Vonis Bersalah untuk Meiliana karena Keluhkan Volume Azan
"Menyatakan terdakwa Meliana terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia. Menjatuhkan kepada terdakwa pidana penjara selama 1 tahun 6 bulan dikurangi masa tahanan," kata Ketua Majelis Hakim Wahyu Prasetyo Wibowo di PN Medan, Selasa (21/8/2018).
Meiliana, seorang ibu keturunan etnis Tionghoa, didakwa melakukan penodaan agama. Mulanya, wanita berusia 44 tahun ini mengeluh suara azan yang dikumandangkan melalui pengeras suara dirasa terlampau keras. Meiliana lalu meminta kepada takmir untuk mengecilkan volume pengeras suara tersebut.
"Kak, tolong bilang sama uwak (paman) itu, kecilkan suara masjid itu kak, sakit kupingku, ribut," kata Meiliana.
Keluhan itu disampaikan kepada tetangganya, Kasini atau Ka Uo yang diteruskan ke Badan Kemakmuran Masjid (BKM) Al Makhsum.
Beberapa hari berselang, sejumlah BKM A Makhsum datang ke rumah Meiliana mempertanyakan permintaan perempuan itu. Meiliana mengakui kalau dia memang pernah menyebut permintaan itu.
Entah bagaimana ceritanya, ditambah bumbu-bumbu provokasi oleh berita palsu dan ujaran kebencian bernada SARA, ratusan warga kemudian melakukan pelemparan dan perusakan ke rumah Meiliana. Massa juga membakar satu vihara, lima klenteng, tiga mobil, dan tiga motor. Meliana dinilai jaksa penuntut umum melakukan ujaran kebencian dan penodaan agama sebagaimana diatur dalam Pasal 156 dan 156a KUHP. Pernyataan Meliana dianggap sebagai pemicu kerusuhan tadi.
Majelis Hakim kemudian menyatakan Meiliana terbukti melanggar Pasal 165A KUHAPidana.
Meiliana dan kuasa hukum akan mengajukan banding. Sementara, jaksa penuntut umum mengaku masih pikir-pikir.
PBNU bersuara
Ketua PBNU bidang Hukum, HAM, dan Perundang-undangan Robikin Emhas menilai seseorang yang mengatakan suara azan terlalu keras, tidak bisa disebut menista agama. Robikin tidak melihat ungkapan itu sebagai wujud permusuhan terhadap agama tertentu.
"Saya tidak melihat ungkapan suara azan terlalu keras sebagai ekspresi kebencian atau sikap permusuhan terhadap golongan atau agama tertentu," kata Robikin.
SETARA menilai kalau tuntutan jaksa seperti menegaskan aparat ternyata tunduk pada sentimen mayoritas dan tekanan kelompok intoleran.
"Secara kuantitatif, tuntutan JPU juga berlebihan kalau disandingkan dengan pidana perusakan, pencurian, dan provokasi dalam konteks kerusuhan Tanjung Balai yang sudah divonis pada Januari 2018. Delapan terpidana, dituntut rata-rata empat bulan kemudian divonis ringan antara 1 bulan 11 hari hingga 2 bulan 18 hari dikurangi masa tahanan," kata Wakil Ketua SETARA Institute Bonar Tigor Naipospos, Kamis (16/8) lalu.
SETARA juga mengamati kalau proses hukum Meiliana berjalan di luar koridor rule of law dan fair trail. Lembaga ini menilai kalau proses hukum penodaan agama ini dipicu karena sentimen SARA. Bahkan, pasca kerusuhan yang menimbulkan kerugian materil ini, atas desakan kelompok intoleran dan ormas.