Refleksi untuk Kita Bersama tentang Nasi yang Menangis

| 18 Oct 2019 17:03
Refleksi untuk Kita Bersama tentang Nasi yang Menangis
Ilustrasi (Ilham/era.id)
Sebuah penutup dari artikel berseri khas era.id, SULAM: Ironi Sampah Makan. Lewat artikel ini, kita dalami bersama makna dari ungkapan yang amat familier bagi kita, tentang 'nasi yang menangis'.

Jakarta, era.id - Kita mungkin ingat sebuah ungkapan yang kerap dikatakan orang tua kepada anak-anak yang tak menghabiskan makannya: Ayo dihabiskan. Nanti nasinya nangis, lho!

Ungkapan itu juga barangkali pernah kita dengar langsung dari orang tua kita sendiri. Tapi, pernahkah kita mendalami makna di balik ungkapan yang berkembang jadi budaya tutur dan mitos itu?

Kami mewawancarai budayawan Fakultas Sastra Universitas Indonesia (UI) Mu’jizah. Lewat sambungan telepon, Mu'jizah menjelaskan, secara umum, mitos sejatinya disebar untuk menyisipkan nilai suci terhadap suatu hal. Termasuk soal nasi menangis ini. Mitos ini dibuat untuk mengedukasi bahwa nasi adalah hal yang patut diperlakukan sakral.

Ada cerita di balik kesakralan nasi. Dalam kepercayaan, nasi dikaitkan dengan sosok Dewi Sri, dewi padi yang menggambarkan kesuburan, termasuk memberi kehidupan kepada manusia. "Dipercaya Dewi Sri itu yang memberikan padi. Dewi padi yang akhirnya memberikan nasi untuk kita makan," kata Mu'jizah, Rabu (16/10/2019).

Dalam terjemahan sederhana, membuang nasi atau makanan sama dengan mengingkari nikmat. Hal ini sejalan dengan nilai etika dan nilai agama yang lama dianut masyarakat.

Refleksi untuk kita

Nasi dan makanan yang tak kita habiskan akan menjadi sampah. Dalam konteks luas, begitu banyak persoalan di balik sampah makanan. Data The Economist yang dirilis tahun 2018 menunjukkan Indonesia sebagai negara kedua penyumbang sampah makanan terbanyak di dunia setelah Arab Saudi.

Tercatat, kita penduduk negeri agraris ini menghasilkan 13 juta ton sampah makanan. Kondisi ini jadi ironi. Sebab, nyatanya masih banyak manusia di Indonesia, bahkan di dunia yang menderita karena kelaparan.

Tahun 2018 lalu, sebuah kasus kelaparan mencuat. Tiga orang meninggal dunia akibat kelaparan di Pegunungan Morkelle, Kabupaten Maluku Tengah, Pulau Seram, Provinsi Maluku.

Dua di antara tiga korban adalah balita. Sebanyak 170 orang dari komunitas adat terpencil Mause Ane itu dilanda kelaparan akibat gagal panen. Mereka bahkan terpaksa makan daun untuk bertahan dari bencana kelaparan.

Bagi lingkungan, sampah makanan terbukti memperparah dampak perubahan iklim. Sampah makanan dapat menghasilkan gas metan yang jadi penyebab efek rumah kaca. Berdasar perhitungan, setiap satu ton sampah organik menghasilkan 50 kilogram gas metan.

Maka, jika rata-rata produksi sampah makanan yang dihasilkan masyarakat Indonesia mencapai 13 juta ton per tahun --merujuk data Badan Pangan dan Pertanian PBB (FAO), maka dalam satu tahun Indonesia menyumbang 650 kilogram gas metan ke alam raya.

Yang perlu kita ingat. Pengurangan sampah makanan bisa dilakukan oleh diri kita sendiri. Misalnya, mengelola makanan berlebih menjadi kreasi makanan lain. 

Maka, berkacalah dari mitos 'nasi menangis'.

Tags : food waste
Rekomendasi