Jalan Damai Filep Karma: Dari Penjara Bermuara di Pantai Base-G Jayapura
"Kami ingin terlibat dalam dialog yang bermartabat dengan pemerintah Indonesia, dialog antara dua orang bermartabat, dan bermartabat berarti tidak menggunakan kekerasan," ucap Karma.
ERA.id - Filep Karma membayangkan, bila suatu saat nanti Papua merdeka, ia tak ingin namanya berada dalam daftar sejarah perjuangan kemerdekaan Papua. Ia bukan pria yang gila nama dan jabatan. Ia takut keturunannya nanti malah memanfaatkan nama besar bapaknya.
Mungkin tak banyak orang Indonesia yang pernah dengar nama Filep Karma, tetapi, bagi banyak orang Papua, Karma ibarat Santo, orang suci. Lelaki berjanggut lebat itu ditemukan meninggal dunia dengan pakaian selam di Pantai Base-G, Jayapura, Selasa (1/11) pagi.
Beberapa tahun belakangan nama Filep Karma memang redup. Wajar saja, ia divonis penjara 15 tahun sejak 2005, dan baru dibebaskan setelah menjalani 11 tahun masa tahanan pada 19 November 2015. Siapa yang akan memedulikan namanya ketika 11 tahun terasing dari dunia luar?
Sejatinya, ia bisa saja bebas jauh lebih awal, tetapi Karma menolak semua remisi yang diberikan pemerintah Indonesia. Baginya, menerima itu sama dengan mengakui kesalahan yang tak pernah ia lakukan.
Pria ramah senyum bernama lengkap Filep Jacob Semuel Karma ini lebih dikenal sebagai aktivis kemerdekaan Papua. Andai ia masih hidup, tak akan sulit untuk mengenalinya di Papua, cari saja pria tua berjenggot lebat seperti Karl Marx, berkacamata dan berbaju PNS, dengan bendera Bintang Kejora kecil di dadanya, itulah Karma.
Bukan tanpa sebab Karma selalu mengenakan seragam PNS, pria kelahiran Biak, 14 Agustus 1959 itu memang pernah jadi PNS dari tahun 1987. Bapaknya, Andreas Karma, malahan pernah menjabat jadi bupati Wamena hingga Serui.
Berkat kerjanya jadi PNS pula, Karma mendapat beasiswa ke Manila pada 1997. Ia lama tinggal di Papua, pernah juga kuliah di Solo, tetapi baru di Manila Karma merasa diperlakukan sebagai seorang manusia. "Dalam istilah Jawa diwongke atau dimanusiakan," kenang Karma dalam buku Seakan Kitorang Setengah Binatang.
Semasa kuliah di Jawa, Karma merasa dianggap setengah binatang, perwujudan hakiki dari teori evolusi Darwin. Karma dan saudara-saudara Papua-nya yang lain sering dikata-katai ketek alias monyet.
Bersekolah di Manila membuka mata Karma tentang kemanusiaan dan kebebasan, dua hal yang selama ini jarang ia dapati. Dari sana juga Karma belajar, perjuangan untuk meraih kemerdekaan tak harus jadi OPM dengan masuk hutan dan bersenjata. Itulah jalan yang akhirnya ia tempuh, jalan damai.
"Kami ingin terlibat dalam dialog yang bermartabat dengan pemerintah Indonesia, dialog antara dua orang bermartabat, dan bermartabat berarti tidak menggunakan kekerasan," ucap Karma menjelaskan jalan damai yang ia perjuangkan.
Dalam ajaran Kristiani, Yesus pernah berpesan kepada murid-muridnya agar tidak membalas kejahatan dengan kejahatan. Yesus membuat perumpamaan, "Jika seseorang menampar pipi kananmu, berikan juga yang kiri."
Karma meniti jalan yang sama dengan yang diajarkan Yesus. Meski ia tak pernah menyarankan kekerasan, bukan berarti ia tak pernah mengalaminya sama sekali. Saat peristiwa Biak Berdarah 1998, Karma nyaris tamat setelah sebutir timah panas menyerempet pipinya, yang ia duga berasal dari penembak jitu.
Kepala Karma juga ditendang lebih dari sepuluh kali, beberapa giginya patah, dan kedua kakinya ditembak peluru karet. Ia pingsan setelah kepalanya dipopor gagang senjata. Ia lantas dipenjara hampir dua tahun atas tuduhan makar.
Karma kembali jadi tahanan politik pada 2005 dan dijebloskan ke penjara Abepura, di sebuah bukit Port Numbay. Sebabnya karena ia mengibarkan bendera Bintang Kejora pada 1 Desember 2004 untuk memperingati deklarasi kemerdekaan Papua.
Pada 2009, harian Bintang Papua mengekspos foto Karma berbaring telanjang dada dengan kedua kaki diangkat ke tembok, dikelilingi tumpukan kardus dan selembaran koran. Saluran kencing Karma sakit dan kepala sipir penjara waktu itu, Ayorbaba, tak mengizinkan ia berobat keluar. Perawat klinik penjara hanya menyuruh Filep banyak minum air dan mengangkat kaki ke atas sambil tiduran. Pengobatan yang sia-sia.
Setelah foto Karma tersebar, barulah Ayorbaba mengirimnya ke rumah sakit Dok Dua, Port Numbay. Dokter menyarankan agar Karma dioperasi di Jakarta, tetapi ia baru bisa berangkat ke sana setelah kepala sipir diganti. Dalam kondisi kesakitan, Karma sempat menolak untuk ke Jakarta. Ia tak mau pergi jika teman satu penjaranya yang sakit, Ferdinand Pakage, tak ikut diobati.
Kita boleh tidak setuju dengan perjuangan Karma, tetapi kita mestinya sama-sama sepakat Karma adalah pejuang kemanusiaan. Keinginannya sesederhana orang-orang Papua tak lagi dipandang setengah binatang. Sejak ia menyadari arti kebebasan yang sesungguhnya, Karma berikrar tak akan memangkas jenggot dan cambangnya selagi Papua masih belum berdaulat.
Karma memang sudah bebas dari penjara sejak tujuh tahun lalu, tetapi ketika ia ditemukan tergeletak mati di atas pasir pantai kemarin, jenggot dan cambangnya masih lebat. Putri bungsunya sendiri, Andrefina yang mengumumkan kematian sang bapak.
Ketika masih SMA, kakak Andrefina, Audryne, pernah bertanya ke Karma mengapa bapaknya lebih memperhatikan orang-orang Papua lain ketimbang kedua anaknya. Karma hanya bisa meminta maaf. Ia lalu bercerita, “Ketika saya memikirkan orang banyak di Papua, mereka berdua selalu ada di dalamnya.”
Selamat jalan Pace.