penggagas Konferensi Musik Indonesia (KAMI) menyampaikan hasil kajian RUU permusikan yang dilakukan bersama Koalisi Seni Indonesia.

Menurutnya, draf RUU Permusikan tak mengandung substansi untuk mengatur dan menjamin tata kelola industri musik secara komprehensif. Dan hasil kajian itu pun menyoroti pasal-pasal karet yang mengancam kebebasan berekspresi.

Pasal 5 RUU Permusikan adalah salah satu aturan yang rentan disalahgunakan. Pasal itu melarang musisi mendorong kekerasan, perjudian, penyalahgunaan narkotika, pornografi, kekerasan seksual, eksploitasi anak, serta memprovokasi pertentangan antarkelompok, antarsuku, antarras, dan antargolongan.

Pasal ini juga melarang musisi menistakan atau menodai nilai agama, mendorong khalayak umum melakukan tindakan melawan hukum, membawa pengaruh negatif budaya asing, serta merendahkan harkat dan martabat manusia. Pasal 50 lantas menyatakan pelanggar pasal 5 diancam hukuman pidana penjara.

“Secara umum, naskah RUU Permusikan belum menyasar tata kelola industri musik secara komprehensif. Ada juga beberapa pasal yang berisiko menghambat kebebasan berekspresi pelaku musik,” kata Glenn.

Tiru UU Perfilman

KAMI dan Koalisi Seni Indonesia menyebut, RUU Permusikan seharusnya memberi aturan main tegas kepada setiap pemangku kepentingan yang berada dalam ekosistem musik.

Mudah saja, DPR bisa mencontoh UU Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman, misalnya. Ya, meskipun tak sempurna-sempurna amat. Setidaknya, regulasi dalam UU 3/2009 berhasil mengatur tata kelola industri film secara tegas dengan memisahkan ekosistem kegiatan perfilman nonkomersial dengan industri perfilman, serta menegaskan peran setiap pemangku kepentingan di dalamnya.

Buat KAMI dan Koalisi Seni Indonesia, substansi-substansi di atas belum terlihat dalam RUU Permusikan. Malahan, mereka menyoroti banyaknya pengulangan terhadap hal yang telah diatur dalam perundang-undangan lain seperti UU Hak Cipta, UU Pemajuan Kebudayaan, serta UU Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam.

Pembentukan elite

Kebebasan berekspresi yang terancam bukan satu-satunya bukti RUU Permusikan telah salah sasaran. Cholil Mahmud, pentolan Efek Rumah Kaca justru menyoroti Pasal 32 hingga Pasal 35 yang mengatur tentang Uji Kompetensi para pemusik profesional.

Menurut Cholil, sertifikasi semacam ini amat bertentangan dengan cita-cita pembuatan musik yang sejati, bahwa musik seharusnya bersifat inklusif, bisa dimainkan, dibuat, dan dinikmati oleh semua orang.

“Pembentukan elite dalam kalangan musik ini bertolak belakang dengan keinginan musik menjadi nafas orang banyak. Seolah ada hierarki dalam musik, ada yang jadi pemusik, ada yang jadi pendengar. Padahal kalau musik menjadi nafas orang banyak, pemusik bisa jadi pendengar, dan pendengar bisa jadi pemusik,” tuturnya.

Rekomendasi