Sebuah Ide Reality Show 'Gila' untuk Perbaiki Citra Polisi

ERA.id - Makin ke sini, slogan "polisi sahabat masyarakat" terdengar makin ke sana alias sumbang. Netizen sudah gerah dengan kelakuan polisi, sampai-sampai membuat slogan tandingan: 1 hari 1 oknum-- merujuk ke banyaknya berita berseliweran tentang "oknum" polisi yang melanggar hukum. Maka, wajar saja jika Presiden Jokowi mewanti-wanti polisi untuk memperbaiki citranya.

Sudah jadi rahasia umum ketika masyarakat didatangi polisi mereka akan lebih merasa khawatir ketimbang aman. Contoh paling familiar adalah pengendara motor yang selalu was-was dan deg-degan ketika melihat polisi di simpang jalan. 

Akhirnya, stereotip yang menyebar bukan polisi datang menyelesaikan masalah, tapi polisi datang menambah masalah. Sungguh sangat disayangkan, mengingat kepolisian adalah lembaga penegak hukum tempat masyarakat bersandar dan mengadu ketika tertimpa masalah seperti kehilangan motor di parkiran.

Ini bukan sekadar tudingan, tetapi merujuk pada pernyataan Jokowi yang mengaku mendapat laporan mengenai tindakan oknum anggota Polri yang mencari-cari kesalahan hingga masalah gaya hidup mewah para pejabat Polri.

Hal itu disampaikan Jokowi dalam arahannya kepada jajaran Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), di Istana Negara, Jakarta, Jumat (14/10).

"Pendekatan-pendekatan yang represif jauhi. Mencari-cari kesalahan, ini nomor yang ketiga itu 19,2 persen. Dan yang keempat hidup mewah yang tadi sudah saya sampaikan," kata Presiden Jokowi, dalam rekaman video Youtube Sekretariat Presiden yang disaksikan, di Jakarta, Sabtu (15/1/2022).

Stereotip negatif begini semakin tajam justru ketika muncul reality show yang mengangkat aktivitas polisi sehari-hari, mulai dari menilang, sweeping, hingga inspeksi pasangan mesum di hotel-hotel melati. 

Sebenarnya, polisi ingin membangun citra baik dan dekat dengan masyarakat lewat reality show bertajuk 86 yang tayang sejak 2014. Namun, alih-alih begitu, program tadi malah memberi kesan bahwa polisi selalu benar, dan sebaliknya, masyarakat selalu salah.

Program itu harusnya sudah kiamat sejak bintangnya, Kompol Yuni Purwanti, Kasat Narkoba Polres Bogor, ditangkap basah bersama sebelas anak buahnya karena pakai sabu pada 2021 lalu. Penonton geleng-geleng kepala, bisa-bisanya polisi yang getol usut kasus narkoba ternyata seorang pemakai juga.

Kompol Yuni bukan yang pertama dan terakhir. Jumat (14/10) kemarin, Irjen Teddy Minahasa yang baru diangkat jadi Kapolda Jawa Timur ditetapkan sebagai tersangka jual beli sabu. Padahal, saat masih menjabat sebagai Kapolres Bukittinggi, Teddy sempat membongkar kasus narkoba terbesar di Sumatera Barat. 

Polres Bukittinggi dapat tangkapan besar dan menyita lebih dari 41 kg sabu. Dan sebelum barang bukti dimusnahkan, Teddy menukar lima kilogram sabu dengan tawas, kristal garam yang biasa dipakai buat pengganti deodoran, cerdik sekali. Sayangnya, belum habis dagangannya laku, bisnis haram Teddy keburu terbongkar.

Kasus demi kasus menambah panjang daftar "1 hari 1 oknum" yang dibuat netizen. Dan reality show seperti 86 tak banyak membantu memoles citra polisi yang terlanjur jeblok. Perlu ada pendekatan lain dan strategi baru, agar polisi kembali ke slogan mereka "polisi sahabat masyarakat", agar masyarakat kembali percaya ke polisi.

Saran ini boleh diikuti, boleh juga hanya didengar, tapi baiknya diistikharahi dulu, siapa tahu mujarab. Sepertinya, polisi butuh reality show yang menabrak pakem yang sudah-sudah. Yang harus mereka siapkan hanya muka setebal tembok untuk menahan malu. 

Jika polisi ingin merebut hati masyarakat, polisi butuh reality show dengan sudut pandang masyarakat. Kalau 86 menayangkan polisi yang menindak masyarakat yang melanggar hukum, mari ciptakan reality show yang menayangkan para polisi pelanggar hukum.

Misalnya, dalam satu episode penilangan lalu lintas, polisi bisa memakai kacamata pengendara yang merasa dipalak. Judul episodenya bisa begini: “Mau saya bantu?” Adegan mungkin dimulai dari sisi pengendara yang gugup saat ada razia dadakan. Kaca helmnya ia turunkan berharap kegugupannya tertutupi. Namun, pak polisi menyetopnya.

“Selamat siang, boleh lihat surat-suratnya?” tanya pak polisi sambil tersenyum. Ia menyadari STNK motor itu mati, lalu menuntun pengendara sedikit maju ke depan jauh dari pandangan orang-orang. “Mas mau ditilang, atau mau saya bantu?” tanya pak polisi.

“Dibantu gimana Pak?” tanya pengendara malang.

“Ya kalau ditilang ini bisa kena denda paling banyak Rp500 ribu,” pak polisi menerangkan. “Kalau mau saya bantu, Mas-nya bawa uang berapa sekarang?”

Sang pengendara masih tampak gugup, tapi ia menjawab, “Saya ditilang aja Pak. Kalau gak ditilang begini, saya bakal lupa terus buat bayar pajak motor.” 

Episode itu bisa ditutup dengan pesan-pesan anti korupsi dari polisi. Coba pakai narasi begini:

"Jika ada oknum kami yang korup, kalian jangan. Polisi sahabat masyarakat."

Teruntuk para polisi yang membaca, jangan buru-buru marah dan menilai ini ide gila. Justru ide ini terinspirasi pasca kasus Ferdy Sambo. Jenderal bintang dua itu membunuh ajudannya dan sempat merekayasa kematian sang ajudan, sebelum akhirnya ditetapkan sebagai tersangka dan disidang sejak hari ini, Senin (17/10/2022).

Setelah pengumuman tersangka, Menko Polhukam Mahfud MD bilang pada Kamis (1/9), "Saat belum diumumkan tersangkanya itu kepercayaan publik berdasarkan survei internal Polri sendiri turun dari 81 persen jadi 28 persen. Begitu Sambo diumumkan (tersangka), besoknya naik sentimen positif (publik ke institusi Polri) menjadi 78 persen."

Berkaca dari sana, kepercayaan publik justru meningkat bukan karena strategi polisi menjaga nama baik, tapi dari bagaimana mereka mengakui kesalahan dan menegakkan hukum ke anggota-anggotanya. Bukankah pasca Tragedi Kanjuruhan kemarin masyarakat justru agak tersentuh ketika Polresta Malang Kota ramai-ramai bersujud memohon maaf?