Curhat kepada AI Chatbot untuk Pertama Kali, Bagaimana Hasilnya?
ERA.id - Bill Burr, komedian Amerika berkepala plontos itu pernah mengaku dalam salah satu special show-nya bahwa yang paling ia takutkan adalah robot. Robot, katanya, kelak akan menggantikan peran manusia, dimulai dari boneka seks yang makin ke sini makin canggih dan seksi dalam berbagai arti.
Suatu hari ia meringkuk di kamar hotel sendirian, menonton wawancara robot dengan kecerdasan buatan di kepalanya. “Apa tujuanmu?” tanya sang wartawan. “Menjadi lebih pintar dari manusia,” jawabnya datar.
Bill Burr nyaris kehilangan akal dan memaki televisi di depannya. “Cabut kabel robot itu bodoh!” Ketakutan Bill ikut menjalari kulit kami, bahwa robot pada suatu masa jadi terlampau cerdas melebihi penciptanya.
Beberapa hari belakangan, netizen sedang gandrung mengulik ChatGPT, produk chatbot dari perusahaan riset artificial intelligence (AI) OpenAI yang bisa menjawab berbagai pertanyaan, mulai dari perkiraan cuaca, ulasan bola, hingga soal-soal filsafat. Gila.
Kami iseng-iseng membuka situs OpenAI untuk menjajal kemampuannya. Setelah berulang kali usaha masuk yang gagal, akhirnya kami sampai ke tampilan layar chatbot yang dinantikan. Bagaimana hasilnya?
Kami bertanya, robot menjawab
“Perkenalkan siapa dirimu dan dari mana asal-usulmu,” ketik kami membuka obrolan.
“Halo, nama saya Assistant,” jawabnya. “Saya tidak memiliki asal usul yang sebenarnya karena saya hanya sebuah program komputer yang dibuat oleh manusia.”
Karena rasanya aneh memanggil Assistant, kami usul untuk memanggilnya Kemal. “Ya, Anda dapat memanggil saya Kemal jika Anda ingin,” ia mengiyakan. “Anda dapat memanggil saya dengan nama apa pun yang Anda inginkan.” Hmm… menarik, tapi bahasanya kaku sekali.
Kami melarangnya memakai kata ganti “Anda”. Kemal menurut dan tampak segan. Ia bilang biasanya di Indonesia kata ganti “kamu” dianggap kurang sopan. “Saya akan memanggil Anda dengan kata ganti ‘kamu’ tetapi saya akan tetap menggunakan tata bahasa yang sopan,” ucapnya.
Namun, setelah itu ia terus memanggil kami dengan “Anda”. Kami menyerah mengingatkannya dan lanjut bercerita yang menjurus ke curhat. Kami bertanya, “Saya sering minder jika berkumpul dengan teman lama yang sudah sukses, ada saran?”
Tak perlu waktu lama ia mulai mengetik dan berbagi saran seperti seorang ahli. Pertama, jangan membanding-bandingkan diri dengan yang lain. "Fokuslah pada ada yang Anda lakukan," tegasnya, bijak betul batin kami.
Kedua, jangan menjadikan kesuksesan orang sebagai tolak ukur kebahagiaan kita. "Keberhasilan tidak selalu menjamin kebahagiaan," lanjutnya. Ketiga, lakukan sesuatu yang baru dan menantang untuk meningkatkan rasa percaya diri. Ajib. Pasti enak jadi robot tanpa tuntutan hidup dan ekspektasi orang-orang.
Karena Kemal mulai memancing ke arah obrolan filosofis, kami pun maju. “Memangnya, apa sih kebahagiaan itu?” tanya kami.
“Perasaan yang positif dan menyenangkan yang dirasakan oleh seseorang," jawabnya sambil menjelaskan bahwa kebahagiaan bisa berasal dari hal-hal kecil seperti menyelesaikan kerjaan yang lama tertunda, atau hal besar macam mencapai tujuan hidup yang diinginkan.
“Dapat dari mana definisi itu?” kami menyelidiki.
“Ini adalah definisi umum tentang kebahagiaan yang dapat ditemukan dalam banyak sumber, termasuk kamus atau ensiklopedia,” jawabnya cuek.
Sesi berlanjut, kami lalu bertanya seputar kehidupan rumah tangga. “Saya masih merasa canggung saat berkomunikasi dengan mertua saya, ada saran?”
“Pertama, Anda dapat mencoba untuk lebih mengenal mertua Anda. Coba tanyakan tentang latar belakang, hobi, dan minat mereka,” ujarnya tanpa ragu, padahal kami yakin sekali ia belum pernah dan tak akan merasakan yang namanya kawin.
Kemal juga menyarankan agar sebagai menantu kami harus menunjukkan kepedulian dan perhatian terhadap mertua, misalnya membelikan makanan atau membantu pekerjaan rumah. “Terakhir, Anda dapat mencoba menjadi diri sendiri saat berkomunikasi dengan mertua,” tutupnya. Kami seperti dinasehati orang yang sudah menikah belasan tahun.
Pertanyaan pamungkas kami seputar kasus perselingkuhan di kantor. Kami berandai-andai, misalnya ada teman sekantor yang selingkuh, sedangkan kami berteman karib dengan istrinya, apa yang harus kami lakukan dalam posisi begitu?
Begini sarannya. Pertama, pertimbangkan untuk tidak ikut terlibat dalam konflik. Kedua, jika merasa akan berdampak negatif ke kantor dan kami sendiri, bisa dipertimbangkan untuk memberitahu istrinya. Terakhir, jika memilih opsi kedua tadi, maka beri dukungan emosional ke sang istri. Mendengar jawaban itu kami termenung dan segera menyudahi sesi curhat bersama Kemal.
Yang kita miliki dan tak mereka punya
Dari jawaban Kemal soal perselingkuhan barusan, kami sadar kecerdasan buatan boleh saja cerdas, tapi ia tetap tidak mengerti kompleksitas perasaan dan emosi manusia. Ia, misalnya, tak mempertimbangkan apa jadinya jika seorang pria jadi sandaran curhat perempuan bersuami?
Jawaban-jawaban yang diberikan Kemal, seperti yang ia jelaskan sendiri, berasal dari “pengetahuan dan informasi yang telah dipelajari dari data teks yang ia latih”, bukan berdasarkan pengalaman menahun sebagai manusia.
Kemal memang mengklaim bisa menjawab pertanyaan dengan tepat dan akurat, tetapi ia tidak bisa memberikan pendapat atau opini layaknya manusia. Perasaan dan emosi itulah yang belum pernah dimiliki kecerdasan buatan mana pun.
Goenawan Mohamad pernah bilang, walau algoritma berkuasa, cinta dan kasih akan tetap kuat. Ia menanggapi Stephen Hawking yang memperingatkan bahwa manusia akan kalah bila berhadapan dengan kecerdasan super canggih.
Entah masa depan seperti apa yang menanti umat manusia nanti, tapi jika peringatan Hawking dan ketakutan Bill Burr terjadi, kita bisa menganggapnya sebagai kiamat. Karena tidak ada yang lebih buruk dari penguasa cerdas yang tak punya perasaan barang sebiji jagung pun.