ERA.id - Akademisi Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Dr Indaru Setyo Nurprojo mengatakan figur calon wakil presiden memiliki posisi strategis untuk mendongkrak kemenangan calon presiden pada Pemilu Serentak 2024.
Kata Indaru, para calon presiden (capres) beserta koalisi partai politiknya hingga saat ini masih memilah figur calon wakil presiden (cawapres), sehingga masing-masing capres belum mengumumkan cawapresnya.
"Saya pikir mereka sekarang lagi menghitung walaupun mereka sudah mengantongi beberapa hal tentang figur dan sebagainya. Cuma kriterianya tidak lagi populer karena selain populer, tentunya kemudian diterima pemilih," katanya.
Menurut dia, pemilih pun terspesifikasi menjadi pemilih dari kalangan anak muda, pemilih yang berbasis identitas atau agama, dan sebagainya yang menjadi pertimbangan-pertimbangan untuk menentukan figur cawapres yang akan diusung.
Dalam hal ini, kata dia, kriteria cawapres yang akan dipilih bukan hanya popularitas figur tersebut, tetapi bagaimana yang bersangkutan bisa diterima oleh publik yang berasal dari generasi muda, bisa dari lingkungan yang berbasis etnis.
"Ini yang saya pikir menjadi pertimbangan-pertimbangan utama, misalnya yang bisa diterima publik berasal dari basis nahdliyin," jelasnya.
Selanjutnya dari sekian banyak faktor, kata dia, tentu masih akan dispesifikasikan lagi pada kriteria-kriteria yang kemudian bisa juga diterima oleh publik dan mendapat kepercayaan publik.
Menurut dia, publik itu masih akan dispesifikasikan lagi menjadi publik dari semua etnis, publik dari usia, dan sebagainya.
"Itu yang saya pikir masih butuh kejelimetan untuk kemudian perlu digarap oleh beberapa koalisi partai," tegasnya.
Indaru pun mencontohkan saat Pemilu 2019, figur Ma'ruf Amin yang dipilih menjadi cawapres bagi Joko Widodo (Jokowi) itu bagian dari strategi untuk menekan konflik.
Menurut dia, hal semacam itu juga akan punya pengaruh hampir cukup strategis tentang peran siapa yang akan dipilih terkait dengan keterpilihannya pada Pemilu Serentak 2024.
"Jadi, partai koalisi tidak akan sembarangan menempatkan ini karena menurut saya ini semuanya fifty fifty. Nah, ini yang butuh calon wakil presiden yang bisa menambal, menambah kepercayaan publik bagi calon presiden itu," katanya.
Disinggung kemungkinan masing-masing capres saling menunggu pengumuman cawapres, dia mengatakan hal itu bisa saja terjadi, tetapi tidak lepas dari berbagai perhitungan mengenai sosok cawapres yang akan diusung tersebut.
Ia pun mencontohkan dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Tengah Tahun 2018, ketika calon gubernur (cagub) Sudirman Said menggandeng Ida Fauziyah yang berasal dari kalangan Nahdlatul Ulama (NU) sebagai calon wakil gubernur (cawagub), cagub Ganjar Pranowo pun mengambil orang NU sebagai cawagubnya, yakni Taj Yasin Maimoen.
"Itu tentu tidak lepas dari ruang-ruang tadi yang saya sampaikan. Cuma tentang figur itulah yang kemudian menjadi perhitungan dan saya pikir enggak jauh dari figur-figur yang secara ideologi, secara sudut pandang melihat persoalan-persoalan kebangsaan ini lebih luas, lebih tidak bersifat kelompok, dan sebagainya," jelasnya.
Oleh karena itu, kata dia, saat sekarang muncul sejumlah nama cawapres yang secara kultural berbasis nahdiyin seperti Yenny Wahid, Mahfud MD, Erick Thohir, dan sebagainya.
Menurut dia, semua capres yang telah muncul itu berbeda dengan Joko Widodo (Jokowi) saat pertama kali maju sebagai calon presiden.
"Artinya, pendulumnya. Ini Mas Ganjar Pranowo, Pak Prabowo Subianto, dan Mas Anies Baswedan semua 'kan butuh endorse, dan endorse-nya itu Pak Jokowi," katanya.
Ia mengatakan hal itu berarti bahwa para capres tersebut untuk bertarung langsung juga butuh energi, sehingga energi dari cawapres yang harus dimunculkan.
Dalam hal ini, kata dia, para capres beserta koalisi parpolnya tidak boleh asal pilih cawapres dan tetap melalui berbagai perhitungan. "Jadi saya melihat bahwa posisi calon wakil presiden ini punya posisi strategis untuk mendongkrak kemenangan calon presidennya," kata Indaru.