Anies yang Diam-Diam Menapaki Jejak Ali Sadikin dan Holywings yang Bukan Soal 'Halal-Haram'

| 30 Jun 2022 20:25
Anies yang Diam-Diam Menapaki Jejak Ali Sadikin dan Holywings yang Bukan Soal 'Halal-Haram'
Mantan Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin. (Foto: Istimewa)

ERA.id - Jika Holywings tutup oleh Pemprov DKI Jakarta (atau daerah mana saja), jangan dulu bersenang dan memuji bahwa pemimpin daerah masih punya iman Islam. Sebab, mereka melakukan itu tidak karena mempunyai kadar kesalehan yang tinggi, tetapi menutup klub malam tersebut murni sebatas regulasi—yang tidak ditaati oleh pihak pengelola klub. 

Buktinya, Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria mengatakan bahwa Holywings diizinkan beroperasi kembali jika telah melengkapi seluruh izin penjualan miras. Coba baca baik-baik kalimat itu. Jelas hanya persoalan perizinan, tidak karena iman dari Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang terusik.

Coba cek juga berapa saham Pemprov DKI Jakarta terhadap PT Delta Djakarta Tbk (DLTA), produsen minuman keras Angker Bir. Dari laporan keuangan DLTA Maret 2021, Pemprov DKI Jakarta memiliki saham 26,25 persen atau 210.200.700.

Maka dari itu, para penggemar Anies Baswedan yang kerap memuji idolanya karena memiliki sikap pemimpin yang islami, sebaiknya hentikan sejenak pujian itu. Sebab, apa yang dilakukan Anies Baswedan terhadap dunia hiburan dan tetek bengek lainnya sudah tepat. Ia mengikuti jejak gubernur terdahulu, yakni Ali Sadikin. 

Ali Sadikin (Wikimedia Commons)

Ali Sadikin dilantik menjadi Gubernur DKI Jakarta pada 28 April 1966. Tahun itu Republik Indonesia baru berumur 21 tahun, sedangkan ibu kota Jakarta masih dalam kondisi tidak layak, padahal Jakarta halaman depan Indonesia. Ibu kota negara kok amburadul? Mungkin demikian kondisi Jakarta ketika itu. 

Setelah dilantik oleh Soekarno, Ali bertekad akan membangun Jakarta, tapi sayangnya uang kurang. Dari mana Ali mencarinya? Dari judi, dari klub malam, dari bar. Semua yang berbau haram nan dosa, Ali legalkan di ibu kota. 

Sebab, mengandalkan pemerintah pusat, Jakarta hanya dikasih sebesar 3 miliar, padahal Ali meminta sebanyak 5 miliar. “Tapi pembangunan Jakarta harus diteruskan sesuai dengan master plan,” ucap Ali di Majalah Tempo, 19 Juni 1971. 

Kemudian, Ali menambahkan alasan mengapa perjudian harus dilegalkan. Katanya, “Saya katakan judi bukanlah sumber inkonvensional. Orang lain yang mengatakan demikian. Bagi saya judi itu sumber yang konvensional seperti sumber-sumber lainnya. Sumber ini dikeluarkan berdasarkan hukum yang ada. Saya berpendapat judi tidak bisa diberantas. Saya tutup casino dan Petak Sembilan, di tempat lain judi jalan terus. Saya akan mempertahankan judi karena dengan demikian judi bisa saja kontrol.” 

Diskotek Tanamur di kawasan Tanah Abang, diskotek pertama di Jakarta buah dari kebijakan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin. (Instagram@pipotahir)

Dalam buku Ali Sadikin: Membenahi Jakarta Menjadi Kota Manusiawi (2012) karya Ramadhan KH, Ali berkisah bahwa satu hal yang pernah menggegerkan sewaktu menggali sumber keuangan untuk kepentingan masyarakat adalah judi. 

Sebelum Ali menjadi gubernur, dunia perjudian sudah marak di Jakarta, tapi belum dilegalkan dan dikontrol. Artinya, Pemprov DKI Jakarta tidak mendapatkan apa-apa dari perjudian ilegal tersebut. Seorang ahli hukum saat itu, Djumadjitin, memberitahu Ali bahwa gubernur sebelumnya, Soemarno Sosroatmodjo, sudah punya keinginan untuk mengesahkan judi, tapi Soemarno ragu saat itu.

Kemudian, Ali bertanya kepada Djumadjitin, “Apakah ada aturan-aturan dan hukum-hukumnya mengenai judi di Jakarta ini?” 

“Mengenai judi,” kata Djumadjitin, “kekuasaannya ada pada kepala daerah, sesuai dengan perundang-undangan.” Usai mendengar ucapan itu, Ali merasa terbuka pikirannya, mempunyai kekuatan, dan memiliki dasar hukum untuk melegalkan judi. 

Menurut Djumadjitin, “Ada undang-undang dan peraturannya. Undang-undang No. 1 tahun 1957 yang memungkinkan Pemerintah Daerah memungut pajak atas izin perjudian. Hanya gubernur-gubernur lain tidak berani melakukannya.”

“Saya berani,” jawab Ali. 

Di hadapan para gubernur dan bupati yang hadir di malam ramah tamah di Tropicana, seperti diberitakan Majalah Tempo, 20 Maret 1971, Ali Sadikin berucap, “Dengan adanya night club yang menghidupi 5.000 orang, belum termasuk keluarganya, saya kira saya mendapat pahala. Pahala itu saya kira lebih tinggi dari maksiat ....”

Jadi, apabila Holywings tetap akan dibuka dengan alasan nasib 3 ribu karyawannya, maka keputusan dari Anies Baswedan dan Ahmad Riza Patria sudah cocok. Sebab, pahalanya lebih tinggi dari maksiat. 

Rekomendasi