Abu Bakar Dapat Izin KPK untuk Nyoblos
Menanggapi hal tersebut, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengaku pihaknya memang memberikan izin kepada Abu Bakar. Alasannya, selain untuk mencoblos, Abu Bakar harus kembali ke Bandung untuk menjalani pengobatan rutin yang telah ia lakukan bahkan sejak sebelum menjadi tahanan KPK.
“Ada permintaan izin dari yang bersangkutan, sekaligus berobat,” ungkap Juru Bicara KPK Febri Diansyah kepada wartawan melalui pesan singkat, Kamis (26/6/2018).
Febri mengatakan, tak ada tahanan KPK lain yang menggunakan hak pilihnya di pilkada kemarin selain Abu Bakar. Namun, ia menyebut, tak ada aturan khusus mengenai hal tersebut.
“Tidak ada aturan tentang hal tersebut, tapi kemarin yang meminta izin hanya satu. Itupun sekaligus berobat kankernya,” terang Febri.
Sebagai informasi, KPK menetapkan Bupati Bandung Barat Abu Bakar sebagai tersangka dalam kasus suap. Penetapan dirinya sebagai tersangka merupakan pengembangan dari Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan tim KPK di wilayah Bandung Barat.
“KPK meningkatkan status penanganan status penanganan perkara ke penyidikan serta menetapkan tersangka sebagai berikut, diduga sebagai penerima ABB (Abu Bakar) Bupati Bandung Barat, WLW (Weti Lembanawati) Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Bandung Barat, ADY (Adiyoti) Kepala Badan Pembangunan Daerah Kabupaten Bandung Barat,” kata Wakil Ketua KPK Saut Situmorang dalam konfrensi persnya di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Rabu, (11/4/2018).
Selain menetapkan tiga orang tersangka, KPK juga menetapkan Kepala Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Bandung Barat, Asep Hikayat sebagai tersangka pemberi suap.
Baca Juga: KPK Periksa Waketum Demokrat Terkait Aliran Uang e-KTP
Sebagai pihak penerima, Abu Bakar, Weti, dan Adiyoto dijerat melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Sedangkan, Asep sebagai pihak pemberi diduga melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.