Belajar dari Optimisme Lord Rangga yang Kita Tertawakan
ERA.id - Setelah Nicholas Saputra berhasil melambungkan nama Rangga lewat Ada Apa Dengan Cinta? mungkin hanya Edi Raharjo yang sukses memasyhurkan nama itu kembali lewat perannya sebagai Ki Ageng Rangga Sasana alias Lord Rangga. Hari ini, lelaki berusia 55 tahun itu mangkat dan kita akan diam-diam merindukannya.
Selama tiga tahun terakhir kita sudah cukup menertawakannya sebagai petinggi Sunda Empire. Kita menonton aksinya di layar handphone sambil berbisik dalam hati, "Ternyata masih ada yang lebih bodoh dari saya." Lalu mensyukuri hidup yang rasanya masih baik-baik saja.
Lord Rangga pernah bilang Sunda Empire mampu menyelamatkan dunia dan menghentikan perang nuklir. Wilayah Nusantara juga sejatinya membentang dari Australia hingga Korea. Dan pada Agustus 2020 tatanan pemerintahan dunia berakhir sehingga semua negara harus mendaftar ulang, entah untuk apa dan bagaimana caranya.
Atas segala pernyataan kontroversialnya itu, Lord Rangga ditasbihkan orang-orang menjadi badut nasional. Ia diundang ke mana-mana. Para penonton ketawa, para youtuber dapat adsense, Lord Rangga pulang bawa uang buat makan keluarganya, semua happy.
Sebagian menanggapi Lord Rangga dengan serius. Saking seriusnya dan dianggap meresahkan, ia sampai harus dipenjara. Pada Januari 2020, polisi menangkapnya di Tambun, Bekasi atas tuduhan menyebarkan berita bohong dan membuat keonaran.
Apa yang meresahkan dari seorang bapak-bapak yang tampil seolah-olah jadi ratu adil, sedangkan semua yang menontonnya paham ia sedang membual? Apakah ia bisa dikatakan berbohong jika kita yang mendengarkan sama sekali tidak percaya sejak awal?
Ibarat di tongkrongan, Lord Rangga ini bapak-bapak yang suka mendongeng petualangannya semasa muda yang tak masuk akal, semisal pernah memburu harimau pakai tangan kosong atau berteman dengan pangeran Belanda. Kita hanya tinggal menikmatinya sambil menyeruput kopi dalam-dalam.
Hingga Lord Rangga dinyatakan meninggal dunia, mungkin belum ada orang di Indonesia yang menandingi kepedeannya. Di tengah keminderan bangsa ini sebagai negara berkembang dan serba tertinggal jauh dari yang lain, Lord Rangga dengan lantang menunjuk Indonesia sebagai pusat dunia.
Kemunculan Lord Rangga layaknya penyeimbang dari narasi-narasi murung dan depresi tentang kehidupan berbangsa kita. Yang ia sampaikan mungkin bukan kebenaran, tapi itu jelas mengandung harapan. Indonesia yang kita anggap gagal, diubahnya menjadi tempat penting lahirnya sejarah dan masa depan dunia.
Lord Rangga mungkin berlebihan saat menyebut PBB dan Pentagon lahir di Bandung atau tatanan pemerintahan dunia sudah diambilalih Bandung setelah 75 tahun dipegang Vatikan, tapi terlepas dari itu, Bandung pernah jadi tempat Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Afrika yang melahirkan Gerakan Non-Blok di era Perang Dingin.
Lord Rangga sedikitnya mengingatkan kita bahwa negeri ini punya sejarahnya sendiri, yang meski tidak sebombastis bualannya, tapi toh masih bisa kita banggakan. Kalau kita yang memegang KTP Indonesia selalu minder dengan bangsa ini, siapa lagi yang mau membanggakannya?
Selain itu, dalam bualan Lord Rangga yang kita tertawakan, samar-samar kita juga bisa mendengar suara optimisnya: bayangan tentang masyarakat masa depan yang ideal. "Kalau Lord jadi presiden, Lord akan mengharamkan warganya miskin," ujarnya suatu kali. Ia mengaku tidak akan tinggal diam hingga perang hilang dan ancaman nuklir berakhir.
Ratusan tahun lalu, Thomas More menulis novel tentang orang-orang yang hidup di sebuah pulau di mana mereka berbagi budaya dan cara hidup yang sama, bebas dari perang dan kemiskinan. Novel itu diberi judul Utopia, dari frasa Yunani ou topos 'tidak ada tempat'. More dalam novelnya mengkhayalkan sebuah tempat yang tak ada di dunia.
Tatanan dunia baru tanpa nuklir dan perang yang disampaikan Lord Rangga dalam bualan-bualannya adalah utopia. Kita sama-sama memimpikannya, sekaligus percaya bahwa hal tersebut tak mungkin terjadi. Dan orang yang memimpikan masa depan macam itu tak mungkin rasanya bukan orang baik.
Lord Rangga kini sudah kehabisan waktu untuk bercerita. Tiada lagi dongeng-dongeng menghibur yang akan kita dengar dari bapak-bapak bertopi flat itu. Setelah kepergiannya, kita baru sadar lelaki yang pernah kita anggap tak waras itu ternyata lebih baik dari yang kita kira. Benar kata Coki Pardede, walau ia dibilang halu, tapi tak terhitung tawanya.