"Ada kepercayaan di kelompok tersebut, bila melakukan 'amaliyah' (aksi teror) di bulan Ramadan, kalau mereka bomber, mereka meninggal dalam keadaan syahid," kata Kepala Biro Penerangan Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo di Mabes Polri, Jakarta, Selasa (4/6/2019).
Mereka juga punya 'sasaran' favorit, menyerang menyasar markas polisi. Penyebabnya tak lain soal dendam kesumat karena polisi khususnya Densus 88 Antiteror, getol menciduk para anggota kelompok teroris.
Senin (3/6) malam sebuah percobaan bom bunuh diri berdaya ledak rendah atau low explosive terjadi di Pos Pantau Lalu Lintas Tugu Kartasura, Sukoharjo, Jawa Tengah, yang dilakukan Rofik Asharuddin (23 tahun). Beruntung tak ada korban jiwa. Yang ada, si Rofik Asharuddin terkena senjata makan tuan, luka parah akibat ledakan bom.
Rofik Asharuddin teridentifikasi sebagai Lone Wolf, atau pelaku yang doyan beraksi sendiri tanpa komando. Bagi mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prof Komaruddin Hidayat, aksi Rofik Asharuddin menjadi bukti kalau pelaku teror telah kehilangan komando sentral. Tapi bukan berarti polisi bisa lega, karena justru aksi ini yang malah susah buat dipetakan.
"Cuma untuk jaringannya, apakah dia masuk jaringan terstruktur atau dia sleeping cell dari ISIS saja, itu masih kita dalami," kata Brigjen Dedi Prasetyo, Selasa (4/6/2019).
Rofik Asharuddin yang terpapar paham ISIS, menggunakan bom pinggang saat berupaya bunuh diri di Pos Polisi. Bom akhirnya melukai perut dan tangan dia sendiri. Buat polisi, Rofik Asharuddin adalah pelaku amatir. Di dalam kelompok-kelompok teroris, rekam jejak dia belum terlihat. Ini juga yang bikin aksinya jadi tak terbaca.