"Kalau nanti pas lebaran, ya sudah yang Islam silakan mikirnya adalah untuk salat. Urusan parkir di kami, urusan keamanan di kami, urusan lalu-lintas ada di kami yang Katolik," ujar Pak Nalih.
ERA.id - Mobil kami berhenti di depan rumah besar dengan halaman luas dan gerbang tinggi berwarna hijau. Kami sudah janjian untuk bertemu Pak Nalih, salah satu warga Kampung Sawah, Bekasi pada Rabu sore (21/12). Titik di peta sudah sesuai. Tak ada tanda-tanda tuan rumah akan keluar, lalu terdengar panggilan masuk di ponsel kami.
“Maju lagi sedikit, yang ada pohonnya.” Pak Nalih menuntun dari seberang telepon. Pak Mul di belakang setir menginjak pedal gas pelan. Selang beberapa meter, kami sampai di pekarangan warga dan memarkir mobil. Dari sana, kami berjalan masuk ke gang yang teduh hingga menjumpai rumah biru dengan pagar rendah.
Berbagai tanaman pot menghiasi tembok pagar, seekor anjing kecil hitam mengawasi kami, lalu Pak Nalih muncul dari balik pintu mengenakan polo shirt kuning. “Masuk, masuk.” Kami segera duduk. Pak Nalih memanggil putri bungsunya untuk menyuguhkan minum dan kue.
“Kirain tadi rumahnya yang gerbang ijo Pak,” kami membuka obrolan.
“Oh itu, bukan…” Pak Nalih lalu menjelaskan bahwa warga asli Kampung Sawah bisa dilihat dari rumahnya. “Biasanya nggak dipagerin. Kalau ada juga ya seadanya, nggak tinggi-tinggi.” Karena itu juga banyak warga Katolik yang memelihara anjing, selain dijadikan teman, juga untuk pengamanan.
Pak Nalih baru saja terbebas dari kanker usus besar stadium empat. Dua tahun ia hanya terbaring dalam kamar. Sambil menunjuk perut kirinya, ia bercerita sekarang harus hidup dengan lubang di perut dan buang air menggunakan kantong yang diganti saban minggu. “Puji Tuhan masih diberikan hidup,” ucapnya.
Lelaki bernama lengkap Matheus Nalih Ungin itu mengaku ‘baru’ tinggal 58 tahun di Kampung Sawah, kampung yang namanya nyaring terdengar berkat toleransi antar umat beragama di sana. Warganya terdiri dari umat Islam, Katolik, hingga Protestan.
Secara kasat mata, kerukunan itu tampak dari tiga tempat ibadah yang berdiri berdekatan. Masjid Agung Al-Jauhar Yasfi, Gereja Katolik Santo Servatius, dan Gereja Kristen Pasundan. Ketiganya membentuk segitiga emas di Kampung Sawah. Tak ada yang mengusik satu sama lain, tak ada yang saling mencurigai.
"Kalau pas doa di gereja kedengeran azan, saya bilang ke jemaat, anggap itu suara Mazmur yang indah," ujar Pak Nalih. Hingga dua tahun lalu, ia masih menjabat sebagai wakil ketua dewan paroki di Gereja Katolik Santo Servatius. “Posisi sekarang saya adalah jemaat biasa.” Namun, setiap malam ia masih aktif memimpin pembacaan doa kepada Bunda Maria di pelataran gereja sambil menerangkan beberapa ayat Alkitab.
Kami bertamu ke rumah Pak Nalih untuk meliput persiapan Natal di Kampung Sawah. Ia juga mengajak kami mampir ke Gereja Katolik Santo Servatius sekaligus bertemu dengan petugas keamanan Natal yang rata-rata muslim.
Pohon keluarga Kampung Sawah
“Di Kampung Sawah, semua bersaudara,” kata Pak Nalih yang sudah berganti baju koko dan berpeci untuk persiapan ke gereja. Tampak sekilas ia seperti marbot masjid atau guru ngaji di langgar. “Bagi kami orang-orang Kampung Sawah, entah itu Kristen, Katolik, Muslim, sudah terbiasa menggunakan baju seperti ini.”
Peci, bagi warga Kampung Sawah, pada prinsipnya adalah simbol nasional dan bukan simbol keagamaan. Sama halnya dengan baju koko yang berasal dari budaya China. “Kami menghargai kreativitas itu dan menjadi simbol bagi kami, karena dengan memakai itu di Kampung Sawah terjadilah yang disebut persaudaraan.”
Persaudaraan di Kampung Sawah bukan sekadar omongan, tetapi memang warga di sana rata-rata terhubung dengan ikatan darah. Sehingga tak heran jika marga Betawi Kampung Sawah masih terjaga, mulai dari Nalih, Noron, Napiun, Natael, hingga Niman. Tak peduli apa pun agamanya, ikatan persaudaraan itu menjaga mereka tetap guyub dan rukun.
Pak Nalih bercerita bahwa warga Kampung Sawah punya pohon keluarga. Sayangnya, belum terdokumentasikan dengan baik dan hanya bersemayam di ingatan orang-orang. “Secara tertulis belum ada, tapi antar warga sama-sama tahu, ini saudaranya ini, itu saudaranya itu, ada pimpinan pesantren yang saudaranya Katolik, biasa aja.”
Ia sebagai generasi kelima marga Nalih di Kampung Sawah mengaku hanya meneruskan warisan dari leluhurnya. Toleransi di sana dipelajari dari kebiasaan yang anak-anak perhatikan dari orang tua mereka. “Bagi saya dan keluarga di Kampung Sawah, adalah bagaimana kita menerapkan nilai-nilai keagamaan itu untuk bisa beradaptasi dengan saudara-saudara yang berbeda, itu yang paling penting,” jelas Pak Nalih.
Nilai-nilai toleransi tersebut yang kemudian menjadi hukum tak tertulis di Kampung Sawah, sehingga tiap ada acara keagamaan seperti Natal, tanpa perlu disuruh, warga Muslim yang ada di sana ikut membantu keberlangsungan acara di luar ibadah, seperti menjaga keamanan, tukang bersih-bersih, hingga petugas parkir.
“Kemudian kalau nanti pas lebaran, ya sudah yang Islam silakan mikirnya adalah untuk salat. Urusan parkir di kami, urusan keamanan di kami, urusan lalu-lintas ada di kami yang Katolik,” ujar Pak Nalih.
Malam menjelang Natal di Gereja Katolik Santo Servatius
“Apa yang Pak Nalih siapin buat Natal tahun ini?” tanya kami. Ia menepuk ke dada. “Hati,” jawabnya. “Banyak berdoa, siapkan hati jadi rumah Tuhan.”
Magrib menjelang, Pak Nalih mengajak kami ke gereja. Katanya, teman-teman dari Kelompok Sadar Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Pokdar Kamtibmas) sudah menunggu untuk membahas persiapan pengamanan Natal tahun ini. “Nanti di sana ada masjid, tinggal jalan kalau mau magriban,” ucapnya. Kami berangkat sekitar pukul setengah enam. Hujan merintik.
Tarup sudah berdiri di sepanjang parkiran gereja. Melihat Pak Nalih datang, beberapa jemaat menyalaminya seperti guru. Ia lalu berjalan lurus ke belakang gereja. Tampaklah pelataran terbuka dengan patung Bunda Maria yang berdiri menyambut di sudut halaman.
“Assalamualaikum!” sapa Pak Nalih kepada anggota Pokdar Kamtibmas yang sudah menunggu di pendopo kecil. “Lailah romannya udah dari tadi ya? Lah kasian amat ini.” Enam anggota berseragam putih-putih, setengah laki-laki dan setengah perempuan, dua di antaranya berjilbab.
Pak Nalih segera duduk bergabung, dari kejauhan kami menyimak diskusi singkat mereka soal pengamanan Natal nanti. “Yang begini-begini gak perlu disuruh, kesadaran masing-masing,” ujar Bu ketua Pokdar Kamtibmas. Kurang lebih sepuluh menit mereka mengobrol sebelum pamit salat magrib. Kami juga undur diri sejenak. Tepat pukul tujuh kami kembali untuk menyaksikan doa malam di depan patung Bunda Maria.
Doa dibuka dengan lagu Rahmat yang Mengagumkan. Pak Nalih memimpin di depan. Sebelum naik, ia bilang ke kami agar tidak menunggu sampai habis karena takut kemalaman. “Nanti pas rosario pamit nggak apa-apa, saya bisa turun sebentar,” ucapnya. Di pelataran itu terlihat 14 Katolik taat berkumpul, kebanyakan orang tua.
Seperti arahan Pak Nalih, menjelang rosario kami memberi isyarat pulang, lalu ia turun untuk berpamitan. Dari balik punggung kami terdengar orang-orang tua itu masih melantunkan berbagai pujian. Kami hanya bisa membayangkan betapa indah Natal tahun ini di Kampung Sawah setelah dua tahun terhalang pandemi. Sayup-sayup pantun yang sempat diucapkan Pak Nalih bergema:
Sungguh indah pintu dipahat
Burung tekukur hinggap di dahan
Kalau kita ingin selamat
Marilah kita bersyukur kepada Tuhan