Kasus e-KTP, Mimpi Buruk Novanto?

| 16 Nov 2017 08:00
Kasus e-KTP, Mimpi Buruk Novanto?
Ketua Umum Partai Golkar dan Ketua DPR RI, Setya Novanto (ZAKIYAH/era.id)
Jakarta, era.id - Rabu (15/11/2017) petang, sejumlah personel Brimob berjaga di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta. Kehadiran personel Brimob itu mengundang tanya, "ada apa gerangan?"

Muncul dugaan akan ada peristiwa besar di KPK. Dugaan pun mengarah pada kasus korupsi pengadaan KTP elektronik atau e-KTP?

Dugaan itu terbukti beberapa jam setelahnya. Tujuh penyidik KPK mendatangi rumah Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto, di Jalan Wijaya XIII, Jakarta Selatan, sekitar pukul 22.00.

Saat penyidik KPK datang, istri Novanto, Deisti Astriani Tagor; pengacara Novanto, Fredrich Yunadi; Wakil Ketua Dewan Pakar DPP Partai Golkar Mahyudin, serta asisten rumah tangga, berada di dalam rumah Novanto.

Lebih dari tiga jam penyidik KPK berada di dalam rumah Novanto. Semua penyidik KPK yang datang ke rumah Novanto "tutup mulut".

Sekitar pukul 23.00, Mahyudin keluar dari rumah Novanto dan mengatakan bahwa dirinya berada di sana karena ingin membicarakan Pilkada 2018. Mahyudin mengaku tidak tahu keberadaan Novanto dan tidak terlibat dalam kasus e-KTP yang tengah diusut KPK.

Dia hanya memastikan Golkar akan memberi bantuan hukum jika Novanto memerlukan.

"Cuma ngopi-ngopi di dalam," kata Mahyudin.

Menurut Mahyudin, pada Rabu sore, atau sebelum dia datang, di rumah Novanto sudah ada Bendahara Umum DPP Partai Golkar Robert Kardinal. Namun Mahyudin menyatakan tidak mengetahui alasan Robert menemui Novanto di rumahnya.

Tidak lama setelah Mahyudin keluar rumah Novanto, Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham dan Ketua DPP Partai Golkar Aziz Syamsudin tiba di rumah Novanto. Idrus dan Aziz tidak banyak mengomentari kedatangan penyidik KPK ke rumah ketua umumnya itu.

Novanto seperti hilang tertelan bumi. Padahal, pada Rabu siang, Novanto yang mangkir dari panggilan KPK memilih menghadiri sidang paripurna pembukaan masa sidang II DPR RI.

Ketua DPR RI itu bahkan sempat berpidato dan meminta panitia khusus (ansus) hak angket KPK melaporkan hasil kerjanya pada masa sidang kali ini.

Saat diwawancarai seusai sidang paripurna, Novanto mengatakan tidak memenuhi panggilan KPK karena harus menghadiri sidang paripurna dan baru akan memenuhi panggilan KPK setelah ada hasil uji materi UU KPK yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi.

11 panggilan KPK

Dalam kesempatan terpisah dan saat hari akan berganti, Juru Bicara KPK Febri Diansyah memberikan pernyataan, mengenai telah terbitnya surat perintah penangkapan terhadap Novanto. Menurut Febri, penyidik KPK mendatangi rumah Novanto untuk melakukan penangkapan karena mantan Ketua Fraksi Golkar yang sudah ditetapkan tersangka dalam kasus e-KTP itu dianggap tidak kooperatif.

Febri mengungkapkan, sampai dengan surat penangkapan itu terbit, Novanto sudah 11 kali dipanggil, baik sebagai saksi untuk tersangka Anang Sugiana Sudihardjo dan Andi Agustinus alias Andi Narogong, ataupun pemeriksaan Novanto sebagai tersangka kasus korupsi e-KTP.

"Jadi kami pandang upaya persuasif sudah kami lakukan, sampai tengah malam ini tim masih di lapangan (untuk mencari Novanto)," kata Febri.

Jika Novanto tidak kunjung ditemukan atau tidak menyerahkan diri, kata Febri, maka KPK akan berkoordinasi dengan Polri untuk menerbitkan daftar pencarian orang (DPO) atas nama Setya Novanto. Penahanan terhadap Novanto akan diputuskan 1 x 24 jam setelah dia ditangkap.

"Karena prinsip semua orang sama di mata hukum, sesuai aturan berlaku. Setya Novanto belum terlambat menyerahkan diri, sikap kooperatif jauh lebih baik untuk yang bersangkutan. Kalau ada bantahan, silakan sampaikan pada penyidik," ucap Febri.

Licin

Melihat ke belakang, Novanto selalu berhasil menjauhkan diri dari pusara kasus yang menjeratnya. Pada 1999, Novanto disebut berperan dalam pengalihan piutang (cassie) Bank Bali kepada Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI). Dalam kasus ini, Bank Bali diketahui mentransfer uang Rp 500 miliar kepada perusahaan milik Novanto, Djoko Tjandra, dan Cahyadi Kumala, PT Era Giat Prima.

Namun, kejaksaan menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) pada 18 Juni 2003 untuk kasus yang nilai merugikan negara hingga Rp 904 miliar itu.

Novanto juga disebut sengaja memindahkan 60.000 ton beras dari pabean ke nonpabean. Novanto pernah diperiksa untuk kasus yang merugikan negara hingga Rp 122 miliar itu pada 2006 namun tidak dijadikan tersangka.

Mantan Bendahara Umum Partai Golkar itu juga disebut mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazarudin terlibat dalam korupsi pembangunan venue Pekan Olahraga Nasional (PON) Riau, 2012. Menurut Nazarudin, Novanto mengatur aliran dana untuk anggota DPR agar pencairan APBN untuk proyek tersebut lancar.

Novanto kemudian diperiksa sebatas saksi dengan tersangka mantan Gubernur Riau, Rusli Zainal. Dalam pemeriksaan, Novanto membantah semua tuduhan tersebut.

Hal yang tidak kalah geger adalah kasus "Papa minta saham". Kasus tersebut muncul ke permukaan setelah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said melaporkan Novanto ke Majelis Kehormatan Dewan DPR dengan tuduhan mencatut nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla saat ingin meminta imbalan untuk memuluskan perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia.

Laporan Sudirman kemudian direspons MKD dengan menyatakan Novanto melanggar kode etik. Namun Novanto memilih mengundurkan diri sebagai Ketua DPR RI sebelum MKD memberikan sanksi. Posisi Ketua DPR kemudian dijabat politisi Golkar, Ade Komarudin.

Novanto lalu mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait penyadapan atau perekaman yang dijadikan barang bukti dalam penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan. MK mengabulkan gugatan Novanto dan memutuskan bahwa bukti elektronik harus atas permintaan polisi dan penegak hukum lainnya.

Dengan putusan itu, rekaman pembicaraan Novanto dalam kasus papa minta saham tidak bisa dijadikan sebagai barang bukti untuk menjeratnya.

Setelah memenangi pemilihan Ketua Umum Partai Golkar pada 17 Mei 2016, Novanto kembali menjabat Ketua DPR dan dilantik pada 30 November 2016.

Terkait kasus e-KTP, Novanto juga sempat mengajukan gugatan praperadilan untuk status tersangkanya. Gugatan itu dikabulkan hakim Cepi Iskandar dan status tersangka Novanto dinyatakan gugur.

Namu, KPK terus melakukan penyelidika hingga mendapat bukti kuat untuk kembali menetapkan Novanto sebagai tersangka. Tapi proses penyidikan terhambat karena Novanto selalu mangkir dengan berbagai alasan,

Lalu, apakah Novanto bisa lolos dari kasus korupsi e-KTP? Atau sebaliknya, kasus dengan nilai kerugian mencapai Rp2,3 triliun ini menjadi mimpi terburuknya?

Apapun itu, saat ini, menyerahkan diri jadi pilihan terbaik bagi Novanto ketimbang menyandang status buron.

Tags :
Rekomendasi