Apa Kabar Kota Impian Meikarta?

Terkadang kita lupa, kehidupan yang kita jalani menjadi seperti ini… 

ERA.id - Seorang anak perempuan berwajah sendu menempelkan pipinya di kaca jendela mobil, menatapi kota yang kumuh kusam. Orang-orang kecil saling berebut ruang dan uang. Anak itu membatin, “Bawa aku pergi dari sini…” Mobil yang ia tumpangi melewati terowongan dan tetiba keluar di kota masa depan.

Kita lupa bahwa ada cara lain untuk hidup, cara mudah untuk menggapai cita. Kita lupa semua ini dapat menjadi milik kita.

Lalu tampak montase kota masa depan itu: gedung-gedung kaca segala rupa menjulang tinggi; kereta listrik membelah kota; dan segala teknologi yang ada di film-film sains fiction. Di sela-sela itu semua, perahu-perahu angsa berjalan di atas danau dan si anak perempuan bermain bersama anak-anak lain dengan gembira. 

Ia lalu naik ke teras atap gedung bersama kedua orang tuanya. Sambil tersenyum, terdengar ia berbisik, “Aku ingin pindah ke Meikarta.”

Konsep Meikarta dalam iklan yang populer tahun 2017. (Tangkapan layar)

***

Begitulah gambaran iklan Meikarta yang lima tahun lalu sering mampang di layar kaca kita. Ia digadang-gadang menggantikan Jakarta, ibu kota yang nestapa. Promosinya meyakinkan dan terus berulang. Di surat kabar, iklan-iklan Meikarta menutupi satu halaman penuh.

Ada Lippo Group milik James Riady di balik mega proyek Meikarta. Tak heran promosinya gila-gilaan. Bahkan menurut data Nielsen, belanja iklan Meikarta mencapai lebih dari Rp1,5 triliun sepanjang 2017. Nama Meikarta sendiri diadopsi dari nama ibu James, yaitu Mei. Sisanya adalah ambisi untuk jadi kota alternatif Jakarta. Jadilah Meikarta. 

Berduyun-duyun orang datang menyerbu saat penjualan unit perdana Meikarta di Orange County Lippo Cikarang, 13 Mei 2017. Banyak yang tergiur dengan hunian murah dan masa depan cemerlang yang ditawarkan Meikarta. Kala itu, harga tanah di Meikarta per meternya ‘hanya’ Rp12,5 juta, hampir setengah harga tanah di kawasan Bekasi-Cikarang yang mencapai Rp18-20 juta/m2.

Lahan yang akan dibangun pada tahap pertama seluas 22 juta m2, cukup untuk 250 ribu unit dan dapat menampung hingga sejuta orang. Para pembeli dijanjikan menerima kunci apartemen idaman mereka pada tahun 2019. Namun, kini semua tinggal cerita.

Setelah tersandung berbagai kasus, mulai dari perizinan yang belum lengkap hingga suap ke mantan Bupati Bekasi, Neneng Hasanah untuk memuluskan pembangunan Meikarta, mega proyek senilai Rp278 triliun itu terbengkalai. Hingga akhir tahun 2022, baru 12 tower berdiri di Distrik 1 dan sekitar 1.800 unit yang diserahkan ke konsumen.

19 Desember lalu, para pelanggan yang merasa dizalimi berunjuk rasa di depan Bank Nobu, tempat mereka mencicil pembayaran apartemen. Mereka menuntut uang mereka kembali. Seorang ibu-ibu berikat kepala “KONSUMEN KORBAN MEIKARTA” berorasi dengan leher berurat. “Kembalikan uang kami! Refund harga mati! Sudah bertahun-tahun nasib kami seperti ini, uang kami nggak kembali! Unit nggak jelas!”

ERA berziarah ke salah satu distrik mati di sana, Selasa (27/12/2022) kemarin untuk menyaksikan bagaimana riwayat Meikarta kini. Benarkah ia sudah jadi kota hantu? Atau semua hanya kabar burung yang sampai ke kantor kami di Jakarta?

Menyusuri gedung-gedung mangkrak di Distrik 2 Meikarta

Dari ketiga distrik yang ada di Meikarta, hanya Distrik 1 yang masih tampak degup kehidupannya. Banyak mobil terparkir di depan Orange County yang juga ramai pengunjung. Mereka sekadar mampir makan atau nonton di Cinepolis. Namun, masih banyak juga tower yang hanya tampak seperti kerangka abu-abu.

Kurang lebih 3 kilometer dari sana, mobil kami sampai di Distrik 2 Meikarta. Kota yang sepenuhnya berbeda. Dari kejauhan sudah tampak tower-tower telanjang tak bertembok. Mereka dikelilingi pagar-pagar seng yang beberapa sisinya ambruk dan memamerkan celah untuk masuk ke dalam. Sebagian lagi hanya dibatasi dengan ilalang dan tumbuhan yang menjelma pagar.

Penampakan salah satu gedung mangkrak di Distrik 2 Meikarta. (ERA/Agus Ghulam)

Cukup banyak celah pagar seng yang bisa dilewati mobil, seakan-akan sengaja terbuka untuk dikunjungi siapa pun. Kami memilih satu dan memarkir mobil di depan gubuk kecil yang terbengkalai. Seorang warga tampak memaku sesuatu. Kami mendekatinya. 

“Ini ada penjaganya Pak?” tanya kami sambil menunjuk bangunan besar yang mangkrak di hadapan kami. Ia menggeleng. “Dulu juga banyak yang foto-foto disitu,” ucapnya lalu meneruskan kegiatannya yang terjeda. Maka dengan ragu-ragu, kami melangkah ke halaman proyek yang sepenuhnya sepi pekerja. Bunyi ilalang ditiup angin dan saling beradu terdengar nyaring.

Suasana di Distrik 2 Meikarta. Tampak gedung mangkrak yang rencananya jadi ruko ditumbuhi tanaman liar. (ERA/Agus Ghulam)

Distrik 2 Meikarta itu seperti kota yang ditinggalkan penghuninya puluhan tahun karena wabah atau kemarau panjang. Tak ada isyarat ia akan menjelma bangunan utuh, setidaknya itulah yang kami rasakan. Sesekali satu-dua orang masuk untuk menumpang kencing atau sekadar mengarit rumput. Batu-batu batako ditumpuk tak beraturan dan cekungan di tengah-tengah halaman menampung hujan jadi rawa kecil.

Di belakang tower setinggi puluhan lantai yang hanya kerangka, kami melihat satu mobil forklift berhadap-hadapan dengan lift yang tak jadi. Keduanya hanya saling diam dan tak tampak pekerja yang akan menaikinya. Puluhan karung semen dan plester disusun rapi di samping tangga. Semua menganggur menunggu diaduk dan dituang ke mana saja.

Kami naik hingga lantai lima. Dari atas sana tampak lanskap indah dengan panorama belasan tower Meikarta, gedung-gedung mangkrak yang entah sampai kapan. Mata kami harus terus memperhatikan sekitar sebab banyak lubang dibiarkan terbuka. Sebagian ditutup kayu, sebagian lagi diberi pita pembatas merah-putih yang putus sana-sini.

Erna bersama anak-anaknya di depan pagar salah satu tower di Distrik 2 Meikarta. (ERA/Agus Ghulam)

Sekitar tiga jam kami menyusuri sudut-sudut gedung mangkrak itu. Sepanjang itu juga kami hanya mendengar langkah kaki dan suara alam tanpa interupsi. Sekalinya angin bertiup kencang, pasir-pasir berdebu beterbangan seperti awan panas dan menerjang mata. Kami akhirnya memutuskan pulang. Di depan pagar, seorang ibu berkursi roda menggandeng dua anak perempuan, mukanya kebingungan. Ia bernama Erna.

“Di sini ada yang namanya Adi Nugroho?” tanya Erna kepada kami. “Itu suami saya, dia kerja proyek bagian listrik.”

Erna bercerita sudah setahun mencari suaminya yang tak pulang-pulang dan tak pernah mengangkat panggilannya. Rumahnya di Tambun Bekasi dan berbagai proyek telah ia datangi untuk mencari petunjuk keberadaan sang suami. Namun, lagi-lagi ia belum beruntung sore itu. Kami menggeleng. “Maaf Bu, kami hanya mampir, dan setahu kami tak ada pekerja proyek di sini.”

"Ini proyek apa ya?" tanyanya lagi sambil memperhatikan anaknya agar tak berlarian terlalu jauh.

"Ini?" kami berbalik sekilas. "Ini proyek mangkrak Bu." Setelah itu kami mengantarnya menyeberang jalan untuk pulang, meninggalkan gedung-gedung pesakitan di belakang yang entah kapan akan ditempati.

>