Salah Paham soal Privatisasi Taman Nasional Komodo

Jakarta, era.id - Rencana pembangunan penginapan dan restoran di sejumlah kawasan di , Nusa Tenggara Timur (NTT) mendapat penolakan dari berbagai golongan masyarakat. Senin (6/8), demonstrasi dilakukan di sejumlah titik di Kabupaten Mabar, mulai dari Gedung DPRD hingga Kantor Bupati dan di Taman Nasional Komodo itu sendiri.

Para demonstran menilai proyek-proyek pembangunan itu sebagai privatisasi taman nasional. Makanya, dengan tegas mereka menolak. Tapi, klarifikasi kemudian disampaikan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Melalui Wiratno, Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, KLHK menyebut pandangan masyarakat sebagai kesalahpahaman.

Kata Wiratno, enggak ada yang namanya privatisasi di Taman Nasional Komodo. Kata Wiratno, yang ada itu adalah pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Sarana Wisata Alam (IUPSWA). Dalam IUPSWA, pemegang izin pemanfaatan sarana wisata alam memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga keberlangsungan taman nasional. Kalau ada pelanggaran, maka sanksi siap menghajar si pemegang izin.

“Dalam pengembangan wisata alam di taman nasional, tentu diperlukan bangunan sarana dan prasarana untuk mendukung kunjungan wisatawan, seperti toilet, tempat makan, dan lain-lain. Untuk itu, pengembangan pariwisata alam diperbolehkan, tapi hanya di zona pemanfaatan, dan harus melibatkan masyarakat sekitar”, tegas Wiratno saat memberikan keterangan pers di Jakarta (9/8). 

Taman Nasional Komodo merupakan salah satu taman nasional di NTT yang menjadi tempat dari satu-satunya hewan purba yang tersisa di dunia: komodo. Taman nasional seluas 173.300 hektare ini meliputi wilayah daratan dan perairan, dan dikelola berdasarkan zonasi: zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan, zona tradisional, zona khusus dan zona perlindungan bahari. 

Pada wilayah daratan, 70 persen merupakan ekosistem savana dan habitat Komodo. Dari 146 pulau terdapat delapan pulau terfavorit kunjungan wisatawan yaitu Pulau Padar, Pulau Komodo, Rinca, Pulau Gili Lawa Daratan, Pulau Gili Lawa Lautan, Pulau Kambing, Pulau Kalong, dan Pink Beach di Pulau Komodo. 

Pengunjung TNK saat ini mencapai 120 ribu orang per tahun atau sekitar sepuluh ribu orang per bulan, yang perlu mendapatkan keamanan, kenyamanan, dan kepuasan saat berwisata, yang perlu didukung sarana dan prasana (sarpras). "Kunjungan wisata tersebut berkontribusi menyumbang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar 29 miliar rupiah per tahun," kata Wiratno.

Pemanfaatan fasilitas wisata

Saat ini terdapat dua Izin Pengusahaan Pariwisata Alam (IPPA) di TNK yaitu PT. SKL di Pulau Rinca dan PT. KWE di Pulau Komodo dan Pulau Padar. PT. SKL diberikan IUPSWA di Pulau Rinca akhir 2015 lalu, seluas 22,1 hektare atau 0,1 persen dari luas Pulau Rinca 20.721,09 hektare. Sementara yang diizinkan untuk pembangunan sarpras maksimal sepuluh persen dari luas izin yang diberikan atau hanya seluas 2,21 hektare.

PT KWE mendapat IUPSWA di Pulau Komodo dan Pulau Padar pada September 2014, seluas 426,07 hektare, terdiri atas 274,13 hektare atau 19,6 persen dari luas Pulau Padar (1.400,4 hektare) dan 151,94 hektare atau 0,5 persen dari luas Pulau Komodo (32.169,2 hektare). Sarpras yang dapat dibangun sekitar 42,6 hektare. 

Terkait areal usaha, dikatakan Wiratno, kedua izin ini berada di ruang usaha pada Zona Pemanfaatan. Prosedur penerbitan izin kedua perusahaan tersebut juga sudah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 

Sebagaimana disyaratkan dalam aturan pembangunan dan pengembangan rencana pengelolaan tidak boleh mengganggu lintasan Komodo dan sarang Komodo. Ditambahkan Wiratno kedua perusahaan tersebut dalam hal pembangunan fisik seperti bangunan, sudah menggunakan konsep kearifan lokal dan ramah lingkungan baik dari segi material maupun tata cara pelaksanaannya. "Mereka menggunakan bahan bangunan material bambu dari bajawa, menggunakan solar panel dan konsep zero waste", ucap Wiratno.

"Pada saat ini kedua perusahaan tersebut masih dalam proses pembangunan konstruksi, dengan terus dimonitor oleh KLHK", pungkasnya.

Tag: hari lingkungan hidup