Sinau Bareng Firaun, Haman, dan Qarun: Merenungi Kesambetnya Cak Nun
ERA.id - “Sejak Gus Dur wafat…” ujar Ahmad Dhani suatu ketika. “Sudah sepatutnya para nahdliyyin berimam pada Cak Nun.” Begitulah kira-kira gambaran seberapa besar pengaruh pria kelahiran Jombang itu di tengah masyarakat. Cak Nun, panggilan akrab Emha Ainun Nadjib, adalah sosok budayawan cum pemikir yang namanya sudah kadung populer di Indonesia.
Kepopuleran mendatangkan tanggung jawab besar, seperti yang pernah dibilang Gus Mus: Mereka yang memiliki potensi diikuti oleh orang banyak (orang awam), sudah semestinya lebih berhati-hati dalam bertindak, termasuk dalam berbicara di hadapan publik. Pesan itu dibagikan lagi oleh Gus Mus lewat media sosialnya setelah ramai orang-orang mengeroyok Cak Nun gara-gara keselip lidah pas ngisi Maiyah.
Maiyah –forum sinau bareng yang digagas Cak Nun 20 tahun belakangan– jadi panggung perjuangannya selepas menarik diri dari menulis esai di media nasional pasca reformasi. Maiyah dicomot dari frasa Arab, ma'iyatullah atau 'perlindungan Allah'. Meski basisnya di Jogja, jamaah Maiyah juga hidup di kota-kota besar lain dengan berbagai nama, ada Kenduri Cinta di Jakarta, Gambang Syafaat di Semarang, hingga Bangbang Wetan di Surabaya.
Kemarin, ramai beredar potongan video Cak Nun mengisi Maiyah dan berucap, "Indonesia dikuasai oleh Firaun yang namanya Jokowi, oleh Qarun yang namanya Anthony Salim dan 10 naga, terus Haman yang namanya Luhut." Sontak saja ini segera jadi bola panas yang bergulir liar.
Tak sampai lama, Cak Nun mengaku salah dan meminta maaf. Ia bilang sedang 'kesambet' saat itu dan mulutnya makpecotot menyebut Firaun, Haman, dan Qarun. "Itu di luar rencana saya dan sama sekali di luar kontrol saya," ucapnya ke para jamaah.
Bagi yang sudah lama mengikuti Cak Nun pasti mafhum, ciri khasnya saat menyampaikan unek-unek di pikirannya penuh dengan metafor dan analogi. Mungkin karena dulu –jauh sebelum ia dikenal seperti sekarang– Cak Nun merintis jalan sunyinya sebagai penulis sastra. Namun, memang harus diakui analoginya kemarin terdengar kurang terukur, tak semulus biasanya, dan mudah membuat siapa pun salah paham.
Cak Nun juga manusia dengan darah dan daging
Manusia memang butuh simbol sebagai pengingat nilai perjuangan dan arah tujuan mereka, entah dalam bentuk monumen seperti tugu, perayaan seperti peringatan kematian, atau dimanifestasikan dalam wujud tokoh-tokoh masyarakat.
Namun, agar nilai-nilai yang ingin disampaikan bisa abadi, jangan sampai simbol jadi perhatian utama dan melebihi nilai-nilai yang dimaksud. Celakanya, ini yang sering kita jumpai, apalagi saat bicara soal simbol-simbol yang berwujud manusia. Cak Nun misalnya.
Cak Nun menjadi simbol dan perwakilan rakyat kecil, orang-orang pinggiran yang –seperti ditulis dalam bukunya– menjadi "gelandangan di kampung sendiri". Ia konsisten menggugat kekuasaan dan penguasa sejak zaman Orde Baru hingga Jokowi (minus Gus Dur). Ia emoh diundang ke istana, sekali-kalinya ia datang ke sana bersama tokoh-tokoh lain untuk mendesak Soeharto turun dari jabatannya. Selebihnya, ribuan malam ia habiskan bareng rakyat biasa di taman, di lapangan, di jalan-jalan.
Siapa yang tak kenal nama Cak Nun hari ini? Jamaahnya mungkin mencapai jutaan orang, mulai dari yang sinau bareng langsung, menontonnya lewat internet, hingga sekadar membaca tulisan-tulisannya. Cak Nun dan Jokowi boleh saja berada di sisi berseberangan, tapi keduanya punya satu kesamaan: sama-sama punya banyak pengikut.
Boleh dibilang, Cak Nun makin tua makin mendekati mitos. Tengok saja, sering kali potretnya digambarkan duduk bersama Gus Dur, Gus Mus, dan Sujiwo Tejo sebagai barisan punakawan atau empat guru bangsa. Namanya dijunjung di mana-mana. Ketika kita mulai fanatik kepada sosok ketimbang perjuangan mereka, di situlah simbol berdiri di atas nilai.
Momen kesambetnya Cak Nun kemarin mengingatkan kita bahwa ia bukan nabi yang maksum, bebas dari kesalahan. "Saya mengucapkan yang harusnya tak diucapkan," ucap Cak Nun di hadapan putranya, Sabrang. "Kan saya mengajarkan jangan ngomong siapa, tapi apa, itu kan saya sendiri melanggar."
Entah kesambet apa Cak Nun, yang jelas ia mengaku bersalah. Dan kesalahan bukan aib, justru itulah yang membuatnya sempurna jadi manusia. Ini yang harus sama-sama kita renungi, bahwa siapa pun yang kita idolakan bisa salah, pertanyaannya kemudian: Apa yang akan kita lakukan saat itu terjadi?
Analogi Firaun, Haman, dan Qarun
Sebenarnya bukan sekali ini Cak Nun menyinggung soal Firaun, Haman, dan Qarun dalam orasinya. Dulu ia sudah sering memakai figur-figur sejarah tadi sebagai analogi. Namun, biasanya Cak Nun tak menyebut gamblang siapa yang dianalogikannya ke Firaun dan kawan-kawan. Ia hanya bilang penguasa itu, konglomerat itu, dan sebagainya.
Jika kita melupakan soal nama Jokowi, Luhut, hingga Anthony Salim, kritik yang disampaikan Cak Nun lewat analoginya masih relevan untuk jadi renungan bersama. Kok bisa? Sebelum itu, kita harus samakan persepsi dulu soal siapa Firaun yang dimaksud, sebab Firaun bukan nama seseorang, melainkan gelar untuk raja-raja Mesir kuno.
Karena Cak Nun juga menyebut nama Haman dan Qarun, maka bisa kita pastikan maksudnya adalah Firaun zalim yang hidup di zaman Nabi Musa. Firaun yang itu adalah orang gila kuasa, mengaku sebagai Tuhan, dan membunuhi anak-anak yang diramalkan akan merebut kekuasaannya. Orang waras mana pun tak ingin punya pemimpin macam itu.
Di belakang Firaun ada Haman, penasihat kerajaan yang ikut membisiki Firaun untuk memerangi Musa dan pengikutnya. Haman juga tangan kanan Firaun yang dipasrahi urusan-urusan penting seperti membangun Menara Babel untuk menuju 'Tuhan'. Keduanya berakhir ditenggelamkan di Laut Merah.
Sementara itu, Qarun adalah lelaki kaya raya yang kemaruk dan salah satu kaum Musa. Ia mengkhianati ajaran sang nabi dan dibenamkan dalam bumi beserta seluruh hartanya.
Analogi Firaun, Haman, dan Qarun digunakan Cak Nun untuk mengkritisi pemerintahan oligarki yang kapitalis. Di mana penguasa (Firaun) hanya menjadi perpanjangan tangan para pemilik kepentingan (Haman) dan pemilik modal (Qarun). "Firaun itu hanya boneka, hanya sound system, hanya corong yang dipake oleh koalisi antara konglomerat dan pemerintah," ucap Cak Nun.
Itulah yang menurut Cak Nun sedang terjadi di Indonesia dan sedang ia kritisi, baik sebagai rakyat maupun simbol perlawanan atas penindasan. Sayang betul kalau kritik itu tertimbun huru-hara Cak Nun yang kesambet dan akhirnya digoreng ke mana-mana. Hingga panggilan Cak Nun ditukar jadi Cuk Nan. Cuk, kita tahu, adalah umpatan khas Jawa Timur yang bernada melecehkan.
Ketimbang saling memaki tiada habisnya lalu dipecah belah dengan isu politik, mengapa kita tidak sama-sama belajar dari kesalahan masing-masing saja dan saling memaafkan? Bukankah tak kurang-kurang contoh yang bisa kita ambil dari bapak-bapak bangsa di masa lalu?
Sukarno pernah mengasingkan Buya Hamka gara-gara berbeda pandangan politik. Empat tahun setelah Buya Hamka keluar penjara, datang Soeryo (ajudan Soeharto) ke rumahnya membawa pesan dari Sukarno: Bila aku mati kelak, minta kesediaan Hamka untuk menjadi imam salat jenazahku.
“Jadi beliau sudah wafat?” tanya Buya Hamka.
“Iya, Buya,” jawab Soeryo.
Buya Hamka segera bergegas menjemput jenazah Sukarno –orang yang pernah memenjarakannya– dan menyalatinya. Tak pernah terdengar setelah itu Buya Hamka menjelek-jelekkan Sukarno.