Selamat Tinggal Tabloid Bola

| 17 Oct 2018 10:52
Selamat Tinggal Tabloid <i>Bola</i>
Ilustrasi (Pixabay)
Jakarta, era.id - Kabar bakal tutupnya Tabloid Bola berembus sejak malam tadi, Selasa (16/10/2018). Warganet yang gelisah mempertanyakan keabsahan kabar tersebut di jagat dunia maya. Sampai akhirnya, Firzie Idris, redaktur pelaksana BolaSport mengonfirmasi melalui akun Twitter-nya. Tabloid Bola hanya berjarak dua edisi dari salam perpisahan.

"Berhubung sudah banyak yang nanya. Dua terbitan terakhir @TabloidBOLA adalah Jumat (19/10) dan Selasa (23/10) di mana edisi terakhir merupakan publikasi pamitan kami. @BolaSportcom tetap bertahan dalam perannya sebagai situs olahraga Kompas Gramedia," kicau Firzie.

 

Sedih. Tentu saja, inilah yang dirasakan para penggila sepak bola era 1980 dan 1990an. Pada masa itu internet belum merambah luas, khususnya ke pelosok-pelosok seperti kawasan kabupaten di sejumlah daerah. Dan Tabloid Bola adalah solusi terbaik untuk mendapatkan berita sepak bola paling aktual dan terpercaya.

Hal ini diakui sejumlah warganet yang menumpahkan kesedihan sekaligus kenangannya melalui akun media sosialnya. Ada yang kaget bahkan sedih. Tapi, mereka tidak bisa berbuat apa-apa alias pasrah. Salah satunya, Rino warga Bogor yang berlangganan Tabloid Bola sejak awal 1990an hingga awal 2000an.

"Sedih denger kabar Tabloid Bola mau tutup/berhenti beredar. Terlalu banyak kenangan dan pengetahuan yg gw dapatkan dari tabloid legendaris ini. Di tahun 90an, kalau mau tahu hasil pertandingan liga Eropa yang mainnya Minggu dini hari (karena gak sempet nonton atau gak disiarin tv lokal), Senin sore gw bela2in pergi ke stasiun Bogor nunggu Tabloid Bola edisi Selasa turun dari kereta (fresh from the oven). Beli, baca semua sampai abis. Gw melakukan itu hampir setiap pekan," tulis Rino, yang menambahkan tagar #SilenzioStampa, yang berarti aksi tutup mulut saking tidak bisa berkata apa-apa lagi. 

Supaya kamu tahu. Istilah 'Silenzio Stampa' digunakan para pemain Liga Italia Serie A ketika mereka enggan memberikan penjelasan kepada awak media kala sebuah isu terjadi dalam tubuh timnya. Dan Tabloid Bola adalah media yang bisa dibilang pertama kali memperkenalkan istilah ini kepada para pembacanya di Indonesia.

Salah satu artikel yang pernah dimuat di Tabloid Bola (Foto: Istimewa)

Para pembaca era 90an mungkin mengenal nama Weshley Hutagalung, Yudhi Febiana, Arief Natakusumah dan Dian Safitri yang setia menyuguhkan artikel-artikel berkelas seputar sepak bola. Dari mulai feature hingga reportase sebuah pertandingan atau turnamen akbar. Semua disajikan dengan elegan.

Kita juga tentu masih ingat ulasan-ulasan Rayana Djakasurya dalam sebuah kolom khusus Liga Italia. Di dalamnya tersaji kisah mendalam seputar Serie A yang saat itu menjadi destinasi para pemain bintang dunia sekaligus tolak ukur hebat tidaknya seorang penyerang. 'Jika seorang striker belum bermain di Serie A dan apalagi tidak menjadi Capocannonieri (pencetak gol terbanyak), maka ia belum termasuk kategori hebat,' demikian bunyi ungkapan paling terkenal untuk menggambarkan kehebatan Serie A saat itu. 

 

Kita tentu masih ingat bagaimana Marco van Basten mencetak gol indah di final Piala Eropa 1988, bagaimana Diego Maradona menangis ketika Argentina kalah di final Piala Dunia 1990 melalui gol Andreas Brehme, bagaimana Roberto Baggio gagal mengeksekusi penalti ke gawang Brasil di final Piala Dunia 1994, atau bahkan bagaimana Widodo C. Putro mencetak gol salto nan legendaris di Piala Asia 1996. Ya, saat itu televisi lokal menyiarkan pertandingan-pertandingan ini secara langsung, dan Tabloid Bola menyempurnakannya menjadi suguhan emosional di dalam hati para penggila sepak bola.

Di dunia musik. Black Sabbath disebut-sebut sebagai penggagas musik heavy metal, tapi Metallica-lah penyempurnanya. Dan jika televisi lokal yang menyiarkan pertandingan-pertandingan sepak bola secara langsung diibaratkan Black Sabbath, maka Tabloid Bola adalah Metallica-nya.

Tabloid bola awalnya hanyalah sisipan koran Kompas yang terbit pada 3 Maret 1984. Lantaran banyak peminatnya, empat tahun kemudian sisipan ini berdiri sendiri dalam format tabloid dan terbit sekali dalam sepekan. Memasuki era 90an, Liga Italia menjadi primadona dalam peta sepak bola Eropa. Indonesia pun kena imbasnya. Setiap penggila bola ingin menjadi Ruud Gullit, Marco van Basten, Roberto Mancini, Giuseppe Signori, Ronaldo Luiz dan Gabriel Batistuta. Dan Tabloid Bola makin memanjakan para pembacanya agar lebih mengenal idola mereka dengan terbit dua kali dalam sepekan. Masa lalu yang penuh kenangan.

Selamat tinggal Tabloid Bola. Kenangan manis ini membekas di hati kami.

Baca Juga : Usain Bolt Dilirik Klub Malta

 

Rekomendasi