Dua Wajah Pelayan Karen’s Diner
ERA.id - Belum pernah kami bayangkan sebelumnya makan sambil dibentak-bentak. Terakhir kali saat makan di rumah dan ibu marah-marah, kami menahan tangis dan makanan di piring tak habis. Makanya, pertama kali dengar Karen’s Diner buka di Jakarta akhir tahun lalu, kami agak skeptis. Apalagi ketika banyak potongan videonya gentayangan di beranda media sosial.
Namun, kami ingat ada petuah klasik berbunyi “nilai dengan mata kepalamu sendiri”. Karena itulah kami janjian dengan salah seorang pelayan Karen’s Diner bernama Winda dan datang ke sana Selasa lalu (17/1/2023). Kami tiba jam setengah sebelas dan langsung naik ke atas. Sekitar sepuluh menit kemudian Winda muncul memakai cardigan putih dan celana pendek hitam.
“Halo, Winda.” Ia tersenyum sambil menjulurkan tangan. “Udah lama?” Kami menjawab baru saja sampai. Ia mengajak kami masuk. Karen’s Diner baru buka tepat pukul 12:00 dan Winda menunggunya sambil berdandan.
Sekitar setengah jam sebelum buka, rombongan ibu-ibu sudah mengantri di depan kasir dan beberapa lolos masuk ke dalam. Seorang pelayan berkumis tipis mewanti-wanti lewat mik. “Ibu-ibu Facebook tunggu dulu, belum buka, ibu-ibu Facebook tunggu di luar!”
Kami hanya memperhatikan dari jauh dan bertanya ke Winda kapan ia mulai perannya sebagai Karen –sebutan untuk pelayan Karen’s Diner-. “Ya nanti dong, tunggu buka, lo mau gua jutekin sekarang?” jawabnya sambil tertawa kecil dan memulas pipinya. Di balik cermin riasnya itu ia tampak hangat, riang, dan antusias. “Gua aslinya ya begini,” ucapnya.
Sebelum masuk Karen’s Diner, Winda enam tahun bekerja di bank. “Enak mana kerja yang harus senyum tiap hari atau marah-marah kayak gini?” tanya kami. Ia menjawab keduanya sama-sama melelahkan. Karena itu juga sekarang ia masih bekerja di sebuah kafe saat akhir pekan. “Biar imbang,” ucapnya.
Karen’s Diner baru buka sekitar sebulan di Jakarta. Nanti, setelah enam bulan dan dirasa siap, rencananya mereka akan membuka cabang di Bali. Sebagian pekerjanya yang sekarang pasti dibawa ke sana dan Winda bilang ia sangat ingin ke Bali biar bisa melihat pantai tiap hari. “Tapi kan orang tua gua di sini, gua nggak bisa ninggalin,” ucapnya singkat lalu bersiap-siap menghadap cermin besar di samping kamar mandi untuk memakai apron merahnya.
Hanya hitungan menit sebelum Karen’s Diner buka. Belasan pelanggan sudah berbaris-baris menunggu kasir mempersilakan mereka masuk. Terdengar suara pelayan memberi arahan. “Lo baca dulu deh rulesnya, sudah tahu belum? Ngerti enggak bahasa Inggris? Enggak boleh narik-narik, awas loh narik-narik loh!” Kami melihat para pelanggan tertawa.
Risiko menjadi Karen: dari emosi terbawa ke rumah hingga dilecehkan pelanggan
Menjadi Karen bagi Winda adalah sebatas akting sepanjang delapan jam kerja. “Gua sering ngomong ke diri gua ya biar gua tuh mengontrol emosi gua,” ucapnya sambil memandang bolak-balik antara cermin rias dan mata kami. “Gua mau tetap jadi Winda yang dulu, di sini cuma profesional gitu.”
Menjelang para pelanggan menduduki kursi masing-masing, Winda sudah beres mengenakan apron dan menggantung kacamata gelap di kupingnya. Ia lalu menyendiri sambil memejamkan mata. Ia sempat bercerita selalu mengambil jeda singkat sebelum kerja agar jiwa Karen ‘merasuk’ di tubuhnya. “Kalau enggak begitu gua enggak bisa nahan tawa, dulu pas awal-awal gua ketawa terus,” ucapnya.
Ketika Winda membuka mata dan berjalan menyambut pelanggan, hampir-hampir kami tak mengenalinya lagi. Senyumnya menghilang dan sorot matanya mendingin. Ia mendatangi satu per satu meja yang belum dilayani sambil melempari buku menu dan membentak. “Baca menu dulu! Cari yang paling mahal. Awas loh kalau pesan yang paling murah!”
Jam makan siang jadi waktu paling ramai di Karen’s Diner. Semua meja terisi penuh. Seorang ibu-ibu unjuk kebolehan main latto-latto menambah kebisingan. Rasanya kami seperti menumpang mobil di jalan yang ramai dengan kaca jendela terbuka.
Winda memesankan es teh manis untuk meja kami di pojokan. Ketika kami memanggil Karen lain untuk memesan makan, pria bergaya ngondek itu berkomentar judes sambil berlalu. “Oh, pesen makan juga lo? Kirain cuma ngonten doang.”
Umpatan-umpatan kasar bersesakan di udara dan saling menyambar. Namun, semua yang keluar dari mulut para Karen masih dalam batasan yang terpajang di dinding dan pintu masuk: tidak rasis, seksis, ableis, body shaming, atau ejekan lain yang berlebihan. Sesekali kami justru mendengar pelanggan yang mengatai salah satu Karen dengan kasar, “Woi badan lo gendut!” lalu tertawa puas sambil mengambil gambar. Dada kami bergemuruh.
Winda bercerita sering mendapati pelanggan norak yang tak mengerti konsep Karen’s Diner. “Ini kan settingan, semua Karen dikasih karakter masing-masing,” kata Winda. “Tapi ada aja yang ke sini pengen adu mekanik.” Kalau sudah begitu, biasanya Winda dan Karen yang lain akan menjauhi meja mereka.
Tak sampai di situ, meski Winda mengaku belum pernah mendapat pelecehan fisik, tapi ia bercerita ada pelanggan kurang ajar yang menepuk pantat temannya sesama Karen. “Kalau digodain sih jangan ditanya, udah sering,” ucapnya.
Mendapat perlakuan tak enak dari pelanggan hanya satu dari sekian risiko bekerja jadi Karen. Risiko lain yang tak kalah membebani adalah kebiasaan sebagai Karen yang terbawa di kehidupan sehari-hari. Winda, misalnya, sering kelepasan memakai gestur mengacungkan jari tengah di luar kerja. “Gua pernah abis naik ojek terus turun tiba-tiba ngacungin begini,” kenangnya.
“Biasanya hal sepele gua enggak gampang emosi, kayak ketawa aja, ya udahlah santai,” lanjut Winda. “Tapi ketika tahun baruan, gua sama teman gua kan baru ketemu lagi, terus teman gua ngeyel banget kan, karena gua sering banget ketemu orang ngeyel di sini, jadi bawaannya marah beneran gua. Jadi gua harus mulai kontrol lagi.” Kalau sudah begitu, ia biasanya menenangkan diri di kamar dan bermeditasi.
Ulasan Karen's Diner
Pada minggu-minggu pertamanya, pelanggan Karen’s Diner membeludak beserta ulasan negatif di mana-mana. Netizen banyak yang menganggapnya cringe dan meramalkan ia bakal gagal. Kami juga. Namun, setelah kami datang ke sana langsung, ternyata tidak seburuk itu –setidaknya untuk saat ini.
Sepengalaman kami, Karen’s Diner di Jakarta adalah restoran yang menuntut inisiatif dan keikutsertaan pelanggannya. Untuk merasakan sensasi makan di sana, kita tak bisa hanya diam saja menunggu kiamat datang. Mereka sengaja tak memberikan tisu dan saos saat mengantar pesanan biar pelanggan bertanya ke Karen. Dan ketika kita mengambil saos di dekat dapur, mereka akan bersorak riuh, “Maling, maling! Woi ada maling!”
Para Karen juga aktif mengitari area makan untuk memastikan tiap pelanggan dilayani, tentu dengan cara mereka. Saat dulu kami menganggapnya cringe dan dipaksakan, justru kemarin kami dibuat capek tertawa. Kalau mesti didefinisikan, suasananya seperti lewat perkampungan Betawi dengan bapak-bapak dan emak-emak kampung yang tukang ngomel dan menggerutu sana-sini.
Karakter tiap Karen juga dibuat macam-macam, ada yang meledak-ledak seperti Winda, ada juga yang jutek dan judes, kemayu, sinis, hingga cerewet. Mereka terus berisik selama pelanggan terus datang. Selepas asar, kebisingan terus berkurang dan memasuki masa-masa tenang. Winda sesekali menepi untuk melemaskan otot-otot di muka, menyelonjorkan kaki, dan mengatur napas.
Kami memesan burger yang tebalnya sepuluh jari dan rasanya mengenyangkan. Apakah kami akan kembali lain hari? Mungkin, walau hanya sesekali. Pertama, karena harga menunya rata-rata di atas seratus ribu rupiah. Kedua, karena tidak tiap hari kami mau makan sambil mendengar orang-orang dimarahi.
Saran kami bagi yang mau mencoba Karen’s Diner, pahami bahwa yang ada di sana adalah akting dan anggaplah sebagai hiburan, meski tak ada larangan membawa orang tua dan anak-anak, lebih baik tidak membawa mereka ke sana, dan terakhir, siapkan uang yang banyak agar bisa pesan menu paling mahal. Karena kalau sudah memutuskan untuk main lumpur, jangan tanggung-tanggung.