Konsep yang sudah diserahkan kepada Jokowi ini konteksnya tentang pembangunan ekonomi, energi, swasembada pangan, hingga keamanan dan pertahanan. Namun, detail konsepnya masih dirahasiakan oleh pihak Gerindra. Yang jelas, Gerindra sudah separuh langkah merapat ke pemerintah.
Bahkan, sebuah kabar menyebut PDI Perjuangan (PDIP) sebagai partai penguasa telah menyiapkan tiga kursi untuk diisi oleh kader Gerindria. Kabar itu dijawab oleh Wakil Ketua Umum Gerindra Sufmi Dasco. Menurutnya, Gerindra siap membantu pemerintah jika dibutuhkan.
"Ya kita itu kan hak prerogatif daripada Pak Presiden, sehingga kalau kita diminta membantu, ya konsep kita yang mana yang dipakai, ya bidangnya, berarti itu yang akan kita tempatkan orang," tutur Dasco saat ditemui di kediaman Prabowo Subianto, Jalan Kertanegara IV, Kebayoran Baru, Jakarta, Jumat (11/10).
Meski begitu, Dasco tak ingin menguak dinamika tersebut lebih jauh, termasuk kabar yang menyebut Fadli Zon sebagai salah satu calon pengisi kursi kabinet. Gerindra sendiri baru akan menetapkan sikap mereka pada pekan ini usai rapat koordinasi nasional partai.
"Nanti kita baru tanggal 15 hingga 17, kita akan kira-kira kalau bidangnya ini, namanya ini. Kalau diminta Pak Jokowi bidangnya ini, orangnya ini. Gitu kira-kira.Ya kalau Pak Fadli Zon itu kan, apa namanya, pintar. Dia di beberapa bidang saya pikir bisa saja," jelasnya.
Jokowi dan Prabowo berswafoto usai pertemuan di Istana Negara (Instagram/jokowi)
Kekhawatiran Kekuasaan Absolut
Banyak orang mengapresiasi rujuknya Prabowo dan Jokowi. Barangkali benar. Perdamaian antara keduanya bagus sebagai simbol persatuan. Namun, secara politis, merapatnya Gerindra ke kubu penguasa justru amat mengkhawatirkan. Pengamat Politik Universitas Al-Azhar Ujang Komarudin berbicara soal kekuasaan absolut yang mungkin terjadi jika Gerindra tak bertahan di posisinya sebagai oposisi.
Masalahnya bukan cuma Gerindra. Partai besutan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Demokrat pun konon sudah siap menyeberang. "Nah ini lah yang sebenarnya kita khawatirkan. Pemerintah akan dominan ke depan. Artinya hanya menyisakan PKS dan PAN katakanlah. Nah ini sebenarnya saya mengamati kita ini membutuhkan pemerintah yang kuat dan stabil. Tapi sakaligus juga membutuhkan oposisi yang kuat," kata Ujang, ketika dihubungi era.id, di Jakarta, Minggu (13/10/2019).
Pertemuan SBY dan Jokowi (Instagram/jokowi)
Ujang menilai, seandainya Gerindra dan Demokrat bergabung, pemerintah akan kuat dan dominan. Lalu, oposisi akan melemah. "Ini bahaya, karena pemerintah tidak akan ada yang mengawasi selama lima tahun. Tidak akan ada yang mengontrol, tidak ada check and balance," jelasnya.
Menurut Ujang, dinamika politik ini menyeret pemerintahan Jokowi periode kedua nanti ke gaya pemerintahan orde baru. Saat itu, di bawah pemerintahan Soeharto selama 32 tahun, tak ada partai oposisi sebagai penyeimbang kekuasaan. Ketidakseimbangan itu menyebabkan banyak mudarat, terutama soal pemerintahan yang korup.
"Orba itu korup katakanlah. Terjadi penyalahgunaan kekuasan karena tidak ada partai oposisi, tidak ada yang mengontrol, tidak ada yang mengawasi. Kalau saya mengutip pernyataanya Lord Acton 'Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely'," tuturnya.
Ujang menjelaskan, ketika kekuasan begitu kuat akan cenderung disalahgunakan, dan korupsi menjadi subur. Sebab, kekuasaan yang absolut akan menghasilkan korupsi yang absolut pula. Karena itu, dibutuhkan kontrol oposisi yang kuat dan tangguh.
"Iya ini kan bukan pemerataan tapi lebih ke bagi-bagi kekuasaan. Menikmati kekuasaan, semua ingin bekuasa, ingin masuk kabinet. Sehingga lupa bahwa bangasa ini membutuhkan check and balances, butuh kekuatan penyeimbang, butuh kekuatan oposisi untuk mengontrol pemerintah," jelasnya.
Jika oposisi di parlemen tak lagi kuat dan kekuasaan absolut para elite kebablasan, jangan salahkan jika rakyat turun menduduki sisi lain jungkat-jungkit. "Pemerintahan yang dominan, nanti partai oposisi lemah. Tentu nanti yang menjadi kekuatan oposisi itu rakyat dan mahasiswa. Ini tentu tidak bagus. Oposisi kan sejatinya juga harus ada di parlemen. Pemerintah dan oposisi harus ada di legislatif. Nanti sepertinya masyarakat dan mahasiswa yang akan mengkritik dari luar begitu," tuturnya.
Baca Juga : Tuan Tanah Merekayasa Pidato Terakhir Soeharto