Menggugat Ridwan Kamil dan Pesan Bijak Bermedia Sosial

| 17 Mar 2023 16:15
Menggugat Ridwan Kamil dan Pesan Bijak Bermedia Sosial
Ilustrasi. (ERA/Luthfia Arifah Ziyad)

ERA.id - Soe Hok Gie pernah menulis bahwa politik seperti lumpur kotor yang tak kenal moral. "Tetapi suatu saat di mana kita tak dapat menghindari lagi, maka terjunlah. Dan jika sekiranya saatnya sudah sampai, aku akan ke lumpur ini," ungkapnya dalam Catatan Seorang Demonstran.

Ridwan Kamil yang akrab disapa Kang Emil ikut terjun ke lumpur itu sejak 2013, semua berawal dari kota kelahirannya, Bandung. Dua kali ia moncer terpilih jadi kepala daerah, mulai dari Wali Kota Bandung hingga akhirnya jadi Gubernur Jawa Barat. Banyak yang bilang, 2024 nanti ia bakal membidik tangga yang lebih tinggi lagi, entah kursi presiden atau wakilnya. Januari lalu, ia resmi bergabung ke Golkar. 

Takdir politik untuk berkotor-kotor seperti tak bisa dihindari lagi, termasuk bagi Kang Emil. Sebagaimana politikus lain, sepatunya yang tampak kinclong di awal, kini penuh bercak lumpur. Ia yang dulu sering didapati bersepeda mengecek proyek-proyek pembangunan di Bandung ditemani asisten pribadinya —tanpa sorotan kamera dan jauh dari ingar-bingar media sosial— baru-baru ini mesti ribut dengan seorang guru honorer bekas relawannya gara-gara komentar di Instagram.

"Bekerja dalam hening. Entah ke mana beliau yang itu sekarang," ucap Rama, seorang warga Bandung yang pada 2015 silam papasan dengan Kang Emil selagi ia mengecek proyek pembangunan trotoar.

Ridwan Kamil sedang mengecek proyek trotoar di Jl. Riau, Bandung, pada tahun 2015. (Istimewa)

Kang Emil sendiri pernah bilang kalau media sosial baginya adalah sarana berkomunikasi dengan masyarakat yang terpisahkan jadwal dan jarak. Dalam sebuah wawancara empat tahun silam, ia berkata bahwa postingan di Instagram bukan hanya ia gunakan untuk berbagi aktivitas pribadi, tetapi juga melaporkan kegiatannya sebagai gubernur, memberi informasi, menjawab pertanyaan, hingga edukasi.

Empat tahun berlalu sejak wawancara itu, Kang Emil makin aktif bermain media sosial, bahkan boleh dibilang terlalu aktif hingga hal-hal sepele yang menyinggungnya harus ditanggapi serius. Kini ia terkenal punya satu jurus ampuh membungkam pengkritiknya di Instagram, yaitu dengan cara memberi pin pada komentar-komentar negatif agar itu tak tenggelam dan bisa terus dipantau pengikutnya. Gara-gara itu juga seorang guru honorer di Cirebon dirisak netizen hingga dipecat dari sekolahnya.

Penguasa vs rakyat biasa, sebuah pertarungan yang timpang

"Maneh teh keur jadi gubernur jabar ato kader partai ato pribadi @ridwankamil????" begitu tulis Muhammad Sabil Fadilah, guru yang menegur Kang Emil di Instagram. Artinya kira-kira begini: Kamu lagi jadi gubernur atau kader partai atau pribadi?

Kang Emil memberi pin buat komentar tadi, lalu membalas, "Ceuk maneh kumaha?" yang artinya: Menurut kamu gimana?

Tak sampai disitu, Kang Emil juga mengirim pesan ke pihak sekolah dan melaporkan kelakuan guru mereka. "Tidak pantas seorang guru spt itu," tulisnya. "Hatur nuhun, sekolahnya jadi kebawa-bawa oleh netizen."

Tak selang berapa lama, Sabil dipecat. Surat pemecatannya segera tersebar dan Kang Emil segera memberi klarifikasi yang terdengar normatif. Ia bilang seorang pemimpin tak boleh anti kritik, ia juga mengaku sudah mengontak pihak sekolah agar yang bersangkutan cukup diingatkan saja, dan terakhir ia tak lupa berpesan: Selalu bijak dalam bermedsos.

Menurut Direktur Eksekutif Indonesia Political Opininion (IPO), Dedi Kurnia Syah, klarifikasi Kang Emil malah berbanding terbalik dengan sikap yang ia tunjukkan. Bagi Dedi, Kang Emil justru anti kritik dan tak bijak bermain media sosial. 

"Sekarang RK menjadi pemantiknya perisakan pada seorang guru," ucap Dedi lewat pesan singkat, Rabu (15/3/2023). "Ia tidak sadar bahwa reaksi dinas dan kepala sekolah tempat guru tersebut mengabdi itu dipengaruhi reaksi kekuasaan RK."

Membaca klarifikasi Kang Emil, tampak betul ia tak sadar di mana letak kelirunya apa yang telah ia perbuat. Kalau memang begitu, sini kami jelaskan pelan-pelan. Pertama, memberi pin pada komentar seseorang sama dengan membuatnya disorot massa. Tak jauh beda dengan guru yang selalu mengungkit-ungkit kesalahan muridnya dan mention namanya di depan kelas, sambil menasehati ke yang lain, “Jangan jadi seperti ini ya, dia begini, begini…” Perbuatan macam itu lebih tepat diniatkan untuk menciptakan satu musuh bersama ketimbang untuk memperbaiki sikap seseorang.

Kedua, Kang Emil punya modal massa, kurang lebih di Instagram saja ada 20 juta pengikut. Bandingkan dengan guru Sabil yang cuma punya dua ribuan pengikut. Jomplang, kan? Anak kecil juga tahu siapa yang bakal menang kalau ada keributan antara pengikut mereka berdua. Ibarat Raffi Ahmad lawan Aldi Taher, malaikat juga tahu siapa yang jadi juaranya.

Ketiga, Kang Emil ini penguasa, punya kekuatan sosial yang lebih tinggi. Penulis Okky Madasari juga bilang, ketika gubernur macam Kang Emil menghubungi tempat kerja sang guru, itu namanya show of power, pamer kekuasaan. Pertanyaan dari Sabil bisa juga diajukan ke Kang Emil saat memilih melapor ke sekolah yang bersangkutan: Maneh teh keur jadi gubernur Jabar ato kader partai ato pribadi?

Keempat, masih banyak yang bisa diurusi gubernur untuk memajukan pendidikan ketimbang melaporkan satu-satu guru yang main medsos. Misalnya, mengembalikan Anggaran Bantuan Operasional Pendidikan Daerah (BOPD) Jawa Barat seperti semula setelah sebelumnya dipotong dari Rp1,5 triliun tahun lalu ke Rp933 miliar pada 2023 buat bangun masjid dan alun-alun.

Kang Emil bilang bisa saja postingan kasar seorang guru ditiru anak didiknya. Pertanyaannya sederhana, siapa yang membuat komentar yang dianggap kasar itu viral kalau bukan Kang Emil sendiri? 

Kang Emil juga bilang kewajiban kita untuk saling menasehati, tapi ia sendiri tak bisa membedakan mana yang namanya menasehati dengan melaporkan. Menasehati itu bicara langsung ke orangnya, kalau ngomongnya ke orang lain, itu namanya melaporkan. Menasehati dilakukan untuk kepentingan orang lain, sedangkan melaporkan seringnya dilakukan untuk membela diri.

Memperbaiki pendidikan kita bakal butuh waktu seumur hidup kalau caranya dengan melaporkan satu-satu mereka yang komentar negatif di medsos. Dan tentu itu bukan cara yang bijak dan efisien untuk dikerjakan seorang gubernur. Namun, kalau itu masih dilakukan, maka perlu dipertanyakan, apakah niatnya memang menjaga citra guru atau menjaga nama baik sendiri?

Rekomendasi