Jakarta, era.id - Paparan modernisasi mengidentikkan kaum milenial dengan kehidupan serba instan. Segala kebutuhan dapat diakses dengan cara-cara yang mudah. Terus, salah kita? Salah teman-teman milenial kita? Dengan segala kemudahan yang ditawarkan dunia modern ini, masa enggak kita manfaatin?
Bukan salah bunda mengandung memang. Bukan salah milenial juga kalau mereka terbentuk sebagai generasi yang erat dengan penerapan budaya instan. Waktu lagi lapar tapi malas atau enggak sempat keluar, milenial bisa menggunakan layanan pesan-antar.
Atau buat yang LDR. Jarak bukan masalah berarti lagi sekarang. Karena rindu bisa dibalas lewat layanan video call. Bahwa segala hal jadi lebih mudah saat ini, mungkin memang harus disyukuri dan dimanfaatkan sebaik dan sebijak mungkin.
Budaya instan lahir dari permintaan manusia yang ogah bertele-tele. Manusia dibuat jadi makhluk yang inginnya serba praktis dan cepat dalam mendapatkan sesuatu, syukur-syukur juga berkualitas tinggi. Modernitas dianggap sebagai penyebab utamanya. Paparan perkembangan informasi dan teknologi membuat budaya instan berkembang pesat.
Theodore Adorno & Max Horkheimer, dalam bukunya, Dialektika Pencerahan (2014), menyatakan kajian budaya instan lahir dari sebuah spontanitas. Budaya tersebut dibentuk atas sikap konsumerisme masyarakat yang terbentuk berdasar desain yang dibentuk pasar.
Jeleknya, budaya instan membuat banyak orang melupakan esensi dari proses. Orang-orang dipaksa menerima kenyataan bahwa dunia ini baik-baik saja. Segala kecepatan, kenyamanan, dan asyiknya hidup dalam kemudahan ini adalah hal yang mutlak baik, tanpa ada yang salah.
Karenanya, tak salah juga jika Adorno berpandangan bahwa budaya instan adalah budaya yang mencoba melawan proses. Budaya instan ini, menurut Adorno, jelas lahir dari kehendak kapitalisme, yang dipoles oleh media massa sedemikian rupa, hingga menjangkiti pola pikir dan perilaku masyarakat.
Infografis (Wildan/era.id)
Milenial dan rendahnya daya juang
Psikolog Swiss German University, Elizabeth Santosa, punya pandangan lain soal budaya instan dan bagaimana budaya ini menjangkiti masyarakat. Ternyata, ada proses cukup panjang di balik penyebaran budaya instan. Perubahan pola pikir pada masyarakat bisa menjadi alasan utama.
Di Indonesia, perubahan budaya telah terjadi dari generasi ke generasi. Elizabeth menyoroti, generasi sebelum dan saat kemerdekaan memiliki sifat dan karakter berani, tangguh, dan memiliki nasionalisme yang tinggi.
"Dahulu, di zaman kemerdekaan, masyarakat tidak terbuai dengan kenyamanan, mereka sibuk memperjuangkan hidup dan negaranya, kondisi membuat mereka keras, tidak lunak," ujar psikolog yang sering dipanggil Lizzie ini.
Teknologi nyatanya bukan satu-satunya penyebab berkembangnya budaya instan. Kemajuan zaman dalam hal perbaikan ekonomi, politik dan sosial juga mendorong budaya instan berkembang pesat. Berubahnya tatanan masyarakat dalam suatu peradaban, dikatakan Lizzie turut mengubah karakter generasi di dalamnya.
"Kesengsaraan sudah berkurang, ekonomi berputar, UU kebebasan disepakati hingga kajian HAM makin berkembang," tutur Lizzie.
Dalam kajian psikologi, dikenal sebuah istilah yang disebut shadow effect, yakni dampak dari berbagai perubahan kebebasan, perkembangan iptek, dan bentuk-bentuk modernitas nyata yang ada di tengah generasi milenial saat ini. Shadow effect, dikatakan Lizzie sangat memengaruhi eksistensi dan daya juang generasi milenial.
"Lebih parahnya, esensi (unsur) proses menghilang karena budaya instan lebih dikenal sebagai budaya enggak sabaran (maunya cepat)... Lihat saja generasi kini cepat komplain, tidak ada toleransi atas ketidaknyamanan," kata Lizzie.