Awalnya, revisi UU MD3 dilakukan untuk menambah kursi pimpinan DPR, guna mengakomodasi PDI Perjuangan sebagai pemenang Pemilu 2014. Kursi pimpinan DPR pun disepakati ditambah, kemudian menyusul pimpinan MPR dan DPD. Rupanya, revisi tidak hanya untuk menambah kursi pimpinan lembaga di kompleks parlemen itu, tapi ada hal lain yang memperkuat posisi DPR.
Mulai dari Pasal 73 yang menyatakan DPR berhak memanggil paksa setiap orang yang tidak hadir dalam rapat di DPR selama tiga kali berturut-turut tanpa alasan. Pemanggilan paksa akan dilakukan dengan bantuan Polri.
Pada Pasal 73 ayat 5 berbunyi "Dalam menjalankan panggilan paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b, Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menyandera setiap orang untuk paling lama 30 hari."
Kemudian, kewenangan DPR diperkuat pada pasal 74 yang mengatur wewenang memberikan rekomendasi kepada siapapun dalam rapat di DPR. Bila pejabat negara atau pejabat pemerintah tidak melaksanakan rekomendasi DPR, maka bisa dilayangkan hak interpelasi, angket, menyatakan pendapat atau mengajukan pertanyaan.
Pasal 74 ayat 4 menyatakan "DPR dapat meminta Presiden untuk memberikan sanksi administratif kepada pejabat negara yang berada dalam lingkup kekuasaan Presiden atau pejabat pemerintah yang tidak melaksanakan atau mengabaikan rekomendasi DPR."
Selanjutnya, yang mendapat kewenangan lebih adalah Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) yang bisa mengambil langkah hukum apabila ada yang merendahkan kehormatan Dewan.
"Mengambil langkah hukum dan atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR," bunyi Pasal 122 huruf k.
Kemudian, diatur juga agar Panitia Angket DPR dapat memanggil WNI atau orang asing untuk dimintai keterangan. Bila tidak hadir selama tiga kali berturut-turut tanpa alasan, Panitia Angket bisa meminta pimpinan DPR untuk memanggil secara paksa dengan bantuan Polri.
"Dalam hal menjalankan panggilan paksa sebagaimana dimaksud pada ayat 5 dan 6, Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menyandera badan hukum dan/atau warga masyarakat paling lama 15 hari," bunyi pasal 204.
Revisi UU MD3 ini juga membuat hak imunitas anggota DPR lebih kuat. Dalam Pasal 224 ayat 1 dijelaskan, anggota DPR tidak bisa dituntut di depan pengadilan karena pernyataannya, pertanyaan, dan atau pendapat yang dikemukakannya, baik lisan atau tertulis di dalam rapat DPR atau di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR.
Namun, ini menjadi tidak berlaku ketika anggota DPR menyampaikan materi yang telah disepakati dalam rapat tertutup yang dirahasiakan. Masih di pasal yang sama, ayat 2-nya berbunyi, anggota DPR tidak bisa dituntut di depan pengadilan karena sikap, tindakan, kegiatan di dalam ataupun di luar rapat DPR yang semata-mata karena hak dan kewenangan konstitusional DPR dan atau anggota DPR.
Selain hak imunitas, anggota DPR juga tidak bisa diperiksa penegak hukum tanpa izin Presiden dan pertimbangan MKD. Hal itu tertuang dalam Pasal 245.
"Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapatkan pertimbangan dari MKD."
Revisi ini kadung disahkan dan tidak bisa diutak-atik lagi. Namun, Menteri Hukum dan HAM Yassona Laoly mengatakan, jika ada pihak yang tidak setuju dengan hasil revisi ini dipersilakan mangjukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"Jadi artinya begini, kalau tidak setuju ya sudah lah, merasa itu melanggar hak, ada MK, tidak apa-apa biar berjalan aja," kata Yasonna usai pengesahan rancangan UU MD3, di Gedung DPR, Senin (12/2/2018).