Ketika Soekarno Sahur Nasi Goreng Jelang Proklamasi

| 20 May 2018 09:13
Ketika Soekarno Sahur Nasi Goreng Jelang Proklamasi
Ilustrasi Soekarno (Wildan Alkahfi/era.id)
Jakarta, era.id – Kala itu, 17 Agustus 1945, hari masih hijau, segelap langit yang belum menyambut fajar, ketika Soekarno, Mohammad Hatta, dan Achmad Soebardjo masih terjaga merumuskan naskah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia (RI) di rumah Laksamana Tadashi Maeda di Menteng, Jakarta Pusat.

Setelah naskah proklamasi selesai dirumuskan, Bung Karno memerintahkan Sayuti Melik mengetik naskah tersebut. Kemudian, Bung Karno, Bung Hatta, dan Achmad Subardjo melaksanakan sahur, jelang masuk waktu imsak, di dapur rumah Laksamana Maeda.

Entah kebetulan atau memang berkah buat Soekarno, saat itu pembantu di rumah Laksamana Maeda, Satsuki Mishima, menyediakan makanan favorit Soekarno, nasi goreng sebagai menu sahur. Selain nasi goreng, ada ikan sarden, telur, dan roti.

Buat Soekarno, barangkali menu sahur hari itu bakal lebih istimewa andai disediakan nasi jagung, sayur lodeh, ikan asin, sate ayam dan telur setengah matang, makanan favoritnya yang lain.

Dalam beberapa hikayat disebutkan Rumah Makan Tungkong sebagai tempat favorit Soekarno untuk berburu makanan-makanan tersebut. Selain nasi goreng dan sate ayam, mi goreng jadi menu favorit Soekarno di rumah makan yang terletak di sekitar Patung Pak Tani di Jakarta Pusat itu.

Kembali ke kisah sahur bersejarah itu. Dalam buku Sekitar Proklamasi (1981), Bung Hatta menyebut para perumus proklamasi tengah dikuasai rasa lapar yang menggila kala itu. Sejak perjalanan dari Rengasdengklok, ke kediaman Laksamana Maeda, ketiganya dikabarkan belum menyentuh makanan apapun.

"Saat di Rengasdenglok saya belum sempat makan, saat tiba di rumah Admiral, saya masih sempat untuk makan sahur," tulis Hatta dalam buku tersebut.

Sembari sahur, Bung Karno, Bung Hatta, dan Subardjo terus mencari formulasi kalimat yang efektif sebagai naskah proklamasi. Saat Bung Karno, Bung Hatta, dan Achmad Soebardjo santap sahur, kelompok muda menunggu ketiganya di beranda rumah Laksamana Maeda.

Baca Juga : Jokowi Serukan Ramadan Penuh Damai

Kelompok muda itulah yang mengamankan Bung Karno dan Bung Hatta diamankan dari Rengas Dengklok, Karawang, Jawa Barat. "Saya makan roti, telur, dan sarden tetapi cukup mengenyangkan, setelah itu saya pamitan dan ucapkan terima kasih kepada tuan rumah, saya pulang dengan menggonceng bersama Bung Karno," ungkap Hatta dalam buku tersebut.

Pada pukul 10.00 WIB, sekitar enam jam setelah sahur bersejarah itu, naskah proklamasi dibacakan. Di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56, Jakarta, Soekarno-Hatta mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia.

Hikayat Rumah Laksamana Maeda

Berdasarkan data dari Museum Perumusan Naskah Proklamasi, rumah Laksamana Maeda didirikan sekitar 1920-an. Dengan arsitektur bergaya Eropa, rumah itu dibangun dengan luas 1.138,10 M2, di atas tanah seluas 3.914 M2.

Berdasar runutan sejarah, bangunan tersebut telah dihuni oleh beberapa penghuni berbeda. Pada 1931, kepemilikan rumah tersebut ada di bawah nama PT Asuransi Jiwasraya. Kemudian, ketika perang Pasifik pecah, gedung tersebut dipakai British Consul General. Cukup lama, hingga pendudukan Jepang di Indonesia.

Pada masa pendudukan Jepang itulah, gedung ini kemudian ditempati Laksamana Tadashi Maeda, Kepala Kantor Penghubung antara Angkatan Laut dengan Angkatan Darat Jepang, hingga September 1945, ketika pasukan sekutu mendarat di Indonesia. Kemudian, setelah kekalahan Jepang, gedung ini jadi markas tentara Inggris.

Baca Juga : Pemimpin Dunia Terharu dalam Iklan Ramadan Ini

Pemindahan status kepemilikan gedung ini terjadi dalam aksi nasionalisasi terhadap berbagai aset bangsa asing di Indonesia. Gedung ini diserahkan kepada Departemen Keuangan, sementara pengelolaannya diserahkan oleh Perusahaan Asuransi, Jiwasraya.

Pada 1961, gedung ini dikontrak oleh Kedutaan Besar Inggris sampai dengan 1981, sebelum digunakan oleh Perpustakaan Nasional sebagai lahan perkantoran pada 1982. Dua tahun setelahnya, tahun 1984, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prof Dr Nugroho Notosusanto menginstruksikan kepada Direktorat Permuseuman untuk merealisasikan gedung bersejarah ini menjadi Museum Perumusan Naskah Proklamasi.

Akhirnya berdasarkan surat keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 0476/0/1992 tanggal 24 November 1992, gedung yang terletak di Jalan Imam Bonjol Nomor 1 ditetapkan sebagai Museum Perumusan Naskah Proklamasi, sebagai Unit Pelaksana Teknis di bidang kebudayaan berada di bawah Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Rekomendasi