Peneliti Ungkap Tantangan Demokrasi Indonesia: Lemahnya Penegakan Hukum Hingga Politik Dinasti
ERA.id - Pasang surut kehidupan berdemokrasi di Indonesia terus terjadi sejak era kemerdekaan pada tahun 1945. Demokrasi di Indonesia tidak bergerak secara linier. Namun, keyakinan mengenai gagasan demokrasi di Indonesia tidak akan pernah musnah.
Freedom House menyebut kondisi demokrasi di Indonesia sebagai semi bebas (Partly Free), sedangkan menurut Economist Intelligence Unit (EIU) Indonesia di level demokrasi terbatas (Flawed Democracy).
Oleh berbagai lembaga tersebut, Indonesia diberi skor terbaik di atas rata-rata global dalam proses pemilu; pluralisme dan partisipasi politik; fungsi pemerintah; serta otonomi personal dan hak individu.
Senior Fellow LAB 45 Sigit Pamungkas mengatakan berdasarkan hasil kajian LAB 45 dan LP3ES yang berjudul "Memperkuat Demokrasi di Indonesia" menemukan bahwa terdapat tantangan utama demokrasi di Indonesia yang dibagi ke dalam empat kategori.
Tantangan pertama ialah tantangan institusional. Pada dimensi institusional terdapat tantangan politik yang berbiaya tinggi, penegakan hukum yang belum kuat, serta masih lemahnya check and balance. Kedua, tantangan budaya. Pada dimensi ini terdapat tantangan populisme yang berlebihan, politik dinasti dan deviasi demokrasi.
Lalu tantangan ketiga, dukungan setengah hati atas demokrasi, seperti masih adanya politik identitas, masyarakat sipil yang lemah serta para elite yang memunggungi demokrasi. Keempat, tantangan struktural yang terdiri dari oligarki, ketimpangan, ekonomi serta korupsi.
"Dari tantangan tersebut ada enam hal yang harus menjadi concern kita bersama. Yaitu perbaikan pada ranah elektoral terutama politik uang, penguatan penegakan hukum, memperkuat skema welfare estate, memperkuat kekuatan penyeimbang di legislatif, memperkuat masyarakat sipil dan kaderisasi pemimpin bangsa" jelas Sigit.
Dalam kesempatan yang sama, Peneliti Senior Pusat Riset Politik BRIN Firman Noor mengatakan demokrasi Indonesia berada di persimpangan jalan. Meski begitu, ia meyakini demokrasi di dalam negeri tidak kembali ke sistem otoritarian.
"Saya yakin kita tidak kembali ke otoritarian. Tapi lebih pada mendekati post demokrasi," ujarnya.
Di sisi pemerintah, Staf Khusus Menteri Keuangan (Menkeu) Yustinus Prastowo mengatakan perpajakan bisa dijadikan sebagai state-building process. Ia menjelaskan, pembebanan pajak sebagai proses negosiasi berbasis tawar-menawar dan demokrasi partisipatoris.
"Pajak dapat dijadikan instrumen untuk demokratisasi, yakni bagaimana mengambil dari kelompok kaya kemudian diredistribusikan kembali," ujarnya.
Menurut Prastowo, bentuk demokratisasi dari perpajakan ialah pemerintah berhasil menelurkan Undang-Undang tentang Keterbukaan Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan dan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
"Hal yang baik dari demokrasi kita harus terus dipupuk agar menjadi social capital yang memungkinkan transformasi yang lebih kuat," kata Prastowo.