Menceritakan Messi, dari Julukan GOAT hingga Kenapa Suka Jalan Saja di Lapangan

ERA.id - Debat tentang siapa yang lebih besar di antara Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo usai sudah. Messi berhasil memimpin Argentina untuk mengakhiri dahaga gelar juara Piala Dunia selama 36 tahun.

Debat kini bergeser kepada siapa yang terbesar apakah Messi atau Maradona atau Pele? Bagi orang-orang seperti Jorge Burruchaga yang mantan sahabat Maradona dan pencetak gol penentu Argentina juara dunia pada 1986, enggan membanding-bandingkan ketiga pesepakbola itu karena semua besar dalam zamannya.

"Ada lima pemain dalam kurun 70 tahun terakhir ini yang bisa dianggap yang terbaik di dunia, yakni (Alfredo) Di Stefano, Johan Cruyff, Pele, Maradona dan Messi," kata Burruchaga seperti dikutip AFP.

Tetapi pemain-pemain generasi masa kini seperti gelandang Declan Rice dari Inggris beranggapan lain. "Lionel Messi adalah yang terbaik," seru Rice via Twitter. "Kita tak akan pernah lagi bisa menyaksikan pemain seperti Messi."

Garry Lineker yang legenda Inggris dan sama seperti Messi pernah membela Barcelona, mengamininya. "Sungguh sebuah kemewahan bisa menyaksikan Lionel Messi selama hampir dua dekade ini," kata Lineker. "Dia sungguh anugerah dari dewa sepak bola."

Untuk beberapa alasan, Burruchaga benar, demikian pula Rice dan Lineker. Namun jika melihat segala piala yang sudah dikoleksi Messi, termasuk tujuh Ballon d'Or dan enam Sepatu Emas Eropa, koleksi trofi dan medali Messi jauh lebih banyak dibandingkan dengan Pele dan Maradona.

Kecuali tiga Piala Dunia yang dimenangkan Pele, Messi mutlak mengungguli kedua pendahulunya itu dalam segala hal. Tetapi ada yang mengatakan Messi bermain dalam era tak sebebas zaman Pele dan Maradona di mana pemain-pemain lawan bebas menebas kaki mereka, tak seperti masa Messi di mana aturan sepak bola demikian melindungi pemain dari perlakuan kasar pemain lawan.

Untuk itu, debat GOAT (Greatest of All Time atau yang terbaik sepanjang masa), antara Messi, Maradona dan Pele akan terus ada, terutama saat Piala Dunia digelar, di mana Messi mungkin masih mau memainkannya lagi.

Dia sudah menyatakan ingin merasakan bagaimana rasanya bertanding dalam status juara bertahan, seperti Pele pada Piala Dunia 1962, ketika Brazil yang juara bertahan, merebut kembali trofi edisi tahun itu.

Debat siapa yang GOAT pun menjadi tak ada ujungnya, yang mungkin terhenti sampai Messi benar-benar gantung sepatu atau malah ketika dia menyamai Pele menjuarai Piala Dunia kedua kali berturut-turut, ketika usianya mendekati 40 tahun dalam empat tahun ke depan.

Yang membuat Messi sempurna

Tapi jauh sebelum Piala Dunia Qatar 2022 mulai, perhatian sudah tertuju kepada Messi, apalagi dia kemudian menyatakan Piala Dunia Qatar sebagai turnamen sepak bola dunia terakhir yang dia ikuti.

Perhatian itu sendiri khususnya tertuju kepada kemaestroan dan kepemimpinannya di lapangan hijau.

Sudah ribuan analisis yang mengupas keistimewaannya dibandingkan dengan pemain-pemain lain di dunia ini, termasuk Kylian Mbappe yang nyaris menjadi mimpi buruk sepanjang hidupnya, setelah mencetak hattrick yang membuat pemenang final Piala Dunia 2022 harus ditentukan oleh adu penalti.

Salah satu analisis terakhir yang ramai dikupas dunia adalah caranya mengelabui salah satu bek tengah terbaik di dunia, Josko Gvardiol, saat semifinal melawan Kroasia empat hari sebelum final.

Mereka heran mengapa pemain yang jauh lebih muda, lebih perkasa, lebih besar, dan lebih tinggi dari Messi bisa begitu gampang ditaklukkan sang superstar.

Messi mengulangi hal itu walau dalam bentuk yang tak begitu ekstrem ketika menghadapi Prancis dalam final, manakala dia beberapa kali melepaskan umpan berbahaya yang salah satunya menjadi awal untuk terciptanya gol yang dibuat Angel Di Maria.

Panitia turnamen ini lalu menganugerahi Messi dengan predikat Pemain Terbaik Piala Dunia 2022 yang menyempurnakan sukses Argentina yang juga mendapatkan penghargaan kiper terbaik dan pemain muda terbaik.

Lantas apa yang membuat Messi begitu sempurna? Kolumnis sepak bola Sarah Shephard yang kerap menulis untuk The Times, The Guardian and The Sunday Times Magazine, mengupas kelebihan Messi itu dalam artikelnya dalam The Athletic.

Menurut Shephard, Messi begitu super karena dua hal, yakni "hardware" dan "software", fisik dan otak. Dia menggabungkan kedua hal ini dengan sempurna.

Dia tahu sudah tak secepat dulu, tapi dia toh bisa melepaskan diri dari kawalan pemain-pemain tinggi besar seperti Josko Gvardiol dan Dayot Upamecano, atau spesialis pelumpuh ajimat lawan seperti Theo Hernandez.

Adalah "hardware"-nya yang membuat dia bisa melakukan itu.

Dia piawai mengeksploitasi kelenturan tubuhnya dengan memanfaatkan pinggul dan bokong sebagai landasan atau episentrum untuk gerakan memperdaya pemain lawan sampai bek-bek bertubuh besar dibuat terkecoh oleh manuvernya.

Perhatian pemain lawan yang menempel dia menjadi bercabang, antara fokus kepada bola dan kaki Messi sambil sibuk menerka jalan pikiran sang megastar.

Messi juga memiliki semacam rem elastis yang membuatnya bisa berhenti kapan dia mau, termasuk di tengah adu sprint dengan pemain lawan.

Ini yang membuat banyak bek lawan kelabakan dan teperdaya, sehingga tak bisa lagi mengawal dia dan kebingungan karena yang dijaganya dengan cepat memutar arah.

"Dia bagaikan (film) Matrix," kata mantan pelatih timnas Spanyol Robert Moreno yang menjadi asisten pelatih untuk Luis Enrique semasa tiga tahun menukangi Messi di Barcelona.

"Ingat tidak sekuel dalam film itu ketika karakter dalam film itu menggerakkan tubuhnya dan peluru-peluru itu melambat? Bagi saya, dia bermain seperti ini. Semua hal dalam pikiran dia bergerak lebih lambat ketimbang yang terjadi di dunia lainnya," kata Morena kepada The Athletic.

Kelebihan ini hadir di antaranya karena dia memiliki badan yang lebih panjang ketimbang kedua kaki kecilnya yang membuat dia bergerak lentur seolah tak memiliki tulang.

Messi cuma jalan

Tetapi asset terbesar Messi sudah pasti kecerdasan dan kejeniusan dalam membaca permainan.

Selama turnamen Piala Dunia 2022 Messi dianggap sebagai salah satu dari sedikit pemain yang paling banyak jalan-jalan di lapangan, yang berbalik 180 derajat dengan rekannya Rodrigo de Paul yang berlari ke sana ke mari merebut dan membawa bola sampai memiliki jelajah lari paling jauh dalam skuad Argentina.

Tetapi jalan-jalan yang dilakukan Messi bukan sekadar jalan-jalan. Dia melakukan itu karena sedang menganalisis ritme dan kecenderungan permainan.

"Dia pemain yang luar biasa, tapi bedanya bagi saya adalah cara dia menganalisis sepak bola saat berada di dalam lapangan," kata Moreno.

"Bagi seorang pelatih, mudah saja menganalisis (jalannya pertandingan) dari luar lapangan. Tapi dia melakukannya di dalam lapangan saat bertanding. Ini salah satu perbedaan besar yang membuat saya memandang dia sebagai pemain terbaik sepanjang masa," sambung Moreno.

Masih ada kelebihan Messi lainnya, yakni kepemimpinan yang menonjolkan kerja tim, sehingga egoisme yang justru diperlihatkan seterunya, Cristiano Ronaldo, dibuang jauh-jauh oleh Messi.

Tak heran, dalam usia di mana kebanyakan pemain bola sudah pensiun, Messi masih rajin menjemput bola, tak cuma menunggu. Dia juga tak bernafsu, harus dia seorang yang harus mencetak gol.

Kalaupun dia terlihat jalan-jalan di lapangan, itu karena dia tengah menganalisis bagaimana sebaiknya dia menempatkan diri, dan bagaimana harus mengatur irama permainan dan ritme serangan.

Kepemimpinan inilah yang disebut-sebut sebagai salah satu alasan mengapa skuad Argentina 2022 menjadi tim super yang sulit ditaklukkan walau tumbang di tangan Arab Saudi dalam fase grup sehingga memutus rangkaian 36 laga tak terkalahkan.

Adalah sukses menjuarai Copa America tahun lalu yang menjadi katalisator yang membebaskan Messi dari belenggu yang memenjarakan emosinya selama puluhan tahun. Pikirannya menjadi lebih enteng, lebih bebas.

Sukses di Brazil tahun lalu itu membuatnya terlihat lebih tanpa beban, kala bertualang dalam Piala Dunia 2022 dibandingkan dengan turnamen-turnamen ini sebelumnya.

Kekalahan dari Arab Saudi malah membuatnya semakin bernafsu dan marah untuk membalas, kepada siapa pun yang berusaha menghalangi Albiceleste.

"Ini hal yang positif dan saya suka melihatnya. Semua pemain pun berjuang demi kostum Argentina, demi Messi," kata mantan rekan satu timnya, Pablo Zabaleta, kepada ESPN.

Makanya untuk semua keistimewaan itu, dan tanpa mengurangi hormat kepada pelatih Lionel Scaloni, adalah wajar jika sukses Argentina menjuarai Piala Dunia untuk ketiga kalinya adalah juga tentang Lionel Messi.

Keberhasilan di Stadion Lusail di Qatar itu juga menjadi penegasan bahwa Messi memang lebih dari sekadar layak menyandang predikat GOAT. Paling tidak dia sudah menjadi GOAT bersama Pele dan Maradona.