Mendekati Seabad Persija dan Sejarah yang Kita Lupakan

ERA.id - Senin (28/11) kemarin, Persija Jakarta merayakan ulang tahunnya yang ke-94 di Jakarta International Stadium (JIS), Jakarta Utara. “Sungguh usia yang lama dengan sejarah yang panjang,” kata pelatih Persija Thomas Doll dalam sambutannya. Lalu, apa yang masih kita ingat dari sejarah itu?

JIS adalah stadion megah dengan nama yang tak mengandung sejarah apa-apa. Sejarawan Asvi Warman pernah mengusulkan dalam surat pembaca di harian Kompas, ganti nama JIS jadi Soeratin, pendiri Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI). 

Namun, menurut sejarawan JJ Rizal, lebih tepat lagi jika JIS diganti dengan nama M.H. Thamrin. Tanpa Thamrin, menurut Rizal, PSSI sulit terwujud. PSSI sendiri berakar dari inisiatif Voetbalbond Indonesia Jacatra (VIJ) yang diayomi oleh Thamrin. Sayang jasanya sering terlupakan.

“Hanya Sukarno dan Tuhan yang tak lupa membalas jasanya,” tulis Rizal dalam Sepak Bola Kebangsaan M.H. Thamrin, Minggu (29/5). Sukarno lah yang mendesain makam Thamrin di Karet Bivak, mengabadikan namanya di ruas jalan Jakarta, memberikan gelar pahlawan nasional kepadanya, dan menghibahkan Stadion Menteng untuk Persija pada awal 1960-an, yang berhadapan langsung dengan Jl. M.H. Thamrin.

Kini, nama Thamrin lebih terkenal sebagai salah satu nama jalan di Jakarta ketimbang perannya membangun Persija dan sepak bola tanah air.

Sejarah Persija, sejarah perjuangan rakyat

Asal-usul Persija berawal dari Voetbal Bond Bumiputra (VBB) yang lahir tepat sebulan pasca Kongres Pemuda 28 Oktober 1928. Soeri, Sukardi, dan para elit VBB lalu mengubah nama perserikatan itu pada 30 Juni 1929 jadi VIJ. Mereka meninggalkan nama bumiputra yang merupakan eufemisme inlander, dan memilih nama Jakarta alih-alih Batavia yang identik dengan kota kulit putih.

Pergantian nama ini tak lain adalah pergerakan politik melawan kolonialisme Belanda. Karena pada masa penjajahan, sepak bola tak luput jadi alat penaklukan. Rakyat Indonesia dipisahkan dari orang-orang kulit putih karena dianggap tak sekelas dengan mereka.

Perserikatan sepak bola Belanda, Voetbalbond Batavia en Omstreken (VBO) menolak pribumi ikut kompetisi mereka. Di pintu masuk stadion mudah ditemukan peringatan berbunyi: Verboden voor Inlander en Honden (Pribumi dan anjing dilarang masuk). Maka, pada masa itu sepak bola menjadi bagian dari perjuangan rakyat Indonesia.

Puluhan tahun pemain VIJ memakai kostum sewarna bendera nasional Indonesia, hingga klub itu tersohor dengan sebutan “Si Merah Putih”. Sebelum ironisnya, mantan Gubernur Jakarta, Sutiyoso mengubah warna Persija jadi oranye menjelang kompetisi PSSI pada 1997, mengikuti warna timnas Belanda. Barulah pada 2015 Persija kembali memakai kostum merah-putih.

VIJ juga yang memotori lahirnya PSSI. Sebelumnya, perserikatan sepak bola nasional pertama berdiri di Surabaya pada 1927 dengan nama Indonesische Voetbal Bond (IVB). IVB dianggap terlalu cenderung kepada pemerintah kolonial Belanda, dan setelah tiga tahun berdiri, ia dianggap gagal mempersatukan sepak bola tanah air. 

VIJ lalu menginisiasi perserikatan nasional yang baru. Soeratin datang ke Jakarta dan menemui pengurus VIJ pada awal Maret 1930, lalu mengumumkan berdirinya PSSI pada 19 April 1930 di Societeit Hande Proyo, Yogyakarta.

Visi sepak bola Indonesia ala Thamrin dan harapan Persija di usia 94 tahun

Bagi Thamrin, visi sepak bola Indonesia adalah untuk melawan kolonialisme, dan lapangan bola bisa menjadi medan revitalisasi nasionalisme. Bahwa elit-elit politik di luar boleh ribut, tapi di lapangan bola, mereka berada di bawah naungan yang sama, yaitu bangsa Indonesia.

Saat ulang tahun VIJ yang kedua pada 1930, Thamrin mengumumkan pembelian lapangan VIJ di Cideng, Gambir dengan kocek 2.000 gulden. Selain untuk bermain bola, lapangan itu menjadi tempat penghubung pergerakan nasional. Ketika lapangan VIJ tak digunakan berkompetisi, jeda kosong itu diisi dengan pertandingan “Jago Tua”.

Jago Tua berisi tokoh-tokoh pergerakan nasional saat itu dan terdiri dari dua klub, “Si Kurus” yang dipimpin Otto Iskandar Di Nata, dan “Si Gemuk” di bawah Thamrin. Keduanya merupakan anggota Volksraad (Dewan Rakyat) yang aktif di perserikatan sepak bola masing-masing, Thamrin di Jakarta, dan Otto di Persib Bandung.

“Dari sini, ia membangun sepak bola modern Indonesia sebagai reaktor kebangsaan, sehingga Jakarta menjadi ibu kota sepak bola kebangsaan Indonesia,” tulis Rizal. “Inilah warisan Thamrin yang berharga dan khas, tapi terlupakan.”

Presiden Persija Mohamad Prapanca dalam sambutannya di hari ulang tahun Persija kemarin menyampaikan, "Sebanyak 11 gelar telah kami raih bersama-sama. Persija tak berhenti sampai di sini, perjalanan masih panjang, gairah masih membara, mimpi masih tinggi."

Empat dari sebelas gelar yang disampaikan Prapanca diraih Persija di Stadion VIJ, Cideng yang dibeli Thamrin pada 1930 dan menjadi markas pertama Persija. Di stadion itu Persija merebut empat gelar juara kompetisi perserikatan pada tahun 1931, 1933, 1934, dan 1938.

Diky Soemarno Ketua Umum the Jakmania juga mengutarakan harapannya. "94 tahun itu bukan lagi bicara prestasi tapi pencapaian. Pencapaian bukan hanya tentang piala, tapi apa yang telah diberikan ke masyarakat Jakarta dan Indonesia," ujarnya, Senin (28/11).

Dahulu sepak bola Indonesia menjadi counterculture kolonialisme dan mempersatukan rakyat, dan Persija sejak awal ikut terlibat. Pertanyaannya sekarang, apakah semangat yang sama masih membara di dalam stadion raksasa dengan nama yang tidak mengandung sejarah apa-apa?