Sebuah Teladan dari 'Si Doel Anak Sekolahan' yang Jarang Ditemukan Sinetron Masa Kini

| 22 Dec 2022 21:53
Sebuah Teladan dari 'Si Doel Anak Sekolahan' yang Jarang Ditemukan Sinetron Masa Kini
Ilustrasi. (ERA/Nisa Rahma Tanjung)

ERA.id - Sabeni lagi enak-enak tidur meluk guling di ranjang pas bininya, Lela, tiba-tiba nyelonong masuk terus bangunin lakinya. “Bang, si Doel dapet panggilan kerja Bang! Coba baca nih Bang, tuh Bang, tuh tulisannya tuh Bang.” Lela nunjuk-nunjuk ke amplop di tangannya. “Surat panggilan kerja. Ntuh!”

Sabeni yang kancing kemejanya kebuka separuh langsung nyomot amplop dari bininya. Matanya nyipit. “Apa katanye nih? Lu bisa baca?”

“Abang bisa baca kagak?” Lela nanya balik sambil melotot.

“Kagak... lah lu?”

Alis matanya Lela keangkat tinggi. “Ya kagak.”

“Etdah... tadi lu bilang panggilan kerja,” protes Sabeni.

"Si Atun yang bacain buat aye, emangnya Abang kagak seneng ye si Doel dapet kerjaan?" Lela gantian sewot.

Tangkapan layar adegan dalam salah satu episode Si Doel Anak Sekolahan.

***

Begitulah cuplikan suasana hari-hari di rumah Babe Sabeni. Ia tokoh fiksi yang dimainkan Benyamin Sueb dalam sinetron Si Doel garapan Rano Karno yang merangkap main sebagai tokoh utama, Kasdullah alias Doel. Sementara Lela atau Mak Nyak diperankan Aminah Cendrakasih. 

Hari ini, orang tua Doel keduanya sudah almarhum. Benyamin meninggal jauh-jauh hari sejak 1995, sedangkan Aminah baru saja mengembuskan napas terakhirnya Rabu (21/12) kemarin setelah muntah-muntah sedari subuh. Usianya 84 tahun, bonus umur dari Tuhan sebetulnya sudah terhitung banyak, tapi bagi penonton setia Si Doel sejak 2000-an, kabar kematian Mak Nyak seperti gledek yang nyamber dadakan.

Sinetron Si Doel tamat tahun 2006, itu sudah 16 tahun yang lalu, tapi rasanya baru kemarin mobil Sarah nabrak oplet tuanya Doel, Atun buka salon, Mandra pacaran dengan Munaroh, Karyo main burung perkutut sambil nyinyirin tuan rumah, Mak Nyak mergokin lakinya godain penumpang, Babe Sabeni ziarah ke lapangan golf, dan Doel lulus jadi tukang insinyur.

Mengapa sinetron yang berusia belasan tahun itu masih nyantol di kepala kita setelah sekian lama? Apa yang membuatnya begitu abadi?

Terhubung dengan realitas orang banyak

Si Doel Anak Sekolahan mengisahkan kehidupan keluarga Betawi dengan tradisi kental yang tinggal di tengah modernitas ibu kota. Tokoh utamanya, Doel, digadang-gadang mengangkat derajat keluarganya karena hanya ia satu-satunya yang kuliah di sana.

Babe Sabeni, seperti kebanyakan orang Betawi lain, punya kontrakan dan disewakan ke mas-mas Jawa bernama Karyo (Basuki). Selain itu, Sabeni juga jadi sopir oplet ditemani adik iparnya, Mandra sebagai kenek. Doel kadang ikut membantu narik oplet di sela-sela kuliah dan sesekali mengantar adiknya, Atun (Suti Karno) buat belanja.

Menonton Si Doel seperti melihat dokumentasi keseharian orang Betawi. Rasanya tak ada jarak antara sinetron itu dengan kehidupan yang biasa kita jalani sehari-hari. Itu alasan pertama mengapa Si Doel sangat dekat dengan banyak orang. Ia bukan bercerita tentang manusia serigala, misalnya, atau drama cinta-cintaan yang terkesan dibuat-buat.

Polemik yang hadir dalam Si Doel adalah problematika hidup yang sering kita alami: kuliah nyambi kerja bantu orang tua karena ekonomi pas-pasan; dilarang kerja jauh-jauh dari rumah; naksir sama tetangga tapi tak dapat restu orang tua; dijodohin sama orang yang tak diidam-idamkan; sakit hati karena suami godain perempuan lain; bingung bayar uang kontrakan; hingga di-PHK dari tempat kerja.

Zaenab (Maudy Kusnaedi) dan Sarah (Cornelia Agatha).

Salah satu polemik yang menjadikan kisah Si Doel bisa bernapas panjang hingga lebih dari seratus episode adalah cinta segitiga antara Doel, Zaenab (Maudy Kusnaedi), dan Sarah (Cornelia Agatha). Namun, Si Doel bukan menawarkan kisah cinta menye-menye biasa. 

Zaenab dan Sarah disetting sebagai dua perempuan yang benar-benar bertolak belakang. Zaenab tipikal perempuan rumahan yang kalem dan tak menggebu-gebu, sedangkan Sarah mewakili perempuan kota yang tak segan menunjukkan ketertarikannya ke lelaki yang ia suka.

Bersama Zaenab, kita bisa melihat percintaan Doel yang polos dan malu-malu. Sementara Sarah menampilkan percintaan yang agresif dan totalitas. Dan Doel, di tengah kedua perempuan ini, jadi lelaki yang plin-plan. Kita sebagai penonton di rumah merasa polemik cinta macam itu bisa terjadi kepada siapa saja.

Episode tak perlu panjang-panjang yang penting berarti

Rano Karno pernah bilang kalau naskah Si Doel Anak Sekolahan yang ia adaptasi dari film Si Doel Anak Betawi pernah ditolak salah satu stasiun televisi. Katanya, terlalu kampungan, khawatir sepi penonton. Pada musim pertamanya, Rano Karno hanya merilis enam episode di RCTI dan SCTV. Di luar dugaan, respon penonton sangat antusias.

Selain isu yang diangkat relate dengan banyak orang, Si Doel punya visi yang jelas. Setiap episode yang tayang punya peranan untuk membangun alur cerita, mengembangkan karakter, dan mengantarkan konflik menuju klimaksnya. Ini membuat tiap episodenya wajib diikuti. Ketinggalan satu episode sama dengan kehilangan alur cerita sepenuhnya. Dan setelah 162 episode, kisah Si Doel tamat.

Foto keluarga Babe Sabeni dan Mak Nyak Lela. (Istimewa)

Bandingkan dengan kebanyakan sinetron masa kini yang kejar tayang dan menumbalkan kualitas cerita. Tukang Bubur Naik Haji, misalnya, tokoh utama si tukang bubur atau Bang Sulam (Mat Solar) dimatikan di tengah jalan, tapi sinetronnya terus tayang sampai lebih dari 2000 episode.

Budaya kejar tayang ini yang jadi biang keladi merosotnya sinetron Indonesia. Semua gara-gara sinetron Liontin (2005) yang mengawali jadwal tayang Senin-Jumat seperti anak sekolahan. Si Doel itu dalam setahun paling banyak rilis 48 episode, yang artinya ia hanya tayang saban minggu sekali.

Si Doel juga bukan sekadar menghadirkan hiburan, tapi membawa pesan tanpa terkesan menggurui. Dalam satu episode, Sabeni menunaikan kaulan (sumpah) untuk ziarah ke makam leluhur jika Doel lulus sarjana. Ia bawa anak bininya ke makam mbah mereka yang sudah dibangun jadi lapangan golf.

Doel belajar dari Babe Sabeni dan Mak Nyak untuk tidak melupakan akarnya meski sudah kuliah tinggi-tinggi. Dan dari Doel kita belajar bahwa yang namanya modern bukan soal penampilan yang necis, tapi pemikiran yang terbuka.

Karakter yang kuat

Tiap tokoh yang kita tonton di sinetron Si Doel punya peran yang berarti, bukan asal mampang sebagai figuran. Sabeni jadi tulang punggung keluarga sekaligus representasi orang Betawi totok yang ceplas-ceplos. Duetnya dengan Mandra jadi pusat hiburan sepanjang cerita. Mereka saling berbalas omelan seperti burung beo dan tak ada yang mau mengalah.

Mandra dan Babe Sabeni lagi ribut.

Basuki sukses memerankan perantau asal Jawa Tengah yang tukang nyinyir dan cemburuan. Di samping itu, kisah kasmaran Karyo bersama Atun terkadang jadi pemecah konsentrasi dan penyegar cerita. Atun juga memukau sebagai perempuan tomboi yang tak bisa diam. Satu adegan ikoniknya apalagi kalau bukan kejepit tanjidor hingga bikin heboh Sabeni sekeluarga.

Engkong Ali, bapaknya Lela, diperankan tanpa cela oleh Pak Tile. Sebagai pelawak yang tak bisa baca tulis, otomatis semua adegan ia lakukan atas pemahamannya terhadap naskah, bukan hafalan. Itu menghasilkan celetukan-celetukan dan gestur lucu ala engkong-engkong Betawi.

Atun kejepit tanjidor dan bikin heboh orang serumah.

Secara garis besar, setiap karakter dalam sinetron Si Doel tampak hidup bukan karena kepribadian mereka yang sempurna, tapi justru dari kelemahan mereka sebagai manusia. Mulai dari Doel yang tidak tegas, Zaenab yang pasif, Sarah yang cemburuan, Sabeni yang emosian, Mandra yang tukang ngeluh, Atun yang keras kepala, Karyo yang sirik, hingga Engkong Ali yang genit.

Sinetron masa kini kerap menyodorkan tokoh-tokoh yang too good to be true, tanpa cela, baik dari segi fisik maupun sikapnya. Namun, sinetron begitu ibarat makanan bintang lima tanpa mecin. Lebih sehat sih, tapi kurang enak. Sementara Si Doel ibarat masakan ibu, menunya sederhana, dibantu mecin biar gurih. Memang tidak menjamin sehat, tapi enak dan bisa dinikmati lebih banyak orang.

Rekomendasi