Kenapa Orang Rohingya Tertindas di Myanmar? Ini Akar Masalahnya

| 09 Feb 2021 20:01
Kenapa Orang Rohingya Tertindas di Myanmar? Ini Akar Masalahnya
Orang Rohingya (Wikimedia Commons)

ERA.id - Orang-orang Rohingya di Myanmar beberapa tahun belakangan kerap didengar mendapatkan penindasan. Itu terjadi dari tahun ke tahun. Bahkan kelompok mereka yang menjadi minoritas, sudah dibantai.

Kabar murung itu bukan hanya disebabkan karena sentimen agama saja, melainkan sudah mengarah kepada rasisme bahkan ketakutan akut masyarakat mayoritas Myanmar sendiri.

Menurut Kepala bidang penelitian pada South Asia Democratic Forum, Siegfried O Wolf, ketegangan Myanmar dengan etnis Rohingya, lebih bersifat politis dan ekonomis.

Dari sisi geografis, penduduk Rohingya adalah sekelompok penganut Muslim yang jumlahnya sekitar satu juta orang dan tinggal di negara bagian Rakhine. Wilayah Rakhine juga ditempati oleh masyarakat yang mayoritas memeluk agama Budha.

Rakhine dikenal sebagai wilayah yang kaya akan sumber daya alam. Tetapi hal itu menjadi timpang ketika pada kenyataannya tingkat kemiskinan di sana ternyata tinggi.

"Komunitas warga Rakhine merasa didiskriminasi secara budaya, juga tereksploitasi secara ekonomi dan disingkirkan secara politis oleh pemerintah pusat, yang didominasi etnis Burma. Dalam konteks spesial ini, Rohingya dianggap warga Rakhine sebagai saingan tambahan dan ancaman bagi identitas mereka sendiri. Inilah penyebab utama ketegangan di negara bagian itu, dan telah mengakibatkan sejumlah konflik senjata antarkedua kelompok," kata Siegfried O Wolf dikutip dari Deutsche Welle (DW).

Mayoritas warga Rakhine menilai Rohingya sebagai saingan dalam hal apapun, salah satunya kesempatan untuk berwirausaha. Dari permasalahan politik, warga Rakhine merasa jika kaum Rohingya telah mengkhianati mereka lantaran tidak memberikan suara bagi partai politik mayoritas penduduk setempat.

"Jadi bisa dibilang, rasa tidak suka warga Buddha terhadap Rohingya bukan saja masalah agama, melainkan didorong masalah politis dan ekonomis," kata Wolf.

Hal ini diperburuk oleh sikap pemerintah Myanmar yang bukannya mendorong rekonsiliasi, tetapi malah mendukung kelompok fundamentalis Budha.

Lantas apa tanggapan umat Budha di seluruh dunia? Mereka mengutuk kekerasan yang dilakukan kelompok garis keras di Myanmar. Tahun 2014 lalu, Dalai Lama meminta Umat Budha menghentikan kekerasan di Myanmar dan Sri Lanka.

"Saya menyerukan kepada umat Buddha di Myanmar, Sri Lanka, membayangkan wajah Buddha sebelum mereka berbuat kejahatan. Buddha mengajarkan cinta dan kasih sayang. Jika Buddha ada di sana, dia akan melindungi muslim dari serangan umat Buddha," pesan Dalai Lama.

Sayangnya, di dalam negeri Myanmar, nyaris tak ada yang membela Muslim Rohingya. Dunia bahkan pernah mengutuk pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi yang diam seribu bahasa soal penindasan di Rohingya.

Diperparah Ashin Wirathu

Orang Rohingya (Wikimedia Commons)

Orang Rohingya sendiri adalah apatride. Artinya, mereka tidak mempunyai kewarganegaraan resmi karena Myanmar menolak memberikan hak ini. Dilansir dari lhistoire, Ini berawal saat tahun 1982, Ne Win, mantan pemimpin junta militer, mencabut kewarganegaraan Rohingya. 

Mengapa kewarganegaraan Rohingya dicabut? Sebab pemberian kewarganegaraan hanya untuk orang-orang yang ada di wilayah Burma sebelum invasi Inggris tahun 1823. Dari kabar propaganda militer, suku Rohingya hadir di Myanmar hanya setelah pendudukan Inggris.

Sejak saat itulah periode kelam Rohingya dimulai. Sejak diberlakukannya undang-undang yang diskriminatif ini, minoritas Rohingya tidak dapat lagi mengikuti pemilu, tidak dapat mengakses pekerjaan tertentu, tidak bisa bersekolah dan berobat ke rumah sakit.

 Mereka juga harus melapor ke pihak berwajib jika akan berpindah tempat, bahkan mereka tidak mempunyai hak milik tanah dan secara teratur dipaksa mengungsi. Hal ini sudah terjadi sejak puluhan tahun.

Lantas dari mana asal etnis Rohingya ini? Untuk sementara belum ada data yang menguatkan asal mereka. Walau begitu, banyak ahli yang mengatakan etnis ini sudah ada di Myanmar sebelum abad ke-19. Di lain sisi, mereka disebut sudah masif bermigrasi dari Bangladesh semasa penjajahan.

Setelah merdeka tahun 1948, Myanmar mewarisi negara yang terpecah-belah karena perbedaan suku dan agama. Penjajah Inggris memang sengaja melakukan politik untuk mencegah persatuan bangsa yang mereka jajah.

Secara sistematis, Inggris menjauhkan suku mayoritas untuk memegang pos-pos pemerintahan, administrasi dan ekonomi penting dan memberikannya kepada etnis minoritas.

Akibatnya, kecemburuan sosial terjadi. Hubungan Rohingya dengan etnis mayoritas yang beragama Buddha semakin menjadi buruk, karena pada masa penjajahan, baik pada masa kolonialisme Inggris ataupun masa pendudukan Jepang, etnis Rohingnya lebih memihak golongan asing daripada mendukung mereka yang berjuang untuk Myanmar merdeka.

Persekusi terhadap kaum Rohingya selain merupakan warisan sejarah lama, juga dikarenakan oleh rendahnya tingkat pendidikan masyarakat Myanmar. Bagi mereka, orang Rohingya adalah orang asing karena perbedaan rupa dan agama.

Rohingya adalah orang Bangladesh, dan karena Bangladesh mempunyai populasi yang besar, maka orang Myanmar takut dengan kemungkinan migrasi besar-besaran muslim ke Myanmar.

Ketakutan ini kemudian digunakan oleh biksu radikal Buddha yang bernama Ashin Wirathu untuk menyulut kebencian rakyat Myanmar lebih dalam lagi kepada kaum Rohingya dengan menggelar pidato-pidato anti Rohingya dan anti-Islam.

Wirathu mulai mendapat sorotan publik pada tahun 2001 saat ia meluncurkan Gerakan 969, sebuah gerakan keagamaan yang melawan apa yang mereka klaim sebagai “ekspansi Islam" di Myanmar dan bertujuan melindungi agama Buddha sebagai identitas nasional.

Mereka mulai menebarkan kebencian terutama setelah adanya kejadian peristiwa Taliban menghancurkan situs Patung Buddha Bamiyan di Afghanistan pada tahun 2001.

Melalui organisasi yang dibentuknya yang bernama Ma Ba Tha, dia menawarkan proposal undang-undang yang melarang poligami, pernikahan antaretnis berbeda, pengaturan jumlah anak yang bisa dimiliki pasangan Rohingya dan banyak larangan diskriminatif lain. Proposal itu belakangan diterima parlemen Myanmar dan diadopsi.

Rekomendasi