Jakarta, era.id - Salah satu tontonan paling asyik di dunia telah berakhir malam kemarin. Prancis keluar jadi tim terbaik di dunia setelah memenangi pertandingan sengit 4-2 lawan kuda hitam Kroasia. Kami serius menyebut kata sengit untuk menggambarkan pertandingan tadi malam. Sebab, Kroasia bisa saja jadi juara jika enggak dikalahkan oleh kepala dan tangannya sendiri.
Kami sepakat, kemenangan adalah kemenangan. Apapun yang terjadi, Prancis adalah pemenang turnamen. Tapi, Kroasia jelas telah merebut hati banyak orang di dunia. Dan buat saya, Kroasia bermain lebih baik dari Prancis, meski Prancis bermain lebih efektif, dan efektif adalah bentuk permainan yang dibutuhkan sebuah tim untuk menang. Seenggaknya, seperti yang dikatakan sang kapten tim, Luca Modric, Kroasia pantas berbangga meski enggak jadi juara.
Soal permainan bagus Kroasia ini, saya enggak asal sebut. Nyatanya, statistik pertandingan menunjukkan hasil yang kurang lebih sama dengan pendapat saya. Statistik menunjukkan Kroasia lebih menguasai bola, 61 berbanding 39 persen. Ya jika merujuk pada asumsi yang dibangun soal sepak bola klasik: menguasai bola sama dengan menguasai pertandingan, maka Kroasia adalah penguasa pertandingan tadi malam.
Enggak cuma penguasaan bola. Aliran bola Kroasia di sepanjang pertandingan pun nyatanya lebih baik ketimbang Prancis. Akurasi operan anak asuhan Zlatko Dalic mencapai angka 83 persen. Sedang Prancis hanya mencatatkan akurasi operan 75 persen. Jika dirinci, total operan yang dilakukan Kroasia mencapai angka 547, di mana 456 di antaranya berhasil. Berbeda jauh dengan Prancis yang hanya melakukan 202 operan berhasil dari total 271 operan yang dilakukan.
Penguasaan pertandingan pun nyatanya berbanding lurus dengan agresivitas permainan Kroasia. Berdasar statistik, The Blazers menunjukkan daya jelajah yang melebihi Les Bleus, yaitu 100 kilometer berbanding 99 kilometer. Enggak cuma daya jelajah. Kroasia nyatanya juga lebih ngotot dalam hal mencetak gol. Terbukti, statistik menunjukkan Kroasia berhasil melepaskan 15 sepakan percobaan, berbanding lumayan jauh dengan Prancis yang hanya melesatkan delapan tembakan.
Nah, statistik terkait tembakan percobaan ini juga menggambarkan efektivitas permainan Prancis ketimbang Kroasia. Dari delapan tembakan Prancis, enam tembakan mengarah langsung ke arah gawang. Sedang bola Kroasia, hanya tiga dari 15 tembakan yang mengarah ke gawang.
Infografis "Prancis Juara Dunia World Cup 2018" (Ira/era.id)
Dikalahkan kepala dan tangan sendiri
Ya, secemerlang apapun permainan Kroasia, sengotot apa pun Modric Cs memenangi pertandingan semalam, tetap saja efektivitas Prancis jadi kunci permainan. Dan sekali lagi, menang adalah menang. Jika melihat statistik yang begitu mentereng buat Kroasia, kita sejatinya bisa juga melihat bagaimana permainan Kroasia jauh dari efektif.
Dua gol awal Prancis bahkan berasal dari kesalahan Kroasia sendiri, satu dari gol bunuh diri tandukan Mario Mandzukic yang melenceng ke gawang sendiri, satu lagi dari penalti yang didapat Prancis atas handsball Ivan Perisic di kotak 12 pas. Iya, sah-sah saja rasanya menyebut kemenangan Prancis adalah kekalahan Kroasia atas kepala dan tangan mereka sendiri.
Sebab, sejatinya Mandzukic dan Perisic tampil baik dalam pertandingan itu. Buktinya, dua gol Kroasia diciptakan oleh dua pemain itu. Gol Perisic dibuat dengan sepakan keras pada menit 28. Sementara gol Mandzukic terjadi dengan memanfaatkan kesalahan Hugo Lloris yang gagal melakukan gocekan.
Di luar seluruh operan, tembakan, dan benturan yang terjadi sepanjang pertandingan semalam, Prancis berhasil memutus paceklik gelar selama 20 tahun belakangan. Didier Deschamps jadi benang merahnya. Di tahun 1998, ketika pertama kali Prancis meraih gelar juara dunia, Deschamps berdiri di atas lapangan sebagai pemain. Kini, Deschamps berhasil membawa Prancis juara dari kursi pelatih.
Buat Kroasia, era ini jadi era paling membanggakan buat mereka. Setelah pada gelaran yang sama di mana Prancis jadi juara: Piala Dunia 1998, Kroasia yang diperkuat Davor Suker, Zvonimir Boban, dan Dario Simic berhasil mencatatkan sejarah terbaik dengan menembus babak semi final, sebelum akhirnya langkah meraih gelar juga dikandaskan oleh Prancis, Deschamps Cs.