Bukti COVID-19 Masih Ada: Rumah Sakit di AS Penuh dan Kekurangan Perawat

| 25 Nov 2020 15:35
Bukti COVID-19 Masih Ada: Rumah Sakit di AS Penuh dan Kekurangan Perawat
Ilustrasi: Seorang tenaga kesehatan di tengah wabah COVID-19. (Foto: SJ Objio)

ERA.id - Pasien COVID-19 di kota-kota terpencil Amerika Serikat, negara dengan luas 9,83 juta km persegi, berada dalam kondisi antara hidup dan mati di rumah-rumah sakit kecil dengan fasilitas terbatas. Sementara, untuk dipindah ke RS yang lebih besar, mereka harus menempuh jarak hingga puluhan kilometer.

Seperti diberitakan Reuters, Selasa (24/11/2020), dokter-dokter di kota kecil seperti Kota Lakin, Kansas, yakin bahwa beberapa pasien harus dipindah ke rumah sakit yang lebih besar. Banyak rumah sakit di kota kecil sudah kekurangan tempat tidur, peralatan, dan - yang paling penting - tenaga spesialis dan perawat.

Di Amerika Serikat sendiri angka okupansi rumah sakit meningkat di mana-mana. Khususnya di kawasan Midwest, seperti di negara bagian Ohio dan Dakota, kenaikan jumlah pasien COVID-19 di rumah sakit terjadi "secara brutal", seperti dikatakan Reuters. Tingkat kenaikan okupansi RS oleh pasien COVID-19 di kawasan itu naik dua kali lipat dibandingkan di kawasan lain, seperti disebutkan the COVID Tracking Project.

Jumlah tambahan kasus COVID-19 secara harian pun berada di level yang tak pernah terjadi sebelumnya, bahkan jauh melebihi situasi musim semi lalu, di mana warga As diliputi kepanikan karena pandemi korona ini.

Dalam sepekan sebelum 19 November, negara bagian North Dakota melaporkan 1.769 kasus COVID-19 per sejuta warga setempat. Sementara itu ada 1.500 kasus per sejuta penduduk di South Dakota dan 1.200 kasus di Nebraska. Sebagai perbandingan, di bulan April, hanya ada rata-rata 500 kasus baru per sejuta orang di New York. Di California waktu itu, levelnya mentok di angka 253 kasus.

Para petugas kesehatan di kawasan Midwest mengaku kapasitas rumah sakit mereka sudah atau hampir penuh. Kebanyakan dari mereka mencoba menambah kapasitas dengan menyulap koridor-koridor sayap RS menjadi bangsal, atau menjajarkan lebih banyak pasien dalam satu ruangan. Para petugas medis pun bekerja lebih lama, dan ada lebih banyak shift kerja.

Pesatnya penularan infeksi COVID-19 di daerah-daerah konservatif, yang notabene menolak protokol kesehatan, juga menjadi tantangan sendiri bagi para tenaga medis. Mereka masih tidak menganggap serius wabah COVID-19 secara serius meski sudah diperingatkan berulang kali. Cara pandang ini ditengarai diperkuat oleh sikap Presiden Donald Trump yang sering terus terang tidak menyukai memakai masker, hingga yang bersangkutan terinfeksi COVID-19 pada 2 Oktober lalu.

Gedung Putih belum memberi tanggapan saat ditanyai soal ini, seperti dikatakan Reuters.

Beberapa petugas medis dan staf RS sendiri mengaku mengernyitkan dahi atas betapa longgarnya kebijakan kesehatan, di negara bagian dan secara nasional. Semua tampak bertolak belakang dengan apa yang mereka lihat di lapangan.

"Ada yang tak nyambung dalam komunitas kami, saat kami melihat orang-orang masih berkumpul di bar dan restoran, atau berencana pulang kampung saat Thanksgiving," kata Dr. Kelly Cawcutt, dokter penyakit menular di Universitas Nebraska.

"Kami merasa ditolak di mana-mana."

Rekomendasi