Hal itulah yang terlihat saat presscreening film tersebut di Blok M Square, Jakarta pada Jumat (8/3). Film yang diangkat dari artikel di majalah Vanity Fair berjudul Marie Colvin’s Private War oleh Marie Brenner tersebut, sudah rilis di Amerika Serikat pada November 2018 lalu dan berhasil mendapat dua nominasi di Golden Globe Awards 2018 lalu. Sang aktris Rosamund Pike (Gone Girl, Pride & Prejudice) yang memerankan sang jurnalis, sempat dinominasikan sebagai Best Actress di ajang tersebut. Termasuk sang sutradara Matthew Heineman (Cartel Land, City of Ghost) yang sempat mendapat nominasi sebagai sutradara terbaik untuk fitur film pertama di Directors Guild of America.
Selain kedua nama di atas, beberapa nama lain turut menghiasi film berdurasi 110 menit tersebut. Di antaranya, Jamie Dornan, Tom Hollander, Faye Marsya, Stanley Tucci, Nikki amuka-Birds, dan beberapa nama lainnya. Sedangkan untuk penulisan skenario film ini diserahkan kepada Arash Amel (Grace of Monaco, The Titan) yang juga menjadi co-producer.
Film ini berkisah tentang perjalanan Marie Colvin, seorang jurnalis di bagian korensponden luar negeri yang turun langsung ke daerah konflik perang saudara meninggalkan kehidupan elite dan nyaman. Ia turun untuk menuliskan kisah para korban yang menderita karena konflik berdarah tersebut.
Dimulai dengan pengiriman dirinya ke kawasan Sri Lanka di 2001 untuk mewawancarai ketua pemberontak Tamil yang berseberangan dengan para tentara Sri Lanka. Hatinya terketuk setelah melihat para wanita dan anak-anak yang kondisi kesehatannya menurun akibat bantuan makanan dan obat-obatan disita oleh pemerintah. Saat harus meninggalkan wilayah pemukiman para pemberontak, ia disergap oleh tentara pemerintah di mana sebuah ledakan granat membuat mata kirinya terluka sehingga harus menggunakan penutup mata.
Marie Colvin dalam film A Private War (Istimewa)
Ternyata hal itu tidak membuatnya kapok. Ia pun kembali bertugas untuk pergi ke Iraq di tahun 2003. Ia bertemu dengan Paul Conroy (Jamie Dorman), seorang fotografer freelance di zona perang yang kemudian mengajaknya untuk mencari lokasi kuburan massal di era rezim Saddam Hussein di kawasan yang dilarang oleh para tentara sekutu.
Meski berulangkali mendapat penghargaan sebagai insan pers yang memiliki tulisan tajam dan memikat, Marie Colvin juga mengidap post traumatic stress disorder (PTSD) akibat apa yang sering ia lihat saat menjadi jurnalis di medan perang. Setelah melewati masa pemulihan, ia dan Conroy pun kembali pergi ke daerah konflik lainnya, salah satunya Libya di tahun 2009 dan berlanjut ke Suriah di tahun 2012. Di kedua tempat inilah, baik ia dan maupun seluruh wartawan perang lainnya menjadi target untuk dibunuh.
Kisah ini sebenarnya lebih banyak membuka aspek psikologis yang dialami seorang jurnalis medan peperangan dibanding sebagai biopik sang tokohnya sendiri. Sebuah gangguan kejiwaan yang sebenarnya hanya diderita oleh para veteran perang tersebut tenyata juga diderita oleh para jurnalis perang seperti Marie Colvin. Bayangan mayat seorang anak, letupan molotov, isak tangis para kaum perempuan di medan perang menjadi mimpi buruk oleh sang jurnalis. Sayangnya, para sineas hanya menyuguhkan bagaimana kondisi seorang pengidap PTSD itu tanpa menunjukkan bagaimana mereka mengatasi kondisi tersebut yang kemudian berlanjut di medan perang berikutnya.
Salah satu cuplikan film A Private War (Istimewa)
Ada konflik batin yang berkecamuk di dalam jiwa sang tokoh. Di satu sisi ia merasa sangat membenci zona konflik dan perang sebagaimana ia ungkapkan kepada rekannya Paul Conroy, namun di satu sisi ia merasa perlu menyuarakan suara-suara minor yang merasakan dampak terbesar akibat peperangan. Ia bukan tipikal wartawan yang hanya melakukan peliputan dan pulang setelah job desk-nya telah ditunaikan atau pergi ke daerah yang dirinya merasa terlindungi oleh tentara sekutunya. Marie Colvin mencoba keluar dari zona aman itu. Keberanian itu terpancar dari dirinya meski tidak ada yang tahu bahwa ia juga menderita karenanya. Sehingga wajarlah bila rekannya menggambarkan bahwa ia adalah seorang pecandu risiko atau pecandu aktivitas yang mengundang bahaya seperti yang dilakukan para penikmat olahraga ekstrem. Seperti dalam kalimat dialog; kau seperti laron yang tertarik pada cahaya.
Rosamund Pike bermain secara brilian untuk menggambarkan tokoh jurnalis yang berdedikasi dan tanpa kenal takut. Yang paling mudah terlihat adalah cara Pike berbicara yang sepertinya mengikuti gaya berbicara Marie Colvin yang asli. Tentunya berbeda sekali dengan gaya berbicaranya saat ia lakukan di Gone Girl atau Johnny English Reborn. Kepiawaian Pike juga terlihat saat ia menggambarkan bagaimana saat seorang mengalami reaksi PTSD.
Peran Jamie Dorman sebagai fotografer perang Paul Conroy sangat mewakilkan rasa keingintahuan para penonton yang ingin tahu apa yang sebenarnya ada di kepala Marie Colvin yang dianggap sebagai orang nekat. Percakapan antara kedua sedikit banyak mengungkap apa yang menjadi motivasi sang tokoh untuk tergerak melakukan semua hal itu, meski kadarnya masih sangat abu-abu. Bahkan predikat 'pengecut' yang disematkan oleh Colvin kepada Conroy begitu memukul kepala para penonton film ini, apalagi bila ia juga seorang wartawan.
Dari sisi plot, tentunya sangat berbeda dengan gaya film di luar kisah biopik lainnya. Karena klimaks dari kisah ini sangat linear dengan falling action dan resolusi film tersebut. Berbeda dengan film di luar biopik yang membuat falling action terasa seperti terjun bebas dan memiliki banyak penjelasan untuk apa yang terjadi di klimaks. Tentu catatan khusus dari film ini adalah klimaks yang tidak terasa sebuah klimaks, karena saat itu fokus kamera lebih menunjukkan kepada ekspresi dan apa yang dialami Conroy ketimbang sang tokoh utama.
Salah satu cuplikan film A Private War (Istimewa)
Salah satu yang cukup menjanjikan adalah bagaimana sang sinematografer berkerja keras untuk menunjukkan zona perang yang brutal atau tanah tandus wilayah timur tengah, termasuk kota mati yang hancur akibat perang. Tentu tone-nya berubah ketika mereka menyuguhkan latar elit kota London dan kehidupan gemerlap. Hal itu juga memperngaruhi emosi penonton yang seketika merasakan aman dan nyaman ketika melihat latar kota beradab namun kemudian digiring ke perasaan mencekam dan suram saat latar menujukkan zona perang.
Meski film ini diberikan kisaran rating 8/10 bintang, namun penayangannya di Indonesia yang berhimpitan dua raksasa film yang menguasai bioskop seperti Dilan 1991 dan Captain Marvel tentu sangat bermasalah. Seandainya ditayangkan lebih awal atau sesaat setelah dua raksasa itu tidak beroperasi tentu akan ada pilihan lain film berkualitas untuk ditonton. Karena film ini tentu sangat tepat untuk ditonton para jurnalis yang kemungkinan menjadi sarana untuk bercermin kepada Marie Colvin. Ya, panggilan pengecut mungkin akan terngiang di kepala meski sudah meinggalkan gedung bioskop.