ERA.id - Riska (28), seorang ibu pekerja di kawasan industri Jababeka, mengawali tahun 2024 dengan kebingungan memilih daycare baru. Februari nanti ia pindah rumah ke kawasan Cibubur dan otomatis harus mencari tempat penitipan baru untuk anaknya yang berusia sembilan bulan.
Dua minggu terakhir ia mencari-cari daycare sekitar Cibubur dan baru menemukan tiga pilihan. Biaya masing-masing lebih tinggi dari daycare lama anaknya. Paling murah Rp2,1 juta per bulan. Sementara sebelumnya ia dan suami hanya merogoh kocek sekitar Rp1,7 juta.
Sewaktu mengincar pilihan termurah, ternyata kuota daycare itu sudah penuh. Begitu pula pilihan termahal dengan fasilitas paling lengkap seharga Rp2,7 juta, sudah ada dua orang mengantri untuk mendaftar.
“Baru tahu kalau daycare ada waiting list-nya juga,” cerita Riska, Rabu (10/1/2024).
Pilihan akhir jatuh ke daycare dengan uang bulanan Rp2,4 juta. Riska dan suaminya berencana survei ke sana minggu ini. “Semoga tempatnya cocok,” ia berharap sambil berdoa agar tak keduluan orang tua lain.
Riska memilih jasa daycare setelah banyak menimbang-nimbang. Ia dan suami sama-sama bekerja sekaligus perantau yang tak punya kerabat dekat di sekitaran ibu kota. Sementara itu, ia juga kesulitan mencari pengasuh. Ia merasa menitipkan anak ke daycare adalah pilihan paling aman untuk sekarang.
“Kalau nyari Mbak kita enggak tahu orangnya kayak gimana, cocok-cocokan,” tutur Riska. “Setidaknya di daycare ada beberapa anak yang dititipin, ngerasa lebih aman sih, kayak sekolah aja.”
Namun, ia juga merasa pengeluaran untuk daycare masih terlalu mahal. Sementara yang harganya terjangkau rata-rata kurang fasilitas dan dikelola seadanya.
Riska hanya satu dari sekian banyak ibu pekerja (working mom) di Indonesia yang kerap gelisah urusan titip-menitip anak. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah perempuan pekerja pada 2022 mencapai 52,74 juta di Indonesia atau setara dengan 38,98 persen dari total pekerja di sini. Banyak di antaranya merangkap sebagai ibu di rumah.
Sementara itu, urusan daycare masih jarang diperbincangkan dalam ranah kebijakan nasional. Melihat data-data terkait pengasuhan anak usia dini hingga jumlah daycare yang tersedia, negara tampak baru sebatas hadir dalam lingkup perizinan, pengawasan, dan pendampingan.
Misalnya, berdasarkan data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud) tahun 2020, Indonesia baru punya 2.258 daycare yang 98 persen dikelola swasta, sedangkan daycare milik negara hanya sebanyak 26.
Lalu, menurut laporan Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) 2021, sejauh ini anggaran pemerintah Indonesia untuk pengasuhan dan pengembangan anak usia dini hanya sekitar 0,04 persen dari produk domestik bruto (PDB), jauh di bawah rekomendasi OECD sebesar 1 persen dari PDB.
Padahal, menurut perhitungan mereka, jika anggaran dinaikkan hingga 0,1 persen dari PDB untuk layanan daycare, maka partisipasi pekerja perempuan akan meningkat dan menumbuhkan PDB hingga 0,4 persen pada 2030. Sementara jika anggaran naik menjadi 0,5 persen, pertumbuhan PDB bisa mencapai 0,69 persen.
Indonesia kekurangan daycare memadai?
Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Kurniawati Hastuti Dewi mengungkapkan berdasarkan sebuah riset tentang pengasuhan anak di masyarakat Asia Timur dan Tenggara, institusi pengasuhan anak di Indonesia termasuk dalam kategori kurang memadai.
“Sudah saatnya pemerintah memegang kendali dan tanggung jawab terhadap pengelolaan daycare, agar seluruh daycare di Indonesia memiliki standar yang sama bagusnya, baik dari sisi manajemen maupun perekrutan calon pengasuh anak,” tulis Kurniawati.
Seperti yang ia sampaikan, kondisi daycare di Indonesia masih jauh dari kata cukup. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pernah mengambil 75 sampel daycare di 9 provinsi secara acak pada 2019 lalu. Hasil penelitian mereka menyebut bahwa 20 persen daycare punya kualitas tidak baik, dan 6 persennya sangat tidak baik.
Ditambah lagi 44 persen daycare disebut tidak punya izin; 13,3 persen tidak punya jadwal rutin; 18,7 persen tidak punya program kerja; 25,3 persen tidak punya standar operasional prosedur (SOP); 66,7 persen pengasuhnya tidak punya sertifikasi profesi
Jumlah tenaga pengasuh daycare di seluruh Indonesia sendiri ada 7.951 orang pada 2020 berdasarkan data Kemendikbud. Mayoritasnya hanya lulusan SD-SMA, dengan jumlah 4.907 orang.
Kondisi ini tak jauh berbeda dengan yang ditemukan Kurniawati berdasarkan riset pribadinya di Jakarta tahun 2012 silam, di mana banyak daycare belum dilengkapi perangkat keamanan memadai; prosedur penitipan anak cenderung tidak teratur; dan ketiadaan standar pengasuh.
Standar daycare sendiri baru diatur lewat Peraturan Menteri Kemendikbud Nomor 137 tahun 2014. Kemudian, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mengeluarkan Standarisasi Taman Pengasuhan Anak (TPA) Berbasis Hak Anak/Daycare Ramah Anak pada tahun 2020.
Sementara itu, Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) belum kunjung disahkan DPR. Dalam RUU tersebut, tempat kerja wajib memberikan dukungan fasilitas, sarana, dan prasarana umum bagi ibu dan anak, di antaranya penyediaan tempat penitipan anak.
Dalam Pasal 22 disebutkan bahwa dukungan fasilitas, sarana dan prasarana di tempat kerja diberikan kepada ibu yang bekerja dalam bentuk “penyesuaian tugas, jam kerja, dan/atau tempat kerja dengan tetap memperhatikan kondisi dan target capaian kerja".
“Daycare di tempat kerja tidak dapat kita anggap perkara sederhana jika paham manfaatnya. Daycare ini sekaligus menjamin ibu atau orangtua tetap dapat bekerja secara produktif, tenang, nyaman, bahkan memberikan ASI lebih dari 6 bulan," ujar Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR, Luluk Nur Hamidah, Senin (27/6/2022).
Subsidi daycare dan pelajaran dari luar negeri
Peneliti BRIN Kurniawati Hastuti mengungkapkan bahwa secara umum kebijakan pengelolaan daycare di seluruh dunia terbagi dua. Pertama, daycare dibiayai dan dikelola oleh pemerintah seperti di negara-negara Nordik. Kedua, pengelolaan daycare diserahkan kepada pihak swasta seperti di Inggris dan Amerika Serikat.
Ia menyebut salah satu negara yang pertama kali memberi subsidi daycare adalah
Swedia. Negara Nordik itu membuka layanan daycare untuk publik sejak 1975 dengan biaya terjangkau yang disubsidi pemerintah.
Secara umum, kebijakan pengasuhan anak di seluruh dunia dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis, yakni (1) pemerintah yang menyediakan dan mendanai daycare, seperti di negara-negara Nordik (Swedia, Findlandia, Denmark), dan (2) pemerintah cenderung menyerahkan daycare kepada pihak swasta, seperti yang diterapkan di Inggris dan Amerika Serikat (AS).
Swedia adalah salah satu negara pelopor penyedia daycare yang disubsidi pemerintah. Pemerintah Swedia membuka layanan daycare untuk publik sejak 1975, dengan biaya terjangkau sehingga masyarakat dari kalangan manapun dapat mengaksesnya.
Daycare ini ditujukan untuk orang tua pekerja, pelajar, dan pihak-pihak yang mencari pekerjaan. Dalam rentang usia 1-5 tahun, anak-anak mereka dapat layanan daycare yang pengelolaannya berada di bawah pemerintah kota.
Pada tahun 2002, pemerintah Swedia menetapkan biaya maksimum bagi daycare, sehingga tanpa melihat pendapatan orang tua, tidak peduli berapa banyak anak yang dititipkan di sana dan berapa jam anak dititipkan, para orang tua tak akan membayar lebih dari 2.574 krona per bulan (sekitar Rp3,9 juta).
Sementara itu, keluarga berpenghasilan rendah dengan satu anak hanya akan membayar daycare sekitar 1.145 krona per bulan (sekitar Rp1,7 juta).
“Keberadaan daycare yang sesuai dengan standar perlu diupayakan, karena ini merupakan salah satu cara membantu para keluarga, terutama perempuan,” tulis Kurniawati. “Jangan ada lagi cerita perempuan harus terpaksa melepaskan karirnya dan berhenti bekerja karena tidak ada yang mengasuh anak-anaknya.”