Polusi dan Pagi Kelabu Warga Jakarta, Sampai Kapan?

| 16 Aug 2023 21:02
Polusi dan Pagi Kelabu Warga Jakarta, Sampai Kapan?
Ilustrasi. (ERA/Luthfia Arifah Ziyad)

ERA.id - Pada tahun 1971, Kompas pernah menerbitkan artikel berjudul “Penduduk Djakarta djarang melihat pagi jang tjerah”. Setengah abad lewat sejak tulisan itu terbit, warga Jakarta dan sekitarnya hari ini masih menghadapi pagi yang kelabu tiap berangkat sekolah dan kerja. 

Menurut data situs pemantau kualitas udara IQAir, berkali-kali Jakarta menduduki peringkat pertama kota dengan kualitas udara terburuk sedunia. Minggu (13/8/2023) kemarin misalnya, IQAir mencatat indeks kualitas udara (AQI) di Jakarta pada pukul 06.00 WIB berada di angka 170. 

Level AQI sendiri berkisar dari 0 hingga 500. Kualitas udara dianggap baik jika tak melebihi angka 50. Kualitas udara sedang berkisar dari 51 hingga 100. Kualitas udara di angka 100 hingga 150 dinyatakan tidak sehat untuk kelompok sensitif. Sementara di atas 150 hingga angka 200 kualitas udara berarti tidak sehat untuk semua orang.

“Pengukuran AQI yang tidak sehat berarti bahwa ada kemungkinan peningkatan gangguan jantung dan paru-paru serta dampak kesehatan di kalangan masyarakat, terutama untuk kelompok sensitif,” tulis keterangan dalam situs IQAir. 

Salah satu parameter kualitas udara adalah dengan melihat kadar debu partikulat yang berukuran lebih kecil dari atau sama dengan 2.5 mikrogram (PM 2.5). Standar PM 2.5 harian sesuai Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) adalah 15 mikrogram per meter kubik. Sementara di Jakarta, per hari ini saja, Rabu (16/8/2023), konsentrasi PM 2.5 mencapai 56.4 mikrogram per meter kubik.

Untuk melindungi diri dari kualitas udara tidak sehat ini, setiap orang diharuskan memakai masker polusi di luar ruangan; tidak membuka ventilasi; dan menghidupkan pembersih udara. Begitulah kondisi yang harus dihadapi warga Jakarta setiap hari.

Asmara Wreksono, seorang ibu di Jakarta bercerita di media sosial, anaknya menderita batuk pilek lebih dari tiga minggu. “Pas ke dokter diagnosanya infeksi bakteri di tenggorokan karena udara kotor,” tulisnya, Rabu (9/8/2023). Berbagai cerita serupa dapat dengan mudah kita temui di internet. 

Dinas Kesehatan (Dinkes) DKI Jakarta menyebut 100 ribu warga mengalami infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) setiap bulan karena perubahan cuaca dan menambahkan bahwa dampak polusi udara bisa menimbulkan penyakit kronis.

"Warga yang terkena batuk, pilek, bahkan pneumonia setiap bulan rata-rata 100 ribu kasus dari 11 juta penduduk," kata Kepala Seksi Surveilans, Epidemiologi, dan Imunisasi Dinkes DKI Jakarta Ngabila Salama di Jakarta, Jumat (11/8/2023) dikutip dari Antara

Infografis. (ERA/Luthfia Arifah Ziyad)

Setelah bertahun-tahun terancam polusi udara, warga Jakarta dan sekitarnya baru mendapatkan respon serius dari pemerintah belakangan ini, usai Presiden Joko Widodo menderita batuk nyaris empat minggu seperti diungkapkan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno pasca rapat terbatas mengenai polusi udara di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (14/8/2023).

“Kemungkinan dokter menyampaikan ada kontribusi daripada udara yang tidak sehat dan kualitasnya buruk," ujar Sandi.

Warga menang gugatan polusi udara Jakarta, tapi presiden ajukan kasasi

Dua tahun lalu, warga memenangkan gugatan atas polusi udara di Jakarta. Lima pejabat negara divonis bersalah di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, yaitu Presiden RI, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Kesehatan, Menteri Dalam Negeri, dan Gubernur DKI Jakarta.

“Menyatakan Tergugat I, Tergugat II, Tergugat III, Tergugat IV dan Tergugat V telah melakukan perbuatan melawan hukum," ucap Ketua Majelis Hakim Saifuddin Zuhri, Kamis (16/9/2021).

Majelis hakim menilai para terdakwa tidak menjalankan kewajiban dalam pemenuhan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, yang mengakibatkan kualitas udara di Jakarta menjadi buruk. Mereka juga dihukum untuk memperbaiki kualitas udara di Jakarta.

Gubernur Jakarta pada waktu itu, Anies Baswedan menyatakan tidak akan mengajukan banding dan siap menjalankan putusan pengadilan "demi udara Jakarta yang lebih baik". Ia lalu melakukan beberapa upaya seperti menambah Ruang Terbuka Hijau (RTH), pengalihan bertahap bus TransJakarta ke tenaga listrik, hingga pengembangan dan integrasi angkutan massal.

Sementara keempat terdakwa lain memilih banding ke Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta, tetapi ditolak karena majelis hakim menilai dalam memori banding yang diajukan tidak ada hal-hal yang dapat membatalkan putusan pengadilan tingkat pertama.

Tak berhenti sampai di situ, presiden dan Menteri LHK lalu mengajukan kasasi atas putusan PT DKI Jakarta pada 30 November 2022.

Anggota Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) DKI Jakarta, Bagas Okta Pribakti menyatakan kekecewaannya atas sikap tersebut dan menganggapnya tidak pantas. 

“Kasasi itu menurut kami sebagai pemangku kebijakan tidak profesional dan tidak pantas," ucap Bagas dalam aksi demonstrasi dengan Koalisi Ibukota di Balai Kota Jakarta, Rabu (16/8/2023). “Rakyat sudah disibukkan dengan berbagai aktivitas dan mereka minta hak mereka. (Pemerintah) malah melakukan kasasi."

Senin (14/8/2023) kemarin, Presiden Joko Widodo memanggil beberapa pejabat ke Istana Negara untuk membahas penanganan polusi udara di Jakarta, mulai dari Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, hingga Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan. 

"Saya memiliki beberapa catatan yang perlu menjadi perhatian seluruh kementerian dan lembaga terkait. Yang pertama jangka pendek, secepatnya harus dilakukan intervensi yang bisa meningkatkan kualitas udara di Jabodetabek lebih baik," ungkap Jokowi.

Ia juga memberikan beberapa arahan kepada menterinya untuk mengatasi polusi udara, mulai dari kemungkinan kerja hybrid hingga mengurangi penggunaan kendaraan berbasis fosil. Namun, ia sama sekali tak menyinggung soal gugatan warga kepadanya dua tahun silam.

Berbagai rencana kurangi polusi Jakarta

Dalam rapat terbatas Senin kemarin, Jokowi menyebutkan penyebab polusi di Jakarta antara lain kemarau panjang, peningkatan konsentrasi polutan tinggi, pembuangan emisi dari transportasi, dan aktivitas industri. Ia lalu memaparkan beberapa opsi jangka pendek dan menengah yang bisa dilakukan pemerintah. 

Pertama, ia meminta agar anggaran untuk memperbaiki kualitas udara di Jabodetabek dipersiapkan. Ia juga mendorong agar banyak kantor melaksanakan hybrid working.

“Saya enggak tahu nanti dari kesepakatan di rapat terbatas ini apakah 75 persen (di rumah) 25 persen (di kantor) atau angka yang lain," kata Jokowi. Selain itu, ia juga meminta rekayasa cuaca di Jabodetabek. 

Untuk jangka menengah, para menteri diminta konsisten menerapkan kebijakan mengurangi penggunaan kendaraan berbasis fosil dan segera beralih ke transportasi massal seperti LRT dan Kereta Cepat Jakarta-Bandung yang bakal segera beroperasi.

Terakhir, penguatan mitigasi terhadap perubahan iklim. Jokowi meminta ada pengawasan kepada sektor industri dan pembangkit listrik, terutama di sekitar Jabodetabek. 

Sementara itu, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta mengkaji efektivitas sistem "4 in 1" yang diharapkan dapat mengurangi kuantitas mobil yang melintas di Jabodetabek guna mengurangi polusi udara.

"Iya, (usulan 4 in 1) nanti dibahas, sekitar dua minggu lagi," kata Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartonodi Balai Kota Jakarta, Selasa (15/8/2023).

Adapun anggota Fraksi PSI DPRD DKI Jakarta, Justin Adrian Untayana menilai ada dua hal yang perlu dibenahi untuk memperbaiki kualitas udara di Jakarta, yaitu pembatasan kendaraan bermotor dan perbaikan tata ruang.

"Kontributor utama atas buruknya kualitas di DKI Jakarta memang polusi akibat kendaraan bermotor. Data korlantas pada 2022 ada sekitar 26 juta kendaraan di DKI Jakarta. Sejauh ini belum pernah ada upaya tegas dalam mengendalikan populasi kendaraan bermotor ini," ungkapnya.

"Pembatasan penggunaan kendaraan bermotor bisa dilakukan dengan WFH, penegakkan aturan pemilik mobil wajib punya garasi, pengetatan uji emisi, menaikkan tarif parkir, penindakan parkir liar, juga menyediakan transportasi umum yang aman dan nyaman," sambung Justin.

Anggota Komisi D DPRD DKI Jakarta ini juga meminta Pemprov DKI melakukan perbaikan tata ruang seperti menyediakan rumah susun nyaman terjangkau untuk relokasi pemukiman padat-kumuh kota. 

"Hunian yang terkonsentrasi (rumah susun) akan memudahkan pemprov untuk mengintegrasikan antara hunian penduduk dengan sistem transportasi massal,” ujarnya.

DPRD DKI Jakarta juga mengusulkan agar pekerja rentan polusi mendapat insentif saat bertugas di lapangan.

"Pekerja rentan polusi seperti polisi lalu lintas (Polantas), petugas Dinas Perhubungan, dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), sehari-hari bekerja di jalan yang berpotensi mengalami gangguan saluran pernapasan," kata Ketua DPRD Provinsi DKI Jakarta Prasetio Edi Marsudi saat dikonfirmasi di Jakarta, Sabtu (12/8/2023).

Menengok China mengatasi polusi udara

Pemerintah bisa belajar dari China soal bagaimana mereka mengatasi polusi udara yang sempat jadi momok di negara itu. Direktur Air Quality Life Index Univesity of Chicago Ken Lee menyampaikan bahwa kondisi Beijing pada tahun 2013 mirip dengan kondisi Jakarta saat ini. Sementara sekarang indeks kualitas udara di Beijing sudah di bawah angka 100.

Menurut laporan yang diterbitkan PBB, Selasa (30/7/2019), Beijing berinvestasi besar-besaran untuk mengendalikan polusi. Pada tahun 2009, pemerintah menggelontorkan dana sebesar 1,7 miliar yuan (sekitar Rp3,5 triliun). Dan pada tahun 2017, naik menjadi 18,22 miliar yuan (sekitar Rp38 triliun).

Dana pemerintah itu digunakan sebagai subsidi untuk merenovasi pembangkit berbahan bakar batu bara menjadi energi bersih, menutup perusahaan yang tidak ramah lingkungan, mengeliminasi kendaraan tua dan berpolusi, dan pengembangan zona demonstrasi ekologi. Pemerintah juga berinvestasi besar dalam sektor transportasi publik rendah karbon.

Beberapa kebijakan pemerintah China mengurangi polusi antara lain: optimalisasi infrastruktur energi, pengendalian batu bara, kontrol emisi kendaraan bermotor, dan pembiasaan penggunaan angkutan umum.

Pada tahun 2019, PBB menerbitkan laporan yang mengungkapkan keberhasilan pemerintah China menurunkan polusi hingga 35 persen di Beijing setelah 20 tahun. 

"Tak ada kota lain di planet ini yang berhasil mengurangi polusi sedrastis itu," kata Direktur Eksekutif Program Lingkungan PBB Joyce Msuya dalam laporan tersebut. "Ini adalah hasil dari investasi besar jangka panjang China dalam perang melawan polusi."

Hasil yang diperoleh China bukan tiba-tiba, melainkan berkat program berkelanjutan puluhan tahun. Pemerintah Indonesia boleh terlambat bergerak, tetapi setidaknya, jika kita mulai serius untuk menanggulangi polusi udara di Jakarta dan sekitarnya dari sekarang, mungkin beberapa tahun nanti warga Jakarta bisa melihat pagi yang cerah saat berangkat kerja.

Rekomendasi