Siasat di Balik Sarapan Bareng Anies-Gibran, Siapa yang Cari Untung?

| 16 Nov 2022 16:30
Siasat di Balik Sarapan Bareng Anies-Gibran, Siapa yang Cari Untung?
Ilustrasi. (ERA/Nisa Rahma Tanjung)

ERA.id - Anies boleh mengaku hanya ngobrol santai saat ketemu Gibran di Hotel Novotel Solo Selasa (15/11) lalu, saling sharing pengalaman sebagai kepala daerah sambil sarapan, dan berangkat bareng ke haul Habib Ali bin Muhammad Al Habsyi di Masjid Riyadh. Namun, sulit rasanya mengimani pertemuan antar anak Jokowi dan eks menterinya itu sebagai pertemuan biasa.

Gibran sendiri sempat berkomentar di twitter-nya, “Itu tidak sekedar mampir. Kami berdua janjian sarapan lalu pergi pengajian bareng-bareng.” Kata kuncinya ada di ‘janjian’, dan yang masih jadi misteri adalah siapa yang inisiatif menghubungi lebih dulu.

Pasti ada saja yang senang dengan pertemuan keduanya, atau malah kebakaran jenggot seperti Ketua DPP PDIP Sa’id Abdullah yang merasa Anies lagi nyusun strategi buat pecah belah partainya. Sisanya ribut dan tenggelam dalam fantasi masing-masing.

Beberapa simpatisan saling tuding siapa mengundang siapa. Guntur Romli bilang Anies lagi ngemis dan pansos ke Gibran, kebalikannya, pendukung Anies bilang Gibran yang nyamperin Anies ke hotel. Sementara dua orang yang diributkan saling jabat tangan, duduk bareng di satu mobil dan satu saf hingga acara haul berakhir, dan bertukar pujian satu sama lain tanpa peduli siapa yang kirim pesan duluan.

Wali kota Solo Gibran Rakabuming bersama Anies Baswedan saat haul Habib Ali bin Muhammad Al Habsyi di Masjid Riyadh Solo, Selasa (15/11). (Istimewa)

"Beliau itu andap asor (rendah hati). Bisa menjangkau semua,” kata Anies. “Saya senang, di bawah kepemimpinan Mas Gibran, Solo semakin maju dan berkembang.”

“Saya berguru sama beliau sebagai Gubernur DKI Jakarta yang sukses,” balas Gibran.

Menjelang tahun politik 2024 nanti, kita jangan gampang kagetan dengan berbagai pertemuan yang tak pernah diduga-duga akan terjadi. Sebelum ketemu Anies, siapa sih yang kepikiran kalau Gibran bakal sowan langsung ke Rocky Gerung, filsuf yang nyaris tak pernah absen menghajar citra bapaknya terang-terangan.

Waktu ketemu Anies kemarin, putra sulung Jokowi itu datang sebagai wali kota Solo, dan bukan sekadar pemilik bisnis martabak. Mereka berdua sesama politikus, dan pertemuan antar politikus paling aman kita anggap sebagai agenda politik, walau dibalut dengan dalih sarapan atau ngaji bareng.

Dan lagi, boleh percaya boleh tidak, ketika dua politikus bertemu, betapa pun mereka saling berkata manis satu sama lain, sejatinya mereka hanya fokus memikirkan keuntungan masing-masing. Anggaplah demikian, maka tak penting antara Anies yang ngajak Gibran ketemu atau sebaliknya, yang penting adalah bisa dapat apa mereka dari pertemuan itu?

Mari kita mulai dari Anies, calon presiden yang diusung Nasdem buat 2024. Karir politiknya pasang surut sejak 2014. Ia pernah jadi menteri pendidikan, tapi tak lebih dari dua tahun sebelum kena reshuffle dan digantikan Muhadjir Effendy. Dari sana ia berebut kursi DKI 1 dengan Ahok, dan memenangkannya berkat kasus penistaan agama yang menyandung sang lawan.

Pada masa-masa itu, Anies dekat dengan sayap kanan dari ormas Islam konservatif. Ia kerap hadir di acara-acara mereka dan mendapatkan panggungnya dari sana. Setelah didapuk sebagai Gubernur Jakarta, ia datang ke Reuni 212 di lapangan Monas dan tak lupa memberikan sambutan.

Ibarat belut, pergerakan politik Anies memang licin betul. Ia bukan kader partai, otomatis tak terikat golongan mana pun, dan membuka tangan kepada siapa saja yang memberinya ruang dan peluang. 

Waktu meminjam tangan ormas Islam konservatif untuk menang di ibu kota, Anies harus membayar harganya dengan kehilangan suara dari kelompok yang lebih liberal. Ia yang pernah jadi jubir timses Jokowi-Jusuf Kalla, lama-lama dianggap membelot ke gerbong Prabowo.

Kita tahu sendiri imbas dari pemilu 2019 masyarakat di akar rumput jadi terpecah belah, satu keluarga bisa ribut, grup-grup whatsapp penuh berita hoax dan kecurigaan, rumah tangga geger geden. Banyak orang merasakan dampak politik identitas, tak terkecuali Anies. Ia ikut kebasahan. Selain fansnya di mana-mana, haters-nya juga bejibun.

Wajar setelah namanya santer disebut-sebut sebagai capres 2024, dan menjelang lengser jadi gubernur, ia sering nyamperin gereja-gereja di Jakarta dengan alasan pamitan. Dari situ, Anies sudah memulai siasatnya untuk dua tahun ke depan, yaitu mengembalikan calon pemilih potensial yang hilang darinya.

Fan garis keras Jokowi hampir pasti benci Anies, atau minimal jengkel ke mantan Rektor Paramadina itu. Kemungkinan besar ia sendiri yang paling tahu kondisinya. Dilihat dari kaca mata Anies, bertemu dengan Gibran bisa jadi awal rekonsiliasinya dengan pendukung Jokowi yang tidak sedikit. Dari pertemuan kemarin, seolah-olah Anies ingin meninggalkan kesan, “Ini loh aku fine-fine aja sama Pak Jokowi. No problem.”

Sebaliknya, bertemu Anies juga menguntungkan Gibran yang belakangan sedang membangun citranya. Sebagai putra sulung Jokowi, ia selalu dibayang-bayangi nama besar bapaknya. Dulu pas bisnisnya dan sang adik, Kaesang, dibilang sukses karena aji mumpung, ia sempat berkomentar, “Kami berdua membesarkan nama kami sendiri tanpa embel-embel orang tua.”

Namun, kok kayaknya susah membayangkan ia jadi wali kota tanpa privilege jadi anak presiden. Wong ibunya sendiri, Iriana Jokowi, yang melepas Gibran waktu daftar jadi wali kota Solo. Pertanyaanya, waktu itu ia datang sebagai orang tua, atau ibu negara?

Selama jadi anak Jokowi, Gibran akan terus dikaitkan dengan bapaknya, walau bukan tidak mungkin ia bisa lebih besar dari itu. Kemungkinannya malah tinggi. Meski sama-sama memulai dari wali kota Solo, Jokowi baru naik pas umurnya 44 tahun, sedangkan Gibran masih 34 tahun waktu dilantik.

Sama seperti sang bapak, Gibran dengan lihai memoles citranya lewat media. Di media sosialnya ia aktif membalasi berbagai keluhan warga. Yang paling ramai kemarin pas kasus sopir truk dipukul paspampres. Ia seret pengawal bapaknya itu ke balai kota, ia paksa minta maaf.

Selanjutnya, sering kita lihat Gibran berusaha membangun citranya yang mandiri, lepas dari bayang-bayang Jokowi. Saat ada intruksi presiden untuk pengadaan mobil dinas listrik di lingkungan aparat pemerintahan, ia ogah nurut dan ngaku siap dipecat. "Saya siap ditegur, siap disanksi, saya siap dipecat," katanya ke media.

Ia juga mencopot baliho ucapan terimakasih kepada Presiden Joko Widodo yang beredar di Solo tanpa izin. Sambil keluar dari balai kota, ia bilang ke wartawan. "Yo mengko tak copot. Aku semangat nek nyopot-nyopot."

Ketemu dengan Anies yang sering dicap oposisi Jokowi juga bisa menajamkan citra mandiri Gibran. Apalagi habis sarapan mereka langsung berangkat menuju Masjid Riyadh Solo, ikut pengajian memperingati haul ulama besar. Jokowi, seperti sama-sama kita tahu, sering dituduh musuh Islam dan jauh dari agama. Gibran mungkin tak mau suara negatif begitu juga nurun ke pundaknya.

Terlepas dari semua kemungkinan di atas, hanya Anies dan Gibran yang tahu pasti apa tujuan mereka sarapan bareng kemarin. Yang bisa dipastikan hingga sekarang adalah peran mereka sebagai politikus, dan di dunia ini, selain kematian, isi hati para politikus masih jadi misteri.

Rekomendasi