Jakarta Vs Hujan yang Tak Selalu Dirindukan
Hujan hadir dalam bait lagu yang meninabobokan bocah di dalam kamarnya. Para penyair pun mengaitkan hujan dengan hal-hal indah, entah itu kenangan manis atau aroma tanah. Namun, jika kita bertanya kepada para pekerja di Jakarta, maka tak ada yang lebih mengecewakan daripada hujan.
ERA.id - Luluk sedang hamil dua bulan, trimester awal yang mendebarkan. Kamis (6/10) selepas Magrib, ia menunggu sang suami menjemputnya di musala. Tak jauh dari halte TransJakarta Cawang, Jakarta Timur. Sialnya hingga jarum jam di tangan bergerak ke angka delapan, sang suami tak kunjung tiba.
Di tengah karut, Luluk teringat pesan rekan kantornya sebelum pamit pulang, "Bilangin suamimu minta buka kamar hotel aja. Di mana-mana banjir, jalanan macet." Benar saja, suaminya baru tiba di Cawang nyaris pukul sepuluh. Waktu yang panjang untuk berleha-leha di rumah, menikmati secangkir cokelat panas dan menamatkan serial di Netflix.
"Kejebak macet, enggak bergerak sama-sekali," lapor suaminya.
Dari Cawang mereka berdua baru tiba di rumah hampir tengah malam. Biasanya hanya butuh waktu kurang dari setengah jam untuk sampai ke Cibubur. Namun, siapa mengira malam itu bakal banyak ruas jalan di Jakarta dialihkan karena terendam banjir.
Di tempat lain, masih di hari yang sama, Firman misuh-misuh di akun TikToknya @wangsitfirmantika. Saat itu, ia sedang dalam perjalanan dari Dharmawangsa menuju Perempatan Tendean. Jaraknya hanya sekitar 5 kilometer, tetapi sialnya ia harus duduk mematung di dalam taksi hampir tiga jam. Durasi yang cukup untuk menempuh perjalanan Jakarta-Bandung.
Selain karena durasi tempuh yang tak lagi masuk akal, argo Taksi yang terus merangkak naik itu pun bikin Firman semakin tak betah: Rp200.000 untuk jarak sekitar 5 kilometer. Walhasil, ia memutuskan turun dan berjalan kaki ke hotel terdekat untuk menginap.
Rasa-rasanya lagu Maestro Betawi Benyamin Sueb akan terus relevan, meski sudah berusia lebih dari 50 tahun sejak pertama kali dinyanyikan: Jakarta kebanjiran, di Bogor angin ngamuk.
Tahun 1982, ketika air menggenangi Gambir hingga Pasar Minggu, harian Siang Po melaporkan orang-orang yang tinggal di daerah rendah kaget karena rumahnya terendam banjir. "Yang girang adalah bocah-bocah yang pating lelompatan di air banjir dan main getek-getekan," tulis harian Siang Po.
Bermain hujan seyogianya menjadi kemewahan yang tak dimiliki orang dewasa. Ia hanya dimiliki mereka yang perlahan bertransformasi menjadi akil balig. Namun, tidak bagi para pelajar di Madrasah Tsanawiyah Negeri 19 Jakarta. Mereka kehilangan 'kemewahan' sejak Kamis lalu.
Anak-anak madrasah itu terjebak hujan deras di sekolahnya. Air yang mulai naik memaksa sebagian dari mereka pergi ke lantai dua sekolah. Sementara itu, delapan siswa lainnya bermain-main di sekitar tembok kokoh bertuliskan MTsN 19 Jakarta yang telah berdiri sejak 20 tahun lalu.
Hingga pada pukul setengah tiga sore, tepat sebelum masuk waktu Asar, tembok kokoh itu pun roboh dilahap derasnya banjir. Suara yang semula riang gembira seketika digantikan tangis dan teriak histeris. Tiga siswa kemudian dinyatakan meninggal dunia dalam peristiwa sore itu.
Banyak yang bilang Jakarta adalah kota yang dikutuk dengan banjir. Kota ini sudah langganan banjir selama ratusan tahun, seperti ditulis dalam buku Sejarah Kota Jakarta 1950-1980. Berbagai siasat sudah dijalankan sejak zaman kolonial Belanda, mulai dari pembuatan pintu air, saluran-saluran air, kanal banjir, normalisasi sungai, naturalisasi sungai, hingga sumur-sumur resapan.
Tanah Jakarta terus turun setiap tahun sebagai ganti dari gedung-gedung beton yang terus dibangun dan air tanah yang terus disedot tanpa ampun. Makin lama, bukan hanya tanahnya yang turun, tapi juga kualitas hidup orang-orang Jakarta ikut merosot.
Sialnya lagi, Jakarta masih jadi market yang bagus bagi para politikus. Terlebih bagi mereka yang punya niatan melenggang ke Istana Negara. Salah satu dagangan paling laris manis saat kontestasi politik adalah soal banjir.
Jokowi misalnya, pernah bilang akan lebih mudah mengatasi banjir Jakarta jika jadi presiden. Ia bilang begitu saat masih menjabat gubernur DKI dan menjelang pemilihan presiden 2014. Sementara itu, Anies Baswedan juga memanfaatkan banjir sebagai janji kampanyenya saat nyalon jadi gubernur hingga kini memutuskan maju sebagai Capres 2024.