Masjid Raya Al Jabbar, Antara Tempat Ibadah dan Taman Hiburan
ERA.id - Jawa Barat punya masjid raya baru dengan nama yang boleh dibilang cerdas, Masjid Raya Al Jabbar, salah satu asma agung Allah yang berarti 'Yang Maha Pemaksa'. Kata itu juga dekat dengan akronim Jawa Barat (Jabar). Bangunannya megah bukan main, dibangun tanpa tiang, dengan fasad serupa sisik ikan yang disusun dari 6.316 bilah kaca, menara setinggi 99 meter, dan mampu menampung lebih dari 30 ribu jamaah.
Menjelang tahun baru, Jumat (30/12/2022), masjid yang bertempat di Gedebage, Bandung itu diresmikan langsung oleh arsiteknya dan Gubernur Jabar Ridwan Kamil. Ia menutup sambutannya dengan ajakan kepada seluruh masyarakat, “Mari kita makmurkan masjid ini!” Seruan itu segera disambut gegap gempita. Esoknya, warga Bandung ramai-ramai berakhir pekan di Gedebage, menyerbu masjid yang konon terapung di atas danau itu.
Sedari awal, selain buat salat, Masjid Raya Al Jabbar memang tampak dirancang untuk wisata reliji. Terasnya luas dengan kapasitas 20 ribu orang, tamannya dipoles sedemikian rupa untuk menggambarkan kisah para nabi, dan di bawah masjid dibangun Museum Digital Rasulullah. Namun, Kang Emil tentu tak pernah menyangka masjid karyanya bakal bertransformasi jadi waterboom dan tempat piknik macam di Puncak.
Bocah-bocah nyebur ke kolam masjid dan berenang kegirangan, sedangkan keluarga mereka selonjoran di teras sambil makan-makan. Sampah bertebaran di mana-mana. Kang Emil akhirnya kelimpungan sampai-sampai Masjid Raya Al Jabbar harus ditutup sementara hingga 7 Januari.
Di luar euforia masyarakat memakmurkan Masjid Raya Al Jabbar, masih banyak hal-hal yang patut direnungi, mulai dari kemacetan yang kian menjadi-jadi di Gedebage, prioritas pembangunan sarana publik, hingga budaya membangun masjid megah yang kian populer dan diminati. Setelah masjid raya berdiri, lalu apa lagi?
Masjid di mana-mana, begitu juga ketimpangan sosial
Indramayu jaraknya hanya sekitar empat jam dari ibu kota Jakarta atau Bandung. Jalan tol berhasil memangkas waktu tempuh antar kota antar provinsi, tapi ia belum bisa mengurangi ketimpangan yang ada.
Bayangkan, hingga tahun lalu, rata-rata orang Indramayu hanya bersekolah selama 6,8 tahun menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Indramayu. Artinya, mayoritas mereka tak pernah lulus smp. Angka ini yang terendah di Jabar. Ini buat gambaran besar saja betapa pendidikan kita masih memprihatinkan.
Anggaran pendidikan di Jabar tahun 2022 sendiri sekitar Rp10 triliun, kurang lebih sepertiga dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Pemerintah Provinsi Jabar 2022. Angka yang kelihatannya besar. Sekarang, coba bandingkan dengan biaya pembangunan Masjid Raya Al Jabbar yang mencapai Rp1 triliun. Dari perbandingan tadi, kira-kira apakah anggaran pendidikan itu terlalu kecil, biaya pembangunan masjid terlampau besar, atau keduanya?
Ada yang bilang begini, “Masih mending pajak rakyat dipakai buat bangun masjid daripada masuk kantong koruptor.” Kalau bicara mending-mendingan, maka tak ada habisnya. Kita juga bisa bertanya, mending perbanyak masjid atau permudah akses pendidikan? Mending bangun masjid megah-megahan atau mengentaskan kemiskinan? Mending mana?
Masjid megah untuk apa dan siapa?
Saat kita berlomba-lomba membangun masjid megah, seakan pesan Rasulullah yang berbunyi: Kiamat tak akan tiba sampai manusia bermegah-megahan membangun masjid, hanya lewat sekilas lalu. Sementara mereka yang mengkritisi hal itu justru dianggap dengki dan memusuhi Islam.
Seperti disebutkan sebelumnya, Masjid Raya Al Jabbar menelan biaya hingga Rp1 triliun dari APBD Pemprov Jabar. Kang Emil bilang penggunaan dana negara itu kesepakatan bersama dan jutaan warga Jabar lewat berbagai ormas Islam ingin masjid raya dibangun sejak tujuh tahun lalu. “Dan itulah yang kami lakukan: memenuhi dan membangun aspirasi rakyat,” tulisnya setelah dikritik netizen.
Tujuh tahun lalu, ide membangun Masjid Raya Al Jabbar datang dari Gubernur Jabar saat itu, Ahmad Heryawan (Aher). Ada dua alasan, pertama, setelah berbagai kunjungan ke beberapa tempat, ia takjub melihat masjid-masjid besar di provinsi lain. Berhubung Masjid Raya Bandung tak mungkin diperluas lagi, ia bertekad mencari lokasi baru.
Kedua, Stadion Gelora Bandung Lautan Api yang jadi markas Persib Bandung jauh dari masjid. "Kalau Persib main, bobotoh salatnya di mana?" Akhirnya, Gedebage yang hanya berjarak 500 meter dari stadion dipilih untuk dibangun masjid raya.
Dulu, pada akhir 90-an, Gus Dur pernah menyinggung dalam tulisannya Menghindari Negara Berasumsi Agama, di Indonesia agama cenderung diperlakukan sebagai simbol ketimbang pola hidup. Ia juga mengutip pemikir Mesir Muhammad Abduh yang bilang, “Aku melihat Islam di Barat tapi tidak melihat orang muslim. Di Arab, aku melihat orang muslim tapi tidak melihat Islam.”
Masjid tak diragukan lagi adalah sarana vital ibadah umat Islam, tetapi masjid yang terlampau megah dan sulit terjangkau –seperti Masjid Raya Al Jabbar yang terasing di tengah-tengah sawah– lebih condong menjadi simbol. Terbukti dari antusiasme warga yang pergi ke sana untuk wisata ketimbang salat berjamaah.
Itulah yang dulu pernah dikritisi Gus Dur, ketika nilai-nilai Islam terpinggirkan oleh simbol-simbol. Kita melihat simbol Islam di mana-mana, tapi kejujuran, keadilan, kepekaan sosial, hingga yang paling mendasar macam kebersihan jarang kita temui. Hanya slogan kosong yang mampang di dinding-dinding sekolah: Kebersihan sebagian dari iman. Kalau sudah begitu, jangan salahkan ketika masjid lebih dianggap sebagai taman wisata ketimbang tempat ibadah.