Kremasi Jenasah COVID-19 Sri Lanka Picu Protes dari Kalangan Muslim

| 17 Dec 2020 11:50
Kremasi Jenasah COVID-19 Sri Lanka Picu Protes dari Kalangan Muslim
Wabah COVID-19 di Kota Kolombo, Sri Lanka, (15/12/2020). (Foto: Tharaka Basnayaka/Twitter)

ERA.id - Pemerintah Sri Lanka mengumumkan akan tetap mengkremasi jenasah pasien Coronavirus Disease (COVID-19) yang beragama Islam, dengan begitu mengabaikan protes dari pihak keluarga yang menolak tindakan kremasi tersebut.

Sri Lanka, negara kepulauan yang mayoritas warganya memeluk keyakinan Buddha, dihantui oleh wabah COVID-19 yang melonjak sejak Oktober, dengan jumlah infeksi korona bertambah delapan kali lipat menjadi 34.121 kasus serta mengakibatkan 154 kasus kematian, demikian disampaikan Johns Hopkins University.

Keluarga para pasien COVID-19 yang meninggal umumnya akan mengklaim jenazah pasien, lalu mengkremasi jenasah tersebut dengan pengawasan ketat dari otoritas kesehatan setempat.

Sehubungan dengan kepercayaan agama, praktik kremasi sendiri dilarang oleh hukum Islam. Dan seperti dilaporkan Al Jazeera, pekan lalu (9/12/2020), keluarga pasien COVID-19 enggan mengklaim jenazah kerabat mereka yang meninggal. Koran tersebut tak menjabarkan apa yang menjadi alasan para pasien enggan mengklaim jenasah kerabat mereka.

Namun, pemerintah Sri Lanka, lewat keputusan Jaksa Agung Dappula de Livera, pun memilih untuk mengkremasi jenazah yang telah menumpuk di ruang-ruang jenazah Ibu Kota Kolombo.

Lima jenazah sudah dikremasi per Rabu lalu, sebut polisi.

Kebijakan kremasi ini sudah berusaha diprotes oleh Muslim Sri Lanka. Dua belas petisi juga sudah dilayangkan ke Mahkamah Agung oleh komunitas minoritas dan kelompok masyarakat sipil. Namun, pengadilan tertinggi Sri Lanka tersebut menolak petisi ini, tanpa memberi kejelasan lebih lanjut.

Rambukwella, juru bicara pemerintah Sri Lanka, menolak tuduhan bahwa pemerintah sedang melakukan diskriminasi terhadap warga Muslim setempat.

"Saya mau menekankan bahwa kami tidak didorong oleh rasisme, dan tak ingin melakukannya pula," kata dia, dikutip Al Jazeera. "Kami hanya akan mendengarkan apa kata para pakar dan membuat kebijakan berdasarkan ucapan mereka. Kami tidak asal membuat keputusan. Kebijakan kremasi ini berlaku untuk semua warga, tak hanya untuk warga Muslim saja."

Rehab Mahamoor, asisten riset di Amnesty International, mengatakan bahwa kremasi terhadap umat Muslim adalah 'tidak adil.'

"Panduan internasional jelas menyatakan bahwa jenazah korban COVID-19 bisa dikubur atau dikremasi, dan Sri Lanka menggunakan pandemi ini untuk semakin menyingkirkan komunitas Muslim," kata Mahamoor.

Belakangan, Senin lalu Moldova, negara mayoritas Muslim Sunni yang bertetangga dengan Sri Lanka, mempertimbangkan akan memberi "ritus pemakaman secara Islam bagi warga Sri Lanka di Moldova".

Melalui Twitter, Menteri Luar Negeri Moldova Abdulla Shahid berkata bahwa, "Bantuan ini akan memberi penghiburan bagi saudari-sadari kita umat Muslim Sri Lanka yang bersedih menyikapi pemakaman kerabat mereka."

Namun, uluran bantuan dari Moldova ini justru dianggap "mengkhawatirkan" oleh advokat hak asasi manusia PBB, Ahmed Shaheed.

"Sepertinya permintaan tersebut tak datang langsung dari komunitas Muslim, atau berdasarkan persetujuan mereka. Hal ini bisa makin memarginalisasi komunitas Muslim di Sri Lanka," kata Shaheed lewat pernyataan tertulisnya.

Politisi Muslim Sri Lanka pun mengatakan mereka tak bisa menerima tawaran pemerintah Moldova soal pemakaman warga Sri Lanka yang menjadi korban infeksi COVID-19.

"Saya bersyukur atas tawaran dari Moldova. Namun, kami tak bisa menerima tawaran itu karena itu hanya akan menutupi pelanggaran berat atas hak asasi warga Muslim," kata Ali Zahir Moulana, seorang mantan legislator Sri Lanka.

"Kami ingin dimakamkan di Sri Lanka. Di tanah air kami," kata dia, dikutip Al Jazeera.

Rekomendasi