Menilik Jasa Sewa iPhone, Kebutuhan atau Sekadar Adu Gengsi?
ERA.id - Sepanjang ingatan kami, Apple adalah barang eksklusif yang sulit terjangkau. Seperti Harley-Davidson atau botol minum seharga jutaan rupiah berbahan baja tahan karat. Namun, ketika kami bertemu Jeffry Girianza, pemilik dan founder usaha jasa sewa gadget Byebeli Jumat lalu (2/12/2022), keyakinan kami roboh seketika.
“Waduh, sehari bisa berapa ya? Harusnya lebih dari 20,” jawab lelaki asli Tasikmalaya itu saat kami tanyakan berapa banyak iPhone yang disewa dalam sehari.
Ia mempersilakan ERA untuk menelusuri markasnya di Gedung Pos Ibukota dekat Pasar Baru, Jakarta Pusat. Tiga ruangan ia sewa untuk gudang dan studio. Belasan kotak iPhone berjejer di rak dan berbagai produk Apple terpampang di etalase.
Jumat sore itu dua pekerjanya yang berjilbab sedang siaran langsung dalam studio. Mereka memamerkan iPhone 14 Pro kepada para penonton di Instagram dan TikTok. “Ini lagi ada apa Mas?” tanya kami.
“Tiap Jumat sore ada lelang iPhone begini,” jawab Jeffry.
“Oh, ada yang dijual juga?”
“Bukan, itu buat disewain.”
“Jadi ini pelelangan buat sewa iPhone?” kami melongo, Jeffry mengiyakan sambil ketawa tipis. Ia menjelaskan produk Apple paling mutakhir banyak diincar pelanggannya. Animo yang tinggi begitu sekalian saja ia manfaatkan. “Kalau harga biasa, per hari mungkin 500 ribuan, kalau lelang begini bisa ditawar sampai sejuta,” ujarnya.
Kami lalu diantar masuk ke ruang meeting sambil disuguhi kopi dan roti yang ia beli dari toko di parkiran. Di sana kami mengobrol lebih dekat soal usaha sewa iPhone yang ia rintis sejak pandemi. Dan betapa kini iPhone bukan lagi barang eksklusif milik segelintir orang.
Untung besar berkat Iphone
Jeffry sempat tinggal di Bali selama bertahun-tahun sejak 2016. Ia yang dari awal memang hobi jalan-jalan dan menyelam lantas merintis usaha sewa kamera di sana. “Dulu masih Go Pro sama Fujifilm,” ujarnya. Lalu tahun 2020 tiba, pandemi menebar teror, orang-orang mengurung diri di rumah dan bisnisnya di ambang mati. Jeffry meninggalkan Bali.
Belasan kamera yang ia miliki menganggur di rumah menunggu rusak. “Wah waktu itu bisnis kita ini meluncur ke bawah lah, sedalam-dalamnya,” ujarnya mengenang saat itu. “Nah akhirnya kita mikir nih, kira-kira apa sih yang kita bisa bangkit lagi?”
Seperti Newton kejatuhan apel, Jeffry dapat ilham lewat produk Apple. “Orang-orang kan nggak ada yang traveling, jadi gimana caranya kita bisa bantu orang untuk working from home, entertaining at home, dan juga productivity at home,” ujarnya.
Untuk kebutuhan kerja dari rumah, Jeffry mulai berinvestasi di laptop. Sementara untuk kebutuhan hiburan dan bikin konten ia mulai menyewakan iPhone. Benar saja, sewa laptop miliknya laris manis, lebih-lebih iPhone. “Kenapa waktu itu laku iPhone, karena waktu pandemi kan bisnis-bisnis yang fisik jadi nggak laku lagi, akhirnya mereka go digital kan dan butuh foto produk.”
Jeffry mengakui bisnis sewa iPhone jauh lebih menguntungkan ketimbang sewa kameranya dulu. Bahkan sebagian kameranya ia jual untuk modal membeli produk Apple. Ia sampai bisa mempekerjakan lebih dari 20 orang dan membuka cabang di mana-mana. Bukan hanya di Jabodetabek, Byebeli kini tersebar di Bandung, Jogja, Surabaya, hingga Bali.
Pandemi turun, pelanggan sewa iPhone kian naik
Pandemi membuka pintu bisnis sewa iPhone bagi Jeffry. Dan setelah pandemi berakhir, bukan berarti pintunya ikut tertutup. Justru pelanggan Byebeli makin naik, apalagi ketika konser-konser digelar tatap muka kembali.
“Sekarang iPhone kita itu banyak disewa buat orang-orang nonton konser K-Pop,” ujar Jeffry. Bahkan untuk konser Black Pink yang baru akan tampil Maret 2023 nanti, ia mengaku semua stok iPhone sudah disewa penuh.
Meski ia tak hanya menyewakan produk Apple, hingga saat ini iPhone masih jadi primadona orang-orang untuk mendokumentasikan idolanya di atas panggung.
Selasa lalu (6/12/2022), kami menemui Ratna, seorang pelanggan Byebeli yang memakai jasa sewa iPhone di sana sejak enam bulan silam. “Kan aku suka ikut event-event gitu, jadi butuh kamera yang kualitasnya bagus terus simpel bawanya,” ucap perempuan yang aktif di sekolah teater itu.
Ratna mengaku jatuh hati dengan hasil potretan dari kamera iPhone yang ciamik. Meski begitu, ia merasa belum terlalu butuh untuk memilikinya. Karena itulah, sewa iPhone menjadi jalan keluar.
“Aku pernah ketemu sama orang yang memaksakan untuk kredit, dan karena itu juga jadi pelajaran buat aku,” ujarnya. “Daripada pusing setiap bulan spent hasil capek-capek aku untuk beli iPhone, jadi nggak usah menyusahkan diri sendiri deh.”
Alasan menyewa Iphone, mulai dari kebutuhan kerja hingga gaya hidup
Menjelang magrib siaran langsung lelang sewa iPhone disudahi. Kami diajak masuk kembali ke studio untuk melihat koleksi iPhone yang Jeffry punya. Sekali waktu ia membuka laptop admin dan menunjukkan kami puluhan pesan di Whatsapp dari para pelanggannya. “Selang berapa menit ada yang sewa lagi,” tunjuknya ke layar.
Menurut Jeffry, sekitar 70 persen pelanggan memakai jasanya untuk kebutuhan kerja seperti foto produk. Sementara sisanya menyewa iPhone untuk gaya hidup dan adu gengsi. Ia bisa tahu karena sebagai owner kerap menganalisa kebiasaan konsumennya lewat postingan di media sosial.
“Ada yang pas kita lihat instagramnya ternyata dia buat foto di Starbucks dengan aksesoris Apple yang lengkap gitu,” ujarnya mencontohkan salah satu kasus. Ia juga sering menemukan ibu-ibu sosialita yang menyewa iPhone pas ada acara seperti kondangan atau arisan. “Pinjem iPhone di kita yang bobanya ada tiga, terus mereka mirror selfie gitu-gitu ada juga sih sebetulnya.”
Perihal gaya hidup ini kami menanyakannya kepada sosiolog dari Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Dr. Tantan Hermansah. Dosen yang kerap memakai topi baret itu menyambut kami di kantornya, Kamis (1/12/2022) dan mengobrol hampir satu jam soal tren sewa iPhone.
“Gaya hidup itu tetap penting, juga jangan dibunuh karena dia sangat menyumbang pada perekonomian,” ujarnya. “Tetapi kemudian harus ada kejujuran dan kesukarelaan menampilkan kemampuan yang apa adanya.”
Menurut Dr. Tantan, ‘nilai guna’ suatu barang di zaman media sosial kini kalah dengan ‘nilai simbol’, sehingga produk seperti Apple tak lagi hanya menawarkan fungsionalitas, tetapi juga identitas.
“Makanya wajar kalau di kita produk-produk KW yang penting mirip itu diburu,” ujarnya. “Pokoknya begitu di depan media visual, semuanya akan memuji bukan pada proses produksinya tapi pada proses jadinya.” Ia menyebutnya sebagai dunia tipu-tipu.
Kejujuran, menurut Dr. Tantan, adalah hal yang hilang dari kita saat ini. Semisal orang kaya berlagak miskin dan paling susah, begitu juga sebaliknya. Termasuk tren sewa iPhone untuk memenuhi ekspektasi orang lain dan gaya-gayaan sementara.
“Tren itu biasanya riak-riakan sesaat yang memang menghilangkan kedalaman. Yang bahaya kalau ini jadi karakter," ujarnya merenung. "Kalau udah jadi karakter susah, itu akan menghasilkan pribadi yang tidak berpikir reflektif, padahal dunia ini dihasilkan oleh sebuah refleksi yang sangat dalam."
Ketika kami memutar ulang pesan dari Dr. Tantan itu, kami teringat dengan Jeffry. Ia merintis jasa sewa iPhone, tapi handphone yang ia pegang ke mana-mana saat kami wawancara justru Samsung keluaran lama. Saat kami tanya alasannya, ia tertawa.
"Behaviour yang saya lakukan memang esensialis saya bilang, atau mungkin orang-orang bilang minimalis, jadi kita cukup punya barang-barang yang memang cukup aja buat kita," ujarnya. "Saya hp gak iPhone, gak keluaran terbaru juga, tapi saya terasa itu cukup."