Warga Yaman Terpaksa Rayakan Iduladha di Tengah Perang
Situasi ini juga membuat sejumlah keluarga Yaman tak bisa lagi menyambut Hari Raya Iduladha yang jatuh pada tanggal 22 Agustus 2018. Mereka bahkan harus berjuang untuk selamat dari kelaparan dan penyakit setelah meninggalkan gedung tempat tinggal mereka.
"Ini adalah Id (Iduladha,red) pertama yang jalani tanpa keluarga tercinta. Perang melucuti hak kami untuk berada di dalam rumah kami guna menyambut Iduladha secara damai dengan kebahagiaan seperti tahun-tahun lalu," kata Obeid seperti dilansir Antara, Selasa (21/8/2018).
Obeid bilang, kalau sebagian besar keluarga yang jadi pengungsi sudah tak punya sumber keuangan dan sudah tak memiliki pakaian baru untuk anak mereka dari organisasi bantuan.
"Sebagian anak di dalam tenda ini menangis dan meminta ibu mereka membelikan mereka pakaian baru Id dan tidak tahu bahwa semuanya berubah dan mereka tidak punya rumah," ungkapnya.
Bagi Obeid, Iduladha tahun ini tak berarti apa-apa lagi buat warga Yaman yang terusir dan tingga dalam kemelaratan. Dirinya hanya berharap perang dapat segera berakhir.
"Menghentikan perang buruk ini dan pertumpahan darah akan menjadi perayaan kami yang sesungguhnya. Pemboman dan pertempuran menghancurkan semuanya yang indah di negeri kami," imbuhnya.
Perang juga terus terjadi di provinsi lain Yaman, termasuk kota di semenanjung Pantai Merah Hadeidah. Pertempuran antara pasukan pemerintah yang didukung koalisi Arab Saudi dengan Syiah Al-Houti terus berkecamuk, jelang Hari Raya Iduladha.
Sebagian warga di Hodeidah, mendesak agar gencatan senjata dilakukan sementara waktu supaya mereka bisa merayakan Iduladha bersama anak-anak mereka tanpa rasa takut dan pengemboman yang membabi buta. Tapi, itu semua hanya harapan saja. Sebab, tak ada tanggapan atas desakan mereka.
"Semua pihak yang berperang tidak peduli dengan penderitaan kami dan hanya mencari kemenangan serta merampas daerah kami," kata Fuad Slaeh yang merupakan seorang pengungsi.
Fuad menganggap kalau para pemimpin perang itu seperti tak menganggap Iduladha sebagai hari besar bagi mereka. Tak hanya itu, Fuad menyebut kalau peranglah yang kemudian menyebabkan mereka terpaksa meninggalkan rumah dan harta benda mereka.
"Kebanyakan komandan militer dan pemimpin Al-Houthi bukan berasal dari Hodeidah dan keluarga mereka berada di tempat aman dan mereka datang cuma untuk menghancurkan daerah kami," ungkap Fuad dengan kemarahan.
"Meninggalkan rumah kami adalah perbuatan yang sangat menyakitkan tapi para pemimpin militer itu tidak mengalaminya dan tidak tahu apa itu mengungsi" imbuhnya.
Hingga kini, sudah lebih dari 121.000 warga yang telah menyelamatkan diri dari Kota Hodeidah dan bagian provinsi lain yang dilanda perang sejak 1 Juni 2018 yang lalu tersebut.