Lemahnya Koalisi Prabowo Subianto
Bahkan, Demokrat mengancam akan angkat kaki dari koalisi ini. Sebab, Prabowo dinilai tak konsisten ketika memutuskan Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno menjadi pendampingnya di Pilpres 2019.
Pengamat Politik Universitas Al-Azhar menilai koalisi ini sangatlah rapuh. Meskipun, katanya, memang tak ada koalisi yang kokoh dan permanen.
Baca juga: 'Jenderal Kardus' dan Kardus Terbaru dari Markobar
Baca juga: Setajir Apa Sandiaga Uno?
"Semua pasti ada harganya. Koalisi tidak ada yang kokoh. Semua akan dibalut kepentingan. Bisa saja terjadi (koalisi bubar dan partai politik yang kecewa membentuk poros ketiga). Namun tipis (peluang terbentuknya poros ketiga)," katanya kepada era.id, di Jakarta, Kamis (9/8/2018).
Prabowo kerap menjalin komunikasi dengan PKS, PAN dan Partai Demokrat. Ujang menilai, sikap Prabowo ini bisa membuat Partai Demokrat kecewa dan memilih pergi untuk membentuk poros baru. Sehingga, koalisi pendukung Prabowo berpeluang kecil untuk menang.
"Kecil (peluangnya). Karena persyaratannya besar harus 20 persen. Jika pun ada dan terbentuk. Sulit menang. Dan hanya menjadi pemecah gelombang persaingan antara Jokowi dan Prabowo," terangnya.
"Dan jika pun terbentuk. Lebih karena sakit hati karena kadernya tidak jadi cawapres," tutupnya.
Sebelum, koalisi pendukung Prabowo sempat panas. Sebab, munculnya nama Sandiaga Uno yang disebut jadi cawapres Prabowo. Padahal, sebelumnya, koalisi pendukung Prabowo ini menimbang tiga nama untuk jadi cawapres. Mereka adalah Ustaz Abdul Somad (ulama), Salim Segaf Al Jufri (PKS), dan Agus Harimurti Yudhoyono (Partai Demokrat).
Nama Sandiaga muncul jadi cawapres Prabowo dari kicauan politikus Partai Demokrat Andi Arief di Twitter. Dia bahkan menjuluki Prabowo sebagai 'Jenderal Kardus' karena menerima Sandiaga sebagai cawapres setelah 'membeli' PKS dan PAN, masing-masing Rp500 miliar.