Nestapa Menjadi Kurir dan Hidup yang Terasing

| 17 Feb 2023 11:15
Nestapa Menjadi Kurir dan Hidup yang Terasing
Ilustrasi. (ERA/Luthfia Arifah Ziyad)

ERA.id - Motor Vario 125 itu diparkir dengan standar satu di depan rumah besar bergerbang besi hitam menjulang tinggi. Beberapa kardus paket disusun dua tingkat di atas sadel motor dan diikat kencang tali pengait agar tak jatuh. Kunci motornya masih menggantung. Dan sang pemilik tergeletak di samping motor dengan helm oranye yang belum sempat dilepas sebab nyawanya keburu melayang. Belakangan ia diketahui sebagai kurir dari ekspedisi SAP Express cabang Kedoya yang sedang mengantar barang ke Kebon Jeruk, Jakarta Barat.

Lelaki berusia 42 tahun itu awalnya diduga meninggal karena kelelahan. Jasadnya pertama kali ditemukan satpam setempat. Bersama warga lain ia lalu mencoba membangunkan lelaki yang dikira tak sadarkan diri tadi. Namun, orang mati tak bisa hidup lagi. Dari hasil pemeriksaan polisi, sang kurir diketahui punya riwayat penyakit jantung. "Informasi yang diterima dari keluarga," kata Kapolsek Kembangan Polres Metro Jakarta Barat, Kompol Ubaidillah dalam keterangannya, Kamis (16/2/2023).

Foto kurir yang ditemukan meninggal dunia saat mengantar barang di Jakarta Barat. (Istimewa)

Adapun berita kematian sang kurir mula-mula beredar di media sosial. Berawal dari cuitan Arif Novianto, periset di Institute of Governance and Public Affairs Universitas Gadjah Mada (UGM) yang fokus mengamati isu buruh dan pekerja gig, Rabu (15/2/2023). Menurutnya, kondisi kerja yang berat dan minimnya perlindungan membuat para kurir atau pun ojek online (ojol) bekerja dengan penuh kerentanan. 

"Para kurir/driver, dalam sistem kerja gig, tak ada batasan waktu kerja," ujar Arif. Sementara aturan main yang dikembangkan perusahaan rintisan mendorong mitra mereka bekerja sekeras-kerasnya. "Akibat bayaran yang murah, memaksa mereka bekerja lama, bahkan sampai kelelahan," lanjutnya.

Banyak orang berduka mendengar berita kematian sang kurir tadi, meski tak semuanya kenal langsung. Karena masing-masing orang merasa hidupnya tertolong dengan keberadaan kurir yang mengantar belanjaan mereka selamat sampai ke rumah. Beberapa yang pernah mengutuki lamanya waktu pengantaran; memberi rating rendah ke kurir; hingga suka berburu promo gratis ongkir, tampak menyesali perbuatannya. Mereka tadinya belum menyadari bahwa di balik kemudahan belanja online yang serba instan, ada hidup orang-orang yang dipertaruhkan di jalan.

E-commerce atau toko belanja online memang mengubah pola hidup kita. Lebih-lebih pasca tahun 2012 setiap tanggal 12 Desember ditetapkan sebagai hari belanja online nasional (harbolnas). Masing-masing e-commerce tak ingin ketinggalan momentum dan menggelontorkan diskon besar-besaran, membuat orang-orang kalap belanja. 

Seiring harga yang kian murah, upah kurir pun kian merosot. Tarif bagi para kurir Shopee Express misalnya, pernah berada di kisaran angka Rp5.000 per paket. Pelan-pelan angka ini turun ke Rp3.500 hingga pada 2021 hanya sebesar Rp2.150. Para kurir bisa menambah penghasilan lewat insentif, tetapi dengan target yang ditentukan perusahaan. 

Bagi kurir Shopee Express, mereka harus mengantar 40 paket sehari biar dapat insentif dan bisa mengantongi upah bersih Rp115.000. Kurang dari 40, maka hitungannya tetap Rp2.150 per paket. Otak-atik upah dan insentif kurir ini hanya berlangsung satu arah dan ditetapkan oleh perusahaan terkait, sedangkan para kurir yang dijadikan mitra hanya bisa menerima atau memilih mogok kerja seperti yang pernah dilakukan ratusan mitra Shopee Express di Kabupaten Bekasi pada September 2022 lalu.

Katakanlah seorang mitra kurir Shopee Express mampu mengantar 40 paket tiap hari, per bulan ia hanya mengantongi sekitar Rp3,5 juta, masih jauh di bawah Upah Minimum Regional (UMR) Jakarta, itu dengan catatan ia harus kerja tanpa libur.

Sekilas kisah para kurir: dari kurir dedicated hingga kurir tuyul

Fatih Rahmatullah sudah setahun bekerja menjemput dan mengantar barang di Shopee Express cabang Malang, Jawa Timur. Ia beruntung bisa menjadi karyawan di sana. Sementara ratusan yang lain masih berstatus sebagai mitra. "Jadi ada dua jenis kurir di Shopee, dedicated dan mitra," ujar Fatih saat dihubungi ERA, Kamis (16/2/2023).

Kurir dedicated sepertinya adalah kurir yang sudah diangkat jadi karyawan. Kelebihannya tentu ia hanya bekerja Senin-Jumat dan punya penghasilan bulanan sebesar UMR. Yang nestapa adalah target antar barang yang gila-gilaan. Dalam sehari kurir dedicated harus mengantar minimal 120 paket. "Pas event kayak 2.2 kemarin, itu kemungkinan per hari enggak cuma 120, bisa sampai 180," ujar Fatih. Sementara jarak yang ditempuh bisa puluhan hingga ratusan kilometer. Ini yang membuat kurir-kurir dedicated kelimpungan.

"Gara-gara itu ada lagi yang namanya mitra reguler," ujar Fatih. Mitra reguler bukan karyawan, tapi enaknya mereka pasti dapat jatah mengirim paket tiap hari. Beda dengan mitra biasa yang belum tentu dapat pesanan. Namun, keduanya sama-sama dihitung pekerja lepas, tak terikat kontrak, tak punya perlindungan, dan menggantungkan pemasukan dari jumlah paket yang dikirim. "Sekarang udah jarang mau ngangkat kurir dedicated, mending milih mitra reguler, kayaknya biar pengeluaran enggak banyak," lanjutnya.

Fatih juga bercerita, pada waktu-waktu sibuk dan pesanan membeludak, mau tidak mau akhirnya para kurir merekrut kurir-kurir lain untuk membantu mereka. Kurir-kurir bantuan ini biasa dipanggil kurir tuyul, mereka tidak terdaftar di perusahaan sebagai kurir resmi.

Aziz salah satu orang yang memilih jadi kurir tuyul untuk menafkahi istrinya. Suatu hari pada bulan April 2022, ia diajak seorang temannya yang jadi kurir di Lazada untuk bantu-bantu mengantar barang saat ada promo belanja akhir bulan. Aziz mengiyakan. “Waktu itu lagi butuh uang sih,” ujarnya.

Ia bercerita kurir-kurir tuyul sepertinya biasa direkrut oleh kurir resmi yang mengendarai mobil. “Kalau mobil itu kan jangkauannya terbatas, enggak sefleksibel motor, kalau masuk-masuk gang atau pasar kan susah,” ujar Aziz. “Makanya mereka manggil temen yang punya motor, jadi kita ngambil barangnya di dia.”

Kurir tuyul punya grup Whatsapp sendiri dengan kurir resmi yang memakai jasa mereka. Mereka berkoordinasi lewat grup tersebut, seperti mengirim alamat tujuan dan mengabari tiap paket yang sudah diterima pembeli. “Nah, kalau di Lazada itu biasanya semua COD, jadi bayar di tempat. Malamnya, kalau semua paket udah dikirim, kita ketemu lagi sama kurir resmi buat setoran,” cerita Aziz.

Kurir mobil di Lazada dapat upah sekitar Rp4.000 per paket. Jumlah itu lalu dibagi dua kepada kurir-kurir tuyul yang jadi kaki tangannya. Aziz hanya bertahan selama sebulan. Sehabis bulan Mei 2022, ia memilih berhenti jadi kurir tuyul. Alasannya karena kelelahan. Ia harus mengambil paket pas zuhur dan baru selesai mengantar jelang tengah malam. Belum lagi kalau kehujanan.

“Kalau barang hilang juga kan kita harus ganti. Beberapa kali aku kehilangan barang. Ganti barang Rp40 ribu aja kan udah habis itu penghasilan sehari,” keluh Aziz. 

Hidup kurir yang terasing

Hidup nestapa yang dijalani kurir hari ini sebetulnya sudah diwanti-wanti oleh Karl Marx sejak jauh-jauh hari. Ketika filsuf Jerman itu hidup di Prancis pada tahun 1844, ia menulis panjang pemikirannya dalam Economic and Philosophic Manuscripts of 1844. Di sana ia menyebutkan soal alienasi atau keterasingan, yaitu ketika manusia kehilangan kuasa atas pekerjaannya yang bebas dan universal.

Hari ini, nyaris semua kurir seperti Fatih dan Aziz tak menikmati pekerjaannya. Bagi mereka, bekerja hanya tuntutan hidup dan beban, bukan kesenangan. Tak kerja maka tak makan, karena itu mereka terus mengantar barang. Semakin banyak yang diantar, semakin banyak uang didapat, tetapi semakin sedikit waktu hidup yang benar-benar mereka nikmati. Semua itu keliru menurut Marx, dan ini disebabkan oleh yang namanya kapitalisasi.

Dalam ekonomi kapitalis, masyarakat dibagi ke dalam dua golongan: pemodal dan buruh. Hasil produksi yang dikerjakan buruh ditukar dengan upah dari pemilik modal, sehingga buruh tak punya hak atas barang yang mereka hasilkan. Bagi Marx, sistem begitulah yang menghasilkan keterasingan, yaitu pekerja merasa terasing dengan pekerjaannya, dengan produknya, dengan dirinya sendiri, dan dengan masyarakat.

Maka dari itu, kurir hanya dianggap sebagai alat dalam masyarakat kapitalis, seperti motor dan mobil yang digunakan mengantar orang. Seberapa banyak pun kurir mengantar paket, yang mendapat untung terbesar tetap perusahaannya, sedangkan rating buruk yang didapat kurir hanya ditanggung ia seorang. Marx menyebutnya sebagai eksploitasi. Ketika pekerja digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan pemilik modal dengan kompensasi minimal.

Sosiolog dari UIN Jakarta, Dr. Tantan Hermansah mengatakan kasus kematian kurir sebelumnya perlu dicermati tidak hanya dari persoalan medis semata. “Kurir saat ini menjadi bagian dari suatu ekosistem bisnis yang besar,” ujarnya kepada ERA, Kamis (16/2/2023). “Bisa jadi kelelahan yang diderita oleh kurir tersebut merupakan akibat dari banyak hal, seperti: pemenuhan target kiriman yang tinggi.”

Karena itu, ia merasa perlunya dibangun ekosistem yang memperhatikan banyak variabel, seperti kesehatan, kesejahteraan, hingga sistem pelaksanaan pengantaran. “Oleh karena itu perlu ada edukasi dan peningkatan kesadaran agar sama-sama diuntungkan. Dalam konteks yang lebih luas tentu keluarga para kurir itu sendiri, sehingga kita tidak lagi mendapat berita duka seperti ini,” tutup Tantan.

Rekomendasi