Labuan Bajo, era.id - Kebakaran melanda Gili Lawa Darat di Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur (NTT). Dalam waktu sekitar delapan jam, sepuluh hektare padang savana di kawasan itu terbakar. Menurut Balai Taman Nasional Komodo, pihaknya akan melakukan pemulihan kawasan tersebut secara alami.
Iya, pemulihan alami. Artinya, enggak akan ada yang dilakukan untuk memulihkan kondisi Gili Lawa Darat, kecuali membiarkan proses semesta meregenerasi setiap unsur alam yang tumbuh dan hidup di atas Gili Lawa Darat. Lalu, butuh waktu berapa lama untuk Gili Lawa Darat mengembalikan keindahannya?
Pagi tadi, kami mewawancarai Direktur Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) NTT, Umbu Wulang T Paranggi. Kata dia, dengan berbagai kondisi alam yang diperkirakan terjadi sepanjang tahun, butuh waktu seenggaknya satu tahun untuk memulihkan seluruh kondisi Gili Lawa Darat. Terasa seperti penantian panjang untuk sebuah kebrengsekan yang dilakukan orang enggak berotak, bukan?
Menunggu satu tahun untuk bencana yang terjadi selama delapan jam. Iya, kabarnya, Gili Lawa Darat ini hangus dalam waktu delapan jam, lho! Seenggaknya, begitu laporan Kepala Balai Taman Nasional Komodo, Budhy Kurniawan, Jumat (3/8/2018). Menurut Buddy, laporan soal kebakaran pertama kali ia dapat dari seorang pemandu wisata sekitar pukul 19.00 WITA.
Pada pukul 23.00 WITA, tim yang diturunkan Balai Taman Nasional Komodo, Tim Loh Sebita dan Tim Padar sampai di lokasi dan langsung melakukan upaya pemadaman. Api pun baru bisa dijinakkan dini hari sekitar pukul 03.00 WITA, empat jam setelah tim sampai di lokasi. "Akhirnya kami kirim tim Loh Sebita dan Padar ke sana. Kami nyampe di sana sekitar pukul 23:00 WITA dan api baru bisa dipadamkan pukul 03:00 WITA keesokan harinya," tutur Buddy.
Kembali pada pemulihan Gili Lawa Darat. Umbu Wulang bilang, perkiraan waktu satu tahun pemulihan itu bisa lebih lama jika curah hujan enggak terjadi dalam siklus dan intensitas yang normal. Selain itu, sejatinya membiarkan pemulihan alamiah tanpa upaya perlindungan adalah bentuk kesia-siaan semata.
Karena itu, Umbu Wulang mendorong pemerintah dan seluruh otoritas terkait untuk melakukan upaya perlindungan kawasan savana Gili Lawa Darat. Untuk mengawal proses pemulihan seenggaknya. Umbu Wulang khawatir, kebakaran bisa saja terjadi lagi mengingat musim kemarau masih berlangsung.
Belum lagi jika ada upaya pembakaran yang disengaja. "Kalau suatu saat dibakar lagi, bagaimana? Kalau hanya membiarkan, tidak perlu campur tangan pemerintah, rakyat juga bisa membiarkan untuk tumbuh lagi. Tapi, savana berpotensi terbakar lagi," kata Umbu Wulang saat dihubungi.
Saya lumayan terkejut ketika Umbu Wulang menyebut adanya dugaan upaya pembakaran lahan yang disengaja dalam bencana ini. Umbu Wulang bahkan mengaku ragu dengan dugaan yang menyebut bahwa kebakaran terjadi akibat kecerobohan seorang turis, wisatawan, si tolol pecandu jalan-jalan, atau apalah sebutannya.
Yang jelas, Umbu Wulang sih enggak mungkin asal sebut. Menurutnya, WALHI beberapa kali menemukan kasus pembakaran yang disengaja di sejumlah kawasan savana lain di NTT. Tujuan pembakaran bisa bermacam-macam, mulai dari penangkapan burung ilegal, hingga kepentingan investasi.
"Perdagangan burung NTT savana. Soalnya sering kita tangkap mafia burung beberapa waktu belakangan. Membakar merupakan cara mereka memudahkan untuk menangkapnya, dengan dijaringin di atas padang (savana)," tutur Umbu Wulang.
Nah, soal dugaan skenario investasi, Umbu Wulang menjelaskan, Gili Lawa Darat adalah kawasan incaran banyak investor. Membakar lahan bisa saja dilakukan sebagai dalih untuk mempercepat alihfungsi lahan. "Bisa saja itu sengaja diskenariokan agar lahan itu tidak bisa terpakai dan nantinya akan ada investasi di situ," tutur Umbu Wulang.
Terkait dugaan-dugaan di atas, belum ada tanggapan dari otoritas terkait, termasuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang hingga berita ini ditulis masih sangat sulit dihubungi.
Yang jelas, sejauh ini otoritas masih melakukan penyelidikan untuk mencari tahu penyebab pasti kebakaran Gili Lawa Darat. Menurut Buddy sih, Polres Manggarai Barat telah memeriksa sejumlah pihak, mulai dari pemandu wisata hingga rombongan wisatawannya yang diduga menjadi pengunjung terakhir di Gili Lawa Darat.
"Yang diperiksa ada guide, rombongan (pengunjung) terakhir ... Mereka semuanya berasal dari Indonesia. Ada juga pemilik kapal. Totalnya, yang diperiksa ada sekitar sebelas orang," tutur Buddy.
Belum dipastikan memang apa penyebab sesungguhnya kebakaran Gili Lawa Darat. Sejauh ini, kabar yang beredar menyebut ada dua dugaan penyebab kebakaran. Pertama, api diduga berasal dari puntung rokok yang dibuang sembarang di kawasan savana. Kedua, kabarnya kebakaran terjadi akibat kembang api yang digunakan seorang fotografer dalam sebuah pemotretan pre-wedding.
Melindungi Gili Lawa Darat
Menyambung bahasan soal proses pemulihan Gili Lawa Darat, WALHI meminta seluruh otoritas terkait untuk merancang payung hukum perlindungan kawasan savana, di mana pun, enggak cuma di Gili Lawa Darat. Memang, sejauh ini, hutan savana masih luput dari perlindungan Undang-Undang (UU) yang berlaku.
Dianggap gersang. Menurut WALHI, itulah alasan kenapa pemerintah enggak terlalu memerhatikan savana. Buat pemerintah, savana masih dipandang sebatas kemeriahan atau estetika pariwisata semata. "Di Indonesia, enggak ada UU perlindungan savana. Yang ada di perlindungan UU LH kan karst, gambut, karena savana dianggap gersang," kata Umbu Wulang.
Keindahan Gili Lawa sebelum terbakar (Sumber: journeyera.com)
Nah, dengan cara pandang yang seperti itu, WALHI khawatir nantinya pemulihan savana di Gili Lawa Darat bakal dilakukan secara keliru. Maksudnya keliru adalah jangan-jangan, nanti ekosistem savana di Gili Lawa Darat diganti dengan ekosistem lain yang dianggap lebih hijau, lebih menghasilkan, dan mampu memberi dampak ekonomis secara langsung.
"Ekosistem savana itu ekosistem yang khas, berbeda dengan ekosistem steva yang banyak pepohonan hijaunya. Dia memang hutan, tapi padang rumput. Kita mengharapkan ekosistemnya enggak diubah," tutur Umbu Wulang.
Baiklah, sekarang kita jalankan tugas masing-masing. Untuk penegak hukum, segeralah cari para pelaku, tangkap, dan adili. Untuk pemerintah, baik eksekutif dan legislatif, segeralah buat kebijakan dan payung hukum perlindungan savana dan berbagai potensi alam lain. Dan buat kita, masyarakat luas, tugas kita satu: jangan tolol!