100 Hari Jokowi-Ma'ruf: Konsolidasi Maju, Demokrasi Mundur

| 30 Jan 2020 17:07
100 Hari Jokowi-Ma'ruf: Konsolidasi Maju, Demokrasi Mundur
Pelantikan Presiden Jokowi (Instagram/@jokowi)
Jakarta, era.id - Masa kepemimpinan Presiden RI Joko Widodo dan Wakil Presiden RI Ma'ruf Amin memasuki 100 hari pertama. Banyak kontroversi yang terjadi dalam 100 hari sejak Jokowi-Ma'ruf dilantik pada 20 Oktober 2019.

Peneliti dan Koordinator Bidang Legislasi Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus memberikan beberapa catatan tekait evaluasi kinerja pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin.

Secara keseluruhan Lucius menilai, cara Jokowi-Ma'ruf Amin menjalankan roda pemerintahan dalam 100 hari ini belum bisa menggambarkan kinerja mereka secara utuh. Sebab menurutnya, selama 100 hari ini, kerja kabinet Indonesia Maju masih lebih banyak berkutat dengan konsolidasi internal ketimbang mengeksekusi kebijakan yang berkaitan langsung dengan kebutuhan publik.

"Sementara yang sudah terlihat berjalan kebanyakan program sisa dari periode yang lalu," ujar Lucius kepada era.id, Kamis (30/1/2020).

Jadi 100 hari pertama ini dijadikan Jokowi sebagai era konsolidasi. "Karena itu evaluasi kinerja 100 hari pertama tak lebih dari sekadar bagaimana konsolidasi internal pemerintah untuk mewujudkan program besar Jokowi-Ma'ruf Amin," tambahnya.

Keberhasilan Sebatas Konsolidasi

Lucius mengatakan, keberhasilan Jokowi-Ma'ruf Amin yang paling mencolok selama 100 hari kerja hanyalah bergabungnya Gerindra --yang notabene adalah lawan politiknya -- ke dalam kabinet dengan menempatkan Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan dan Edhy Prabowo sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan.

Keberhasilan ini, kata Lucius, membuktikan bahwa Jokowi sebagai dirigen utama bisa membangun konsolidasi politik demi memastikan program-program unggulan pemerintahan Kabinet Indonesia Maju bisa dieksekusi secepatnya.

Pasalnya, dibandingkan dengan partai politik yang berada di luar koalisi, Gerindra punya kekuatan kursi terbanyak ketiga di parlemen. "Tentu ini sangat berpengaruh dalam memberikan dukungan atau sebaliknya pada program pemerintah," kata Lucius.

Namun, bagai dua mata pisau, kekuatan politik yang terkonsolidasi bisa menjadi menguntungkan sekaligus juga merugikan. Negatifnya, suara kritis yang mestinya bisa mengingatkan kebijakan pemerintah untuk pro kepentingan rakyat menjadi hilang, seiring dengan membesarnya koalisi pendukung pemerintah

"Ini tentu saja sesuatu yang merugikan dari aspek demokrasi. Parpol dalam jumlah banyak menjadi tak bermakna karena menjadi satu suara dengan pemerintah," papar Lucius.

Sementara sisi positifnya, kata Lucius, jika pemerintah pro rakyat, maka kebijakannya dengan mudah dieksekusi tanpa perlu takut dengan permainan politik di parlemen.

Penguatan untuk Kemunduran Demokrasi

Di balik satu keberhasilan konsolidasi, Lucius juga memberikan catatan merah terhadap kinerja Jokowi-Ma'ruf. Dia mengatakan, 100 hari Kerja Jokowi-Amin ditandai dengan kemunculan banyak isu yang cenderung bergerak mundur dalam konsep bertata negara.

"Selama 100 hari kerja, isu terkait penguatan demokrasi yang muncul justru cenderung bergerak mundur untuk melemahkan demokrasi," kata Lucius.

Misalnya, isu pemilihan legislatif kembali ke proporsional tertutup; isu periode jabatan presiden ditambah dari dua periode sekarang; dan isu MPR menjadi lembaga tertinggi negara dengan menghidupkan kembali GBHN.

"Ini kan melemahkan sistem presidensial kita," tegasnya.

Selain itu, Lucius juga menyoroti tentang keberlangsungan hidup Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dia menilai, pemerintah tak berdaya dalam mengatasi upaya pelemahan KPK.

Lucius mengatakan, revisi Undang-Undang KPK yang disahkan di periode lalu yang disebut melemahkan lembaga antirasuah itu mulai terasa efeknya. Salah satunya adalah tak kunjung terungkapnya keberadaan tersangka dalam kasus suap pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR dari PDIP, Harun Masiku.

"KPK serba tak pasti dalam menjamin penegakan hukum korupsi lepas dari upaya intervensi kekuatan lain di luar KPK," kata Lucius.

Kegagalan Jokowi-Ma'ruf Amin lainnya adalah banyaknya menteri di kabinet Indonesia Maju dari kader atau petinggi partai. Lucius menilai, di 100 hari pertama, mereka lebih banyak bekerja untuk parpol masing-masing.

Misalnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto kedepatan menggelar pertemuan dengan kader muda Partai Golongan Karya (Golkar) di kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Lalu, kehadiran Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly saat konferensi pers tim hukum PDIP dalam kasus dugaan suap pergantian antar waktu anggota DPR RI.

"Kesibukan berkongres, bermunas telah menyedot waktu menteri untuk urusan parpol," kata Lucius.

Lebih lanjut, Lucius mengatakan, bahwa Jokowi terlihat tak cukup berani bersikap tergas terhadap para menterinya yang tak bisa bersikap profesional.

"Misalnya untuk memberhentikan menteri yang justru sibuk dengan partai di saat dia seharusnya mesti mengabdi pada rakyat," tegas Lucius.

Tags : jokowi
Rekomendasi