- Sejak trailernya dirilis April 2018 lalu, film Buffalo Boys telah menjanjikan sebuah produk film western lokal yang enggak cuma berkelas, tapi juga menjanjikan. Direncanakan naik layar pada Oktober, Buffalo Boys tampil lebih awal di tiga perempat bulan Juli ini. Dan benar saja, sesuai 'janji', Buffalo Boys berhasil jadi tontonan yang amat menghibur. Bukan film yang sempurna, namun lengkap untuk sebuah film western.
Plot Buffalo Boys menceritakan kisah perjuangan Jamar (Ario Bayu) dan Suwo (Yoshi Sudarso), dua saudara kandung penerus garis keturunan kerajaan yang wilayahnya direbut oleh tentara kolonial Belanda.
Sejak bayi, Jamar dan Suwo dibawa melarikan diri ke California oleh paman mereka, Arana (Tio Pakusadewo). Tujuannya, demi menjaga garis keturunan ayah mereka, Sultan Hamzah (Mike Lucock) yang mati --dalam pelarian tersebut-- di tangan pemimpin kolonial, Van Tracht (Reinout Bussemaker).
Bertahun-tahun kemudian, bersama Arana, Jamar dan Suwo kembali ke Pulau Jawa untuk membalaskan dendam atas kematian ayah mereka. Di sana, segala drama dan aksi dimulai, dikemas dengan berbagai unsur kisah koboi klasik yang dibalut kearifan lokal.
Lengkap sebagai film western
Buffalo Boys menyajikan berbagai unsur yang dibutuhkan sebuah film bergenre western. Dari segi Tema misalnya. Sebagaimana film western kebanyakan yang hampir pasti mengangkat tema perbudakan dan dominasi segelintir penguasa atas kehidupan orang-orang lemah, Buffalo Boys mengangkat masa penjajahan Belanda untuk menggambarkan tema tersebut.
Sebagai Konflik, Buffalo Boys menyajikan perlawanan segelintir pribumi Jawa yang mencoba melawan kekuasaan Van Tracht dan barisan pengikutnya. Seperti Django Unchained (2012) yang mengangkat kondisi perbudakan di Amerika pada abad pertengahan. Dalam Django Unchained, sutradara keren Quentin Tarantino menghadirkan tokoh Django Freeman (Jamie Fox) yang bergerak melawan kondisi tersebut.
Enggak cuma itu. Kedatangan Jamar, Suwo, dan Arana pun memperkuat karakter western yang dibawa Buffalo Boys. Ya, seperti film western lain yang ceritanya banyak berkisah tentang perebutan wilayah teritori oleh sekelompok pendatang yang mengatasnamakan keadilan dan kehormatan suatu kelompok, Jamar, Suwo, dan Arana dalam Buffalo Boys dikisahkan sebagai tokoh yang berusaha mengembalikan keadilan di tanah Jawa.
Baca Juga : Buffalo Boys dan Keberlanjutan Film Western Lokal
Dari segi Latar, Mike Wiluan yang juga berperan sebagai sutradara berhasil membangun Infinite Framework Studio (IFW) miliknya --sebuah studio film besar yang banyak digunakan oleh sineas internasional-- di Batam menjadi sebuah dunia baru yang sangat unik. Tanah Jawa di dalam Buffalo Boys menjadi tempat yang penuh fantasi.
Sawah, hutan, rumah-rumah kayu berjerami, pasar yang dipenuhi dagangan antik yang dijadikan satu dengan latar gurun sabana serta toko-toko bergaya klasik, hingga saloon --sejenis bar tempat di mana orang biasa menghabiskan waktu dengan mabuk-mabukan-- khas american old west ala High Noon (1959) yang memunculkan citra kuat sebagai sebuah film western dengan nilai plus kearifan lokal.
Yang enggak kalah penting, Nilai yang ditanamkan dalam Buffalo Boys juga sangat khas dengan unsur western: sederhana namun kuat. Soal Jamar dan Suwo yang menemukan makna kehadiran mereka untuk menyelamatkan masyarakat pribumi dan menegakkan keadilan di wilayah kekuasaan Van Tracht, misalnya.
Iya, mulanya, Jamar dan Suwo kembali ke Jawa untuk membalaskan dendam ayah mereka. Namun, pertemuan mereka dengan warga desa --termasuk Kiona (Pevita Pearce) dan Sri (Mikha Tambayong)-- yang menderita di bawah kekuasaan Van Tracht membawa mereka pada alasan lain yang jauh lebih penting dari sekadar pembalasan dendam.
Ya, seperti yang dikatakan Seruni (Happy Salma), istri Arana yang bertahun-tahun mengabdi sebagai budak peliharaan Van Tracht: Balas dendam mungkin adalah hak, tapi pengampunan akan membuat batin lebih kuat.
Eksekusi tak sempurna
Buat kami, ada syarat penting yang harus ditanamkan di kepala para penonton untuk bisa menikmati Buffalo Boys sebagai sebuah film utuh, yakni mengingat narasi awal yang dituturkan dalam film, bahwa Buffalo Boys adalah sebuah dongeng yang bercampur dengan kenyataan.
Artinya, meski mengangkat masa penjajahan sebagai benang merah cerita, Buffalo Boys jelas adalah sebuah film fiksi. Jadi, jangan coba-coba mempermasalahkan akurasi sejarah dari film ini, yang meskipun barangkali bisa saja diangkat sebagai kekurangan dari film ini.
Atau, jika akurasi sejarah enggak bisa diangkat sebagai kekurangan, barangkali kita bisa memperkarakan logika naskah yang dalam beberapa adegan rasanya masih janggal. Adegan ketika Jamar, Suwo, Arana, dan Seruni dikepung di sebuah rumah kayu kecil misalnya.
Dalam adegan itu, Van Tracht dan pengikutnya telah mengepung mereka. Namun, Jamar dan Suwo malah dengan gampangnya kabur dari rumah yang dikepung, meninggalkan Arana dan Seruni yang mati terbakar di dalam rumah. Dalam hal ini, eksekusi naskah terasa masih sangat lemah. Padahal, seperti yang dikatakan Jamar dalam dialog bahasa Indonesia yang sangat kaku: Kita telah dikepung.
Baca Juga : Merenungi Rutinitas Kerja dan Tujuan Hidup Lewat Happiness
Nah, perkara bahasa itu pun dapat jadi celah kritik dalam penggarapan Buffalo Boys. Bahasa Indonesia yang tertutur dari mulut para pemain terasa seperti terjemahan karena terkesan sangat kaku. Memang, Jamar dan Suwo adalah orang yang lama tinggal di California. Barangkali itu alasannya. Tapi, nyatanya, hampir semua karakter dalam film ini menuturkan bahasa Indonesia yang kaku, termasuk para penduduk pribumi Jawa itu sendiri.
Atau, mengingat masyarakat ketika itu hidup di bawah penjajahan hingga mereka asing dengan bahasa sendiri? Bisa saja. Tapi, nyatanya para penjajah Belanda dalam Buffalo Boys bertutur dengan bahasa Inggris, bukan bahasa Belanda. Jadi, entah apa alasan dialog Buffalo Boys dijahit dengan kalimat-kalimat dan penuturan yang kaku dan mirip terjemahan itu.
Di luar semuanya, Buffalo Boys adalah sebuah tontonan yang sangat eksperimental dan menghibur. Di luar genre western yang diusung, terobosan yang ditampilkan di layar bioskop sungguh merupakan terobosan menjanjikan. Coba saja, alih-alih menjadikan kuda sebagai kendaraan, Buffalo Boys membuat dua koboinya menunggangi kerbau.