Cerita Paskah Istri Pengumandang Azan

| 30 Mar 2018 17:09
Cerita Paskah Istri Pengumandang Azan
Ilustrasi (Pixabay)
Bogor, era.id – Pagi ini, Maria bangun lebih awal. Dia sibuk berbenah di rumah, lalu membuat soto ayam untuk sarapan sekeluarga.

Setelah itu, Maria kembali ke kamar dan memilih pakaian. Pilihannya jatuh pada blus bermotif batik berwarna hijau. Baju itu sudah lama parkir di lemari, sesekali dikenakan hanya pada hari-hari besar.

Maria adalah ibu berusia 62 tahun, yang memiliki dua putri, dan seorang putra. Dia punya dua menantu dengan empat cucu yang masih kecil.

Seperti biasanya, tidak banyak pulasan kosmetik di wajahnya seusai mandi. Maria lalu bersiap beribadah ke Gereja Katolik Maria Bunda Segala Bangsa, di Kota Wisata, Jalan Alternatif Cibubur, perbatasan antara Jakarta Timur, Kabupaten Bekasi, dan Kabupaten Bogor.

Waktu sudah lebih dari pukul 08.00 WIB, Maria berdiri di depan pintu, menunggu menantunya memanasi mesin sepeda motor bebek jepang yang warnanya mulai kusam. Jarak dari rumahnya di Desa Mampir, Cileungsi, ke gereja sekitar 7 kilometer.

Kebetulan, menantunya bisa berangkat kerja agak siang hari ini, jadi sempat mengantar Maria beribadah menyambut Paskah, Jumat (30/3/2018).

Umat Nasrani di dunia merayakan Paskah sebagai rangkaian keagamaan yang panjang. Dimulai dengan Rabu Abu yang umumnya jatuh 40 hari (tanpa menghitung hari-hari Minggu) sebelum Paskah, hingga Pekan Suci Paskah.

Jika menantunya sedang berhalangan, Maria diantar ke geraja oleh suaminya, Yatno. Sering kali Yatno harus menunggu di parkiran gereja selama istrinya beribadah minggu atau saat hari raya. 

Pria yang mulai beruban itu tidak ikut beribadah karena dia seorang muslim. Hanya ada dua tempat yang sering dikunjungi Yatno saat ini, yakni rumah sederhana berdinding batako yang disubsidi pemerintah, dan masjid.

Selain jadi pengumandang azan tetap di Masjid Aljauharoh, Yatno juga selalu salat berjemaah, dan mengikuti kajian Islam. 

Yatno bukan pengurus masjid, tapi akses dan kewenangannya tidak kalah dengan anggota dewan kesejahteraan masjid di kampungnya.

Jika tidak azan atau tidak salat berjemaah di masjid sekali saja, pasti ada warga yang datang ke rumahnya lalu bertanya “Bapak kenapa, sakit?”

Yatno begitu dikenal warga di kampungnya karena suaranya terdengar setiap hari. Paling telat pukul 04.30 WIB, dia sudah berada di masjid untuk membangunkan warga dan mengajak salat subuh berjemaah. 

Pada Senin dan Kamis, Yatno bangun lebih awal untuk sahur puasa sunah. Menu sahur disiapkan Maria sejak malam harinya.

Baca Juga : Paus Fransiskus Basuh Kaki Narapidana

Maria selalu berhasil jadi istri, ibu, sekaligus eyang yang baik, sedangkan Yatno tampil sebagai imam yang demokratis.

Meski seorang Katolik, Maria tidak anti mengajari cucunya membaca doa secara Islam. Maria bisa mengajari cucu keduanya hingga hafal doa tidur serta doa untuk kedua orang tua.

Bagaimana bisa Maria yang Katolik mengajari cucunya berdoa secara Islam?

Maria meminta anak-anaknya menuliskan doa-doa Islam menggunakan huruf alfabet supaya bisa dia baca dan dia ajarkan pada cucunya.

Saat sudah waktunya tidur, Maria juga kerap mengeloni cucunya sambil membaca shalawat untuk Nabi Muhammad SAW. Shalawat itu terus dia baca berulang-ulang hingga cucu laki-lakinya itu terlelap.

Tiki-taka Maria dan Yatno tetap indah meski beda soal agama. Jika benar sebaik-baiknya dakwah adalah perbuatan, Maria dan Yatno jadi satu bukti indah soal keberagaman.

Tags : paskah
Rekomendasi