Digadang Jadi Cawapres, Moeldoko Punya Kekuatan di Militer
"Terutama mengamankan dan menarik faksi atau gerbong jenderal yang selama ini 'berseberangan' terhadap Jokowi. Itu penting untuk menyolidkan dukungan di Pilpres 2019," kata Pangi dilansir Antara, Senin (16/7/2018).
Menurut dia, figur yang tegas, loyal, efektif dan efisien, jejaringnya di dunia militer sangat dibutuhkan Jokowi untuk memenangkan kontestasi Pemilu 2019.
Pangi menilai, meski Moeldoko sudah pensiun, kekuatan infrastruktur dan suprastrukturnya di militer tentu masih ada.
"Sosok Moeldoko belakangan mulai diperhitungkan menjadi cawapres Jokowi, disebabkan posisinya sebagai mantan panglima TNI yang masih kuat di jaringan militer. Selain itu Jokowi butuh pendamping yang berkarakter tegas dan loyal," kata Pangi.
Dia menilai Moeldoko yang pernah menjadi panglima TNI, dan 'chemestry' atau cocok mungkin sudah terbaca oleh Jokowi sejak Moeldoko diangkat menjadi Kepala Staf Kepresidenan.
Pangi menerangkan, untuk menjadi cawapres Jokowi, ada beberapa kriteria yang perlu dipertimbangkan. Pertama menurut dia, dari sisi kualifikasi akseptabilitas, penerimaan dan kesukaan publik, seberapa besar restu dari elite dan penerimaan parpol koalisi terhadap figur cawapres tersebut.
"Sejauh mana beliau diterima tataran masyarakat, elite politik, opinion leader dan massa di bawah," katanya.
Kedua, lanjut Pangi, modal racikan elektoral menjadi penting sebagai cawapres dalam pertarungan kontestasi elektoral pilpres, yaitu popularitas, akseptabilitas dan elektabilitas mesti satu tarikan nafas alias sejalan dan tak boleh senjang.
Real president Ketiga menurut soal nuansa kebatinan capres dan cawapres menjadi pertimbangan karena kalau nanti wapres terkesan lebih menonjol dari presiden, terkesan wapres cita rasa the real president.
"Keempat, terkait restu ketua umum Parpol pengusung utama Jokowi. Bagi Jokowi elektabilitas itu sangat penting, dan Jokowi tidak lagi bicara setelah 2024, sementara, logika PDIP berbeda, bicara setelah 2024," katanya.
Poin kelima, menurut Pangi, kombinasi ideal yaitu nasionalis religius, sehingga cawapres Jokowi tidak perlu dipaksakan ahli di bidang ekonomi, hukum dan politik karena nantinya sudah cukup diperkuat di posisi menteri koordinator (menko).
Dia menilai hal terpenting adalah cawapres harus berbeda ceruk segmen pemilih dengan capres, karena itu segmen Jokowi yang nasionalis dan cawapresnya mesti dari segmen ceruk religius.