Padang rumput yang luas perlahan-lahan berganti menjadi jalanan. Tanah ditimbun sedemikian rupa untuk membentuk fondasi apartemen, villa, hingga pusat perbelanjaan dalam Rainbow City. Sepetak surga di Pulau Efate ini nantinya bakal berubah menjadi kota kecil bagi pendatang. Dan dalam 10 tahun ke depan, bangunan-bangunan baru di lahan seluas 86 hektare itu akan mengerdilkian desa-desa di sekitarnya.
Dilansir ABC, Minggu (27/10/2019), proyek ini didukung investasi swasta dari China, dan sejauh ini telah tercatat sebagai pembangunan kawasan perumahan terbesar di Vanuatu, termasuk Rainbow City. Di mana warga menganggapnya sebagai sumber kegelisahan dan ketidaknyamanan mengenai masa depan rumah mereka.
Sosok di balik ini adalah Ruimin Cheng. Pria yang dikenal oleh warga sekitar sebagai Amy Feng ini sudah menetap di Vanuatu sekitar 10 tahun. Cheng merupakan seorang pemimpin perusahaan FPF di ibukota Vanuatu. Tak hanya itu, ia juga mengelola surat kabar mingguan dan menyediakan jasa untuk program kewaranegaraan Vanuatu untuk orang asing.
Menurut Cheng, upayanya dengan membangun Rainbow City berkontribusi bagi perekonomian di Vanuatu. Ia mengaku ingin membuka pasar turis dan mendatangkan turis ke negara di kepulauan Pasifik ini. "Orang-orang dari berbagai negara akan datang ke sini. Inggris atau Australia, China atau Hong Kog, bahkan Makau," ujarnya kepada ABC.
Meski proyek ini disebut untuk membuka investor dari seluruh dunia, namun jelas sekali pemasaran dan desain perumahan yang mereka sebut sebagai Singapura Kecil, hanya diarahkan untuk investor dari Asia.
Tahap pertama pengembangan kawasan ini didanai oleh perusahaan milik Cheng, baik yang berbasis di Vanuatu maupun di China. Tahap konstruksi sudah berjalan, tapi sejauh ini belum satu pun properti yang terjual, atau bahkan dipasarkan. "Sudah banyak orang bertanya berapa harganya jika ingin membeli," kata Cheng. Ia menjelaskan, penjualan properti pertama diperkirakan sekitar akhir tahun ini.
Dipisahkan oleh beton
Kehadiran dinding beton yang melingkari Rainbow City ini meresahkan masyarakat sekitar. Penduduk asli yang disebut sebagai ni-Vanuatu mengaku tak nyaman dengan tembok pemisah tersebut. Salah satu warga sekitar Graham Toara mengungkapkan kecurigaannya dengan kehadiran tembok beton itu. Meski pengembang menjanjikan bahwa ni-Vanuatu bisa mengakses sekolah dan rumah sakit di dalamnya, namun ia tak percaya begitu saja.
"Bila kita bicara tentang sebuah kota artinya tidak boleh ada dinding tembok. Bila membangun kota, kita seharusnya menghilangkan dinding tembok," ujar Graham. Dia merasa sangat frustrasi dan bingung bagaimana nantinya dia menghadapi penghuni asing di kawasan kota kecil yang dipagari di dekat kampungnya itu.
"Kami tidak memahami kehadiran Rainbow City ini. Pemerintah perlu menjelaskannya kepada kami. Semua ini dikerjakan orang China. Warga masyarakat sekitar sini sama sekali tidak mengerti apa-apa".
Di Vanuatu sendiri sebenarnya telah banyak resor dan turis asing yang menjadi andalan perekonomian warga sekitar. Posisi Vanuatu di Pasifik Selatan tekah menarik banyak turis yang menginginkan pantai tenang dan belum terjamah kegiatan diving. Namun, skala pembangunan Rainbow City ini belum pernah terjadi sebelumnya di Vanuatu. Pembangunan ini juga bertepatan dengan meningkatnya pengaruh China di Kepulauan Pasifik.
Ibunya, Gabriel Toara, menyebutkan bahwa orang China telah membeli banyak tanah warga di sekitar desanya. "Mereka juga coba membeli di sini, tetapi anakku menolak. Dia mendatangi mereka dan menghentikannya. Kami khawatir mengapa orang China datang ke sini, membangun rumah dan membeli semua tempat di Vanuatu. Kami tidak paham mengapa mereka membeli Vanuatu," katanya.
Vanuatu yang menjadi incaran negara-negara besar memang tak dapat mengelak dari rasa prihatin dalam kehidupan sehari-harinya. Pembangunan seperti Raibow City memang menjanjikan lapagan kerja, tapi penduduk lokal mengungkapkan hal yang berbeda. John Bakoa yang tinggal di dekat Rainbow City mengaku dirinya pernah bekerja di sana. Namun, ia tak menerima upah dengan wajar. Bakoa mengatakan dirinya hanya dibayar sekitar 130 vatu per/jam atau sekitar 1,70 dolar.
Bakoa mengakui proyek tersebut berpotensi mendatangkan investasi dan infrastruktur di sana. "Orang China datang dengan membawa banyak uang," katanya, tapi dia sendiri tidak melihat bagaimana uang tersebut membantu warga sekitarnya.
Warga di sana merasakan perlunya pembangunan, namun pada saat bersamaan juga ingin mempertahankan kendali dan identitas nasionalnya. Bakoa mengaku resah dengan perubahan yang terjadi di pulaunya itu. "Saya dengar banyak orang akan terbantu dengan pembangunan. Saya tidak begitu yakin. Sebab ini orang China, mereka punya jalan pikirannya sendiri. Kami tak memahaminya," tutur Bakoa.
Baca Juga: Uluru, Tempat Suci Suku Aborigin yang Kini Dilarang
Jadi incaran negara besar
Kegelisahan warga setempat dengan kegiatan pembangunan yang didukung China di Pasifik bukanlah hal baru. Tapi skalanya kini semakin meningkat, di tengah persaingan negara-negara besar atas kawasan ini.
Dengan wilayah lautan dan Zona Ekonomi Eksklusif yang luas, negara-negara kepulauan di Pasifik pun masuk ke dalam radar China dan Amerika Serikat, serta sekutu-sekutu mereka.
Tahun lalu, para pejabat AS dan Australia menyuarakan kekhawatiran mereka mengenai kemungkinan hadirnya pangkalan militer China di Vanuatu. Pembangunan Pelabuhan Luganville yang didanai China di sana tidak meredakan kekhawatiran tersebut.
Menurut data lembaga pemikir Lowy Institute, Vanuatu kini menjadi salah satu penerima terbesar bantuan China di Pasifik. China menyumbang hampir dua kali lipat ke Vanuatu dibandingkan Australia. Nilainya sekitar 145 juta dolar AUS, dalam bentuk hibah dan pinjaman lunak. Uang itu digunakan untuk pembangunan Pelabuhan Luganville dan proyek-proyek kecil seperti kantor Perdana Menteri, Presiden, dan Kemenlu.
Namun, Australia masih menjadi kontributor bantuan nasional tunggal terbesar ke Pasifik, yaitu senilai 1,2 miliar dolar untuk seluruh kawasan itu. Di sisi lain, Selandia Baru dan Jepang pun masih unggul dari China terkait dengan komitmen bantuannya.