Fenomena Fajar Sadboy yang Tak Seharusnya Dipertontonkan di Ruang Publik
Dia yang telah menikmati
Saya yang dia sakiti
Akhir cerita dia ke pelaminan
Saya yang jadi tamu undangan
ERA.id - Penggalan di atas bukan lirik lagu rap Indonesia atau kalimat penutup di Mata Najwa, melainkan jawaban Fajar Labatjo kepada Denny Cagur di kanal Youtube-nya. Fajar, remaja Gorontalo berusia 15 tahun itu belakangan dikenal dengan nama belakang Sadboy. Sebabnya karena cerita cintanya viral di internet. Ia konon ditinggalkan kekasihnya dan patah hati akut.
Nama Fajar Sadboy kian melambung setelah diundang Denny Cagur dan potongan videonya berserakan di media sosial. Fajar juga diundang ke TransTV untuk menceritakan kisah pilunya sambil meratapi nasib. Hanya ia seorang yang bersedih, lalu penonton? Jelas ketawa tak henti-henti di rumah. Sementara Denny dapat duit adsense dan stasiun TV yang memanggil Fajar ratingnya naik.
Fenomena Fajar Sadboy harus diakui sukses sebagai hiburan, terbukti produk turunannya bejibun, berbagai meme hingga parodi tercipta di Twitter. Namun, kok jarang ada yang mempertanyakan, apakah itu patut dipertontonkan di ruang publik? Apa kabar Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)? Apa kabar Kak Seto? Apakah tak ada satu pun dari kita yang merasa resah dan menganggapnya normal belaka?
Mau dibawa ke mana masa depan anak-anak?
Sejak ada internet, keran informasi terbuka lebar dan hampir siapa pun bisa menadah airnya. Surat kabar tak lagi mendominasi pemberitaan, juga televisi. Satu per satu media cetak hijrah ke digital. Dan di dunia digital, jarak antara informasi dan pembaca hanya seketukan jari tangan. Nyaris terjangkau semua orang, tak pandang umur.
Di era disrupsi media inilah anak-anak seperti Fajar lahir. Era ketika mereka dengan mudah mengakses berbagai konten di atas umurnya dan dipaksa dewasa sebelum waktunya. Pedoman usia yang ditampilkan di layar kaca tak lagi berpengaruh, orang-orang sudah masa bodoh. Ditambah media kita yang juga tak ambil pusing mau bikin konten apa.
Sebuah berita dinilai dari keviralannya dan itu yang kini jadi pedoman umum, walaupun harus menggunakan anak-anak sekali pun. Saking seringnya anak-anak viral dijadikan bahan konten media, kita sampai menggapnya biasa saja. Padahal, Pedoman Perilaku Penyiaran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) jelas-jelas menyebutkan dalam pasal 15:
Program siaran wajib memperhatikan dan melindungi kepentingan anak-anak dan/atau remaja.
Lebih lanjut, dalam pasal 29 disebutkan bahwa lembaga penyiaran tidak boleh mewawancarai anak-anak di bawah 18 tahun di luar kapasitas mereka serta wajib mempertimbangkan keamanan dan masa depan mereka. Apa yang dilakukan media seperti TransTV terhadap Fajar Labatjo jelas melanggar itu semua, kita di rumah menertawakannya, dan negara menutup mata.
Mungkin ada yang nyeletuk, “Santai aja kali, kan cuman hiburan.” Sekarang, coba kita pikirkan dengan hati yang tenang, apakah wajar seorang anak usia 15 tahun menangisi percintaannya yang kandas seperti ia baru saja kehilangan ibunya? Zaman dulu, pas sekolah dasar hingga SMP, kita sering menyebutnya cinta monyet. Dan cinta seperti itu bukan untuk ditangisi.
Orang-orang dewasa yang menonton Fajar akan menganggapnya lucu, ketawa-ketiwi, lalu selesai. Namun, bayangkan tayangan seperti itu disaksikan jutaan pasang mata anak-anak lain. Syukur-syukur kalau hanya berakhir jadi bahan tertawaan. Nah, kalau malah justru dijadikan panutan bagaimana? Mereka merasa dapat pembenaran untuk main cinta-cintaan dan bergalau-galau ria pada usia terlalu dini.
Fajar seusia anak SMP kelas tiga. Masih banyak hal yang lebih layak ia tangisi ketimbang ditinggal pacar, utamanya pendidikan. Kalau media lebih memilih menayangkan remaja galau yang belum bisa move on dari kekasihnya, lalu apa kabar 75 ribu anak yang putus sekolah di Indonesia per 2021? Angka itu berdasarkan laporan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud).
Krisis pernikahan dini yang dilanggengkan media
Coba baca lagi kalimat Fajar di awal: Akhir cerita dia ke pelaminan, saya yang jadi tamu undangan. Usianya masih 15 tahun dan ia sudah berpikir jauh ke pernikahan. Masihkah kita merasa tak ada yang salah? Apakah anak SMP sekarang memang terbiasa menjalin hubungan untuk lanjut ke jenjang serius? Dari mana mereka belajar semua ini?
Bukankah ironis, di satu sisi kita mengutuki pernikahan dini dan berbusa-busa saat melihat dua bocah diarak jadi pengantin, di sisi lain kita menyoraki dan menyemangati konten cinta-cintaan remaja belasan tahun. Glorifikasi Fajar Sadboy secara tidak langsung juga mempromosikan pernikahan anak yang banyak ditentang orang itu.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Indonesia (KPPPAI) bilang, 1 dari 9 perempuan berumur 20-24 tahun menikah sebelum usia 18 tahun pada 2018. Dan Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) 2020 mencatat 8,19% perempuan Indonesia menikah di usia antara 7-15 tahun.
Anak yang menikah dini, menurut KPPPAI, rentan kehilangan akses pendidikan dan layanan kesehatan, berisiko besar jadi korban kekerasan, dan berpotensi mengalami perceraian. Peneliti dari Universitas Leiden, Mies Grijns memaparkan bahwa setengah dari pernikahan usia dini berujung pada perceraian saat usia pernikahan baru 1-2 tahun.
Sebelumnya, mungkin banyak anak menikah di usia belasan tahun karena tuntutan orang tua, kebiasaan setempat, atau bahkan faktor agamis seperti menghindari seks bebas. Kelak, jangan heran kalau ada dua pengantin remaja di atas pelaminan yang menikah gara-gara termotivasi tayangan seperti Fajar Sadboy. Kalau amit-amit ada yang begitu, siapa yang mau bilang: Santai aja kali, kan cuma hiburan?