Marak OTT Bikin Milenial Apatis Berpolitik

| 12 Feb 2018 14:34
Marak OTT Bikin Milenial Apatis Berpolitik
Ilustrasi (era.id)
Jakarta, era.id - Menjelang pelaksanaan Pilkada 2018, beberapa bakal calon kepala daerah (cakada) justru tertangkap Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK. Sebut saja calon Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT), Marianus Sae yang baru saja tertangkap OTT KPK terkait dugaan suap. Ada juga calon Bupati Jombang, Nyono Suharli Wihandoko yang beberapa saat lalu ditetapkan KPK sebagai tersangka suap. 

Ini bertolak belakang dengan sikap partai politik yang justru berkoar-koar soal integritas kadernya. Ketika parpol membangun citra antikorupsi, kadernya malah beramai-ramai ditetapkan sebagai tersangka korupsi.

Menurut pengamat politik Ujang Komarudin, fenomena ini akan membawa dampak negatif bagi partai politik. Ia juga mengatakan, banyaknya pemimpin daerah yang tertangkap OTT KPK menjadi bukti gagalnya kaderisasi partai.

"Terkait fenomena maraknya kader partai yang kena OTT KPK ini tentu sangat merugikan partai politik. Dan ini merupakan kegagalan partai politik dalam melakukan kaderisasi," kata Ujang saat dihubungi era.id, Senin (12/2/2018).

"Ini juga merupakan rusaknya sistem politik kita yang korup," sambungnya.

Ujang mengatakan, branding partai politik untuk berlomba-lomba menjadi partai paling milenial dan dekat dengan anak muda seolah hanya angan belaka jika disandingkan dengan fenomena maraknya OTT KPK. Jika hal ini terus berlanjut, lanjut Ujang, kaum milenial justru akan semakin apatis pada politik.

"Penegakkan hukum harus jalan terus. Jika fenomena ini terus berlanjut, maka kaum milenial akan apatis dalam berpolitik," tegas Direktur Eksekutif Indonesia Political Review ini.

Untuk menyelesaikan hal ini, Ujang menyampaikan, partai politik harus betul-betul menyiapkan kader yang berintegritas di setiap level. Namun, menurut Ujang lagi, hal ini juga menjadi masalah baru lantaran maju ke panggung pemilihan umum butuh biaya yang tidak sedikit.

"Parpol harus mempersiapkan kader-kadernya yang bersih untuk menjabat di legislatif ataupun eksekutif. Tapi persoalannya partai politik butuh duit, maka tidak heran yang diajukan untuk menjadi calon kepala daerah orang yang punya duit. Serba salah," Ujang menjelaskan.

Rekomendasi